Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Suparto, Republiken dan Detektif Jawa

Di usianya yang ke-81, Suparto Brata masih menerbitkan novel. "Menulis sudah seperti berpakaian," katanya.

18 Agustus 2013 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Jarum jam belum genap menyentuh angka 2 pada Ahad siang, 28 Juli 2013, saat Suparto Brata, 81 tahun, duduk di depan sebuah komputer layar datar. Jemarinya yang kurus kering lincah menekan tuts. Di kamar paling belakang berukuran 3 x 5 meter itu hari-hari kakek delapan cucu ini dihabiskan.

Dua lemari dan satu rak yang penuh sesak oleh buku karya Suparto seakan-akan menenggelamkan tubuh tuanya yang ringkih. Dipan tanpa seprai pun dipakai Suparto untuk menaruh buku-bukunya yang meluber. "Ruangan yang sesak iki bak istana bagi saya," kata Suparto.

Sambil berpuasa, Suparto berupaya menyelesaikan dua karya sastra berbahasa Jawa: Asmarani lan Para Pawestri (Asmarani dan Para Perempuan) dan Para Pejuwang Pawestri (Para Pejuang Perempuan). Dua cerita berlatar perang kemerdekaan itu sebenarnya pernah dimuat bersambung di media berbahasa Jawa pada akhir 1960-an. Karya pertama di majalah Jaya Baya, sedangkan lainnya di Panjebar Semangat. Oleh Suparto, dua-duanya hendak diterbitkan menjadi buku. Sebelum dibawa ke penerbit buku di Yogyakarta, cerita tersebut ditulis ulang oleh Suparto. "Ada ejaan-ejaan yang harus dibetulkan," katanya.

Menurut Suparto, Asmarani dan Para Pejuwang bakal menjadi bukunya yang kedua dan ketiga yang terbit tahun ini. Buku pertama berjudul Tak Ada Nasi Lain telah mendahului terbit pada Mei lalu. Sama seperti dua naskah yang tengah diedit, Tak Ada Nasi Lain sebenarnya juga daur ulang dari cerita bersambung karya Suparto yang dimuat di Kompas pada Januari-Maret 1991. Berlatar zaman pergolakan republik di Solo pada 1938-1968, Tak Ada Nasi Lain mengisahkan tokoh utama bernama Saptono di tengah deru revolusi.

Meski pernah dimuat di Kompas pada 1991, Tak Ada Nasi Lain sebenarnya ditulis Suparto pada 1958-1959. Pernah ditawar-tawarkan ke berbagai penerbit buku di Jakarta, Yogyakarta, dan Surabaya, Tak Ada Nasi Lain akhirnya masuk laci Suparto. "Tidak ada yang bersedia menerbitkan karya ini dengan alasan tidak sesuai dengan semangat zaman," ujarnya.

Setelah berpuluh tahun disimpan, naskah itu dikirimkan Suparto ke Kompas. Semula nasib naskah itu diperkirakan serupa dengan yang sudah-sudah, yakni ditolak. Namun setelah Arswendo Atmowiloto, yang kala itu memegang tabloid Monitor, turun tangan, akhirnya Tak Ada Nasi Lain pun dimuat. "Rupanya Arswendo yang meyakinkan redakturnya hingga akhirnya naskah itu dimuat."

Tak Ada Nasi Lain sebenarnya bukan karya pertama Suparto yang dimuat Kompas. Sebelum itu ada Surabaya Tumpah Darahku, Saksi Mata, dan Kerajaan Raminten. Ardus M. Suwega, pengelola Balai Soedjatmoko Solo, tahun lalu menawarkan agar Tak Ada Nasi Lain diterbitkan menjadi buku. Ardus bukan orang asing bagi Suparto.

Sebab, saat Suparto mengerjakan majalah berbahasa Jawa Praba di Yogyakarta pada 1991, Ardus bekerja sebagai wartawan Kompas. Saat itulah Suparto bersinggungan dengan Ardus dan Arswendo. "Ardus bersedia menerbitkan Tak Ada Nasi Lain asalkan beberapa bagian dari cerita itu diganti," kata Suparto.

Lahir dari keluarga sederhana di Surabaya pada 1932, Suparto masih termasuk keluarga Keraton Solo. Karena ayahnya menganggur, saat masih usia enam bulan Suparto dibawa ke Solo oleh ibunya. Di sana mereka tinggal di rumah kerabat keraton di Jayaningratan. Lima tahun berada di lingkungan keraton kasunanan, Suparto dan ibunya diminta pindah ke luar dari lingkungan keraton. Karena ibunya bukan keturunan bangsawan, mereka harus hidup mandiri tanpa sokongan dana dari keraton.

Suparto dan ibunya kemudian pindah ke Sragen. Di Sragen pula Suparto mulai masuk sekolah rakyat. Di sekolah itu, kata Suparto, pelajaran yang digiatkan adalah membaca buku. Saat itu, menurut Suparto, buku karya H.B. Jassin banyak dibaca siswa kemudian dipakai sebagai bahan diskusi. "Saya terinspirasi buku-buku Jassin," ujarnya. Setelah lulus, Suparto mulai berlatih menulis cerita berbahasa Indonesia. Ia mulai serius mengarang sastra pada awal 1950-an.

Suparto berpendapat sastra adalah buku. Karena itu, ia selalu mengarang panjang agar bisa dicetak menjadi buku. Salah satu naskah yang ditulis pada awal-awal ia mengarang berjudul Tak Ada Nasi Lain. Namun mewujudkan keinginan itu bukan perkara mudah. Selain sulit mencari penerbit, surat kabar yang terbit pada saat itu umumnya tidak menerima cerita panjang. Nasib naskah-naskah Suparto pun merana, hanya menumpuk di meja. Pada 1958, Suparto bersemangat menulis kembali ketika majalah Panjebar Semangat membuka sayembara menulis cerita bersambung. Suparto mengirimkan naskah berjudul Lara Lapane Kaum Republik (Penderitaan Kaum Republik). Naskah Suparto keluar sebagai juara pertama.

Sejak saat itu, ia makin rajin mengarang menggunakan bahasa Jawa. Pada 1962, karya Suparto berjudul Tanpa Tlacak (Tanpa Jejak) dimuat bersambung di Panjebar Semangat. Tanpa Tlacak adalah cerita detektif dengan tokoh Handaka. Bagi dunia sastra Jawa ketika itu, karya Suparto dianggap keluar dari pakem. Sebab, tema cerita yang ditulis pengarang zaman itu berkisar pada masalah perjuangan dan percintaan. "Cerita bertema detektif masih dianggap asing," tuturnya.

Namun justru sambutan pembaca terhadap cerita detektif Suparto besar. Suparto pun meneruskan serial detektif Handaka dengan cerita selanjutnya yang berjudul Emprit Abuntut Bedhug (Emprit Berekor Beduk), Tretes Tintrim (Tretes Sepi), Garuda Putih, Jaring Kalamangga (Jaring Laba-laba), dan Kunarpa tan Bisa Kandha (Jenazah Tak Dapat Bicara). Suparto mengakui serial detektif yang ia tulis banyak dipengaruhi oleh buku Sir Arthur Conan Doyle, penulis serial Sherlock Holmes.

Adapun tokoh Handaka dalam cerita itu dipersonifikasikan seperti dirinya, yakni bertubuh ringkih, berperawakan langsing seperti perempuan tapi cerdas. Tak mengherankan bila di kalangan pengarang sastra Jawa, Suparto diidentikkan dengan detektif Handaka. Karya Suparto semakin deras menghiasi Panjebar Semangat dan Jaya Baya. Beberapa yang terkenal antara lain Pethite Nyai Blorong (Ekor Nyai Blorong), Sanja Sangu Trebela (Bertamu Membawa Keranda), Solo Lelimengan (Solo Gelap-Gulita), Kadurakan ing Kidul Dringu (Kejahatan di Selatan Dringu), Donyane Wong Culika (Dunia Orang Licik), dan Dom Sumurup ing Banyu (Jarum di Bawah Air). Karya-karya itu kemudian diterbitkan menjadi buku setelah pemuatannya rampung.

Bagi Suparto, mengarang ketika itu hanya sebagai pekerjaan sampingan. Sebab, ia memiliki pekerjaan tetap di PT Jaya Bakti, perusahaan milik Belanda yang bergerak di bidang perdagangan dan mengelola pampasan perang Jepang. Namun, pada 1967, Suparto memutuskan keluar karena dipaksa masuk Golkar. Suparto pun menekuni dunia tulis-menulis sebagai satu-satunya sandaran hidup.

Yang melegakan Suparto, pada awal-awal era Orde Baru itu beberapa media berbahasa Indonesia membuka rubrik cerita bersambung. Misalnya Kompas, Surabaya Post, Jawa Pos, dan Kartini. Di media itulah Suparto mengirimkan karyanya, termasuk naskah yang masih tersimpan. Maka lahirlah karya Suparto yang monumental, seperti Gadis Tangsi, Kremil, dan Kunanti di Selat Bali. Suparto juga pernah dikontrak penerbit buku Kho Ping Ho untuk membuat novel silat. Namun ia mengakui honorarium mengarang ketika itu tak cukup untuk biaya hidup dengan empat anak.

Pada 1969, Suparto menjadi pegawai negeri sampai pensiun pada 1988. Semasa purnatugas, ia masih diminta membantu mengelola majalah Praba di Yogyakarta dan Jawa Anyar di Surabaya. Namun dua media berbahasa Jawa itu tak berumur panjang. Setelah keduanya gulung tikar, Suparto kembali menekuni dunia tulis-menulis. Selain menulis karya sastra, ia menghasilkan tulisan tentang sejarah dan motivasi. Dalam setahun rata-rata ia menerbitkan tiga buku. Sampai kini buku terbitan Suparto sudah berjumlah 160.

Di usianya yang makin senja, Suparto menulis hanya untuk kepuasan batin. Ia sudah tak punya tanggungan karena keempat anaknya telah bekerja. Adapun istrinya meninggal beberapa tahun silam. Tak mengherankan bila ia bersedia merogoh kocek untuk membiayai penerbitan bukunya sendiri yang berbahasa Jawa. Uang talangan itu berasal dari hasil jualan buku-bukunya berbahasa Indonesia dan dari honor mengarang.

Berbeda dengan bukunya berbahasa Indonesia yang tak pernah ada persoalan di penerbit, buku berbahasa Jawa jarang diminati. Namun Suparto seakan-akan tak hirau. "Penerbit enggan mencetak novel bahasa Jawa karena sulit dijual. Terpaksa saya talangi dulu, nanti menjualnya berdua antara saya dan penerbit," katanya.

Ritme hidup Suparto teratur. Bangun pukul 03.00 untuk mulai mengarang, jalan-jalan seusai salat subuh, mengarang lagi menjelang pukul 08.00 sampai tengah hari, istirahat, dan melanjutkan menulis sore sampai malam. "Bagi saya, menulis sudah seperti berpakaian," kata Suparto.

Kukuh S. Wibowo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus