Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Lebih lirih, tapi masih jalanan

Iwan fals tak lagi tampil berteriak. meski musiknya tetap keras, ada yang berubah dalam protes sosialnya: lebih pribadi dan karena itu lebih berisi.

11 Desember 1993 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DUA malam berturut-turut pekan lalu, Iwan Fals bak kesurupan. Sebentar ia memijit-mijit tuts synthesizer lalu menabuhnya bersama kendang, dan tiba-tiba bangkit dan menari tayub, sebentar. Lalu ia pun menyambar gitar, menyanyi, dan membacakan puisi-puisi dari jenis yang pernah dikenal sebagai puisi mbeling. Coba dengar satu contohnya: ... Seekor nyamuk terbang di atas majalah/ kadang hinggap lalu terbang/ mengitari wajah politikus yang entah tersenyum atau sakit gigi .... Dan penonton, sekitar 500 di Teater Arena Taman Ismail Marzuki, Jakarta, yang sebagian besar terdiri dari remaja sekolah menengah, meski ''terperangkap'' dalam ruang pengap dan panas karena gedung tak berpendingin, terus bersorak, berjoget, dan bahkan ada yang sempat menyambar mikrofon, tarik suara sendiri. Sebagian penonton pun coba-coba ikut naik panggung. Ulah penonton yang luar biasa tak tertibnya itu bahkan sempat membuat beberapa pemain terpana dan tanpa sadar malah tampak seperti sedang menonton pertunjukan. Kerangka batas pemain- penonton serta-merta kabur. Dalam suasana seperti itulah, nama sejumlah pejabat, mantan pejabat, pentolan kaum mbalela, konglomerat, seniman, dan tokoh masyarakat yang sering muncul di koran-koran diteriakkan. Sebagai bahan olok-olok, tentu. Dan karena iklim keterbukaanlah, aparat keamanan tenang-tenang saja mendengarkan. ''Habis, namanya juga humor. Masak, meledek saja tidak boleh? Masak, lantas disamakan dengan menghasut?'' ujar Iwan, biangnya lagu protes sosial, yang mengadakan pertunjukan musik dengan judul Humor Musim Panas, dibantu oleh Jos Rizal Manua, Naniel, dan Uthe. Mereka yang mengenal Iwan lewat Umar Bakri, kisah guru yang ekonominya tak beranjak dari sepeda butut sedangkan murid- muridnya datang dengan mobil, yang didendangkan dengan gaya country, atau lewat lagu Bento, yang menyindir polah tingkah anak konglomerat dalam nada rock, akan mendengar Iwan yang lain. Itulah suara raungan gitar listrik dan entakan drum yang ganas. Inilah dua malam yang bisa dikatakan merupakan kelanjutan Mata Dewa: Iwan Fals semakin ngerock dalam irama. Tapi, dari isi liriknya, Iwan tak lagi frontal dalam mengkritik, sindirannya terasa lebih ''dewasa'', tak menunjuk satu kelompok, umpamanya. Tapi tetap ia tak terjatuh ke lirik kosong yang digebrakkan dengan irama keras, atau semata memuja alam, misalnya, seperti yang dibawakan oleh kelompok Gong 2000 dan Edane, dua grup rock lokal yang juga populer di kalangan muda. Dengan dimotori Ahmad Albar dan Ian Antono yang tergolong generasi awal musik rock Indonesia, Gong 2000 masih diwarnai God Bless, yang berkiblat pada Kansas: kebencian akan perang dan pemujaan atas alam semesta. Sedangkan Edane agaknya tidak bisa lepas dari gaya grup Van Halen, dengan lirik yang lebih ''jinak'': Di sini semua senyawa/ Sempurnakan rasa/ Gemakan karisma .... Bisa jadi, perkembangan Iwan kini berawal empat tahun lalu, ketika rencana konser di 100 kota dilarang oleh aparat keamanan. Iwan frustrasi, ''Saya kehilangan pegangan waktu itu,'' katanya. Jatuhlah Iwan ke lingkungan teater. Rendra melihat Iwan perlu dijaga semangatnya. Lewat Sawung Jabo, pemusik yang biasa menangani musik Bengkel Teater Rendra itu, ''saya jadi kenal teater,'' tutur Iwan. Dan efeknya terasa pada semangat pencariannya. Musik Iwan berubah, bukan lagi paduan genit gitar, bas, dan flut dan lirik lagunya, meski masih ''persoalan jalanan'', kini banyak yang lebih pribadi. ... Suara pabrik sama saja/ Yos tidur galang cikal tidur/ Pelan- pelan sayang kalau mulai bosan .... Dan Iwan tetap laris kaset rekamannya terjual di atas 200 ribu kopi cetakan pertama. Kenapa? ''Mereka sama seperti gue, tikus-tikus got yang hidup di tengah limbah. Mulai limbah industri sampai limbah kebudayaan. Persoalannya adalah bagaimana supaya tetap hidup,'' Iwan berusaha menjelaskan siapa pembeli kasetnya. Itu sebabnya, sebagai sesama ''tikus got'', Iwan pun tak ingin berjarak: ia ingin pertunjukannya menjadi semacam upacara bersama dengan penonton. ''Aku ingin yang mau joget, ya, joget. Dan kalau penonton mau nimbrung main musik, boleh bawa gitar sendiri, bebas,'' katanya. Dan itu memang terjadi dua malam berturut-turut dalam Humor Musim Panas, di musim hujan kini mungkin pilihan nama dan waktu ini pun sebuah humor. Jadi? Bila Anda percaya teori bahwa orang yang punya rasa humor dan bisa mengkritik secara halus agar tak menyakitkan hati yang dikritik adalah orang yang jiwanya matang, Iwan kini rasanya hadir dengan kedewasaan penuh. Maka, mendengarkan Iwan bukan sekadar menghibur, bukan sekadar memprotes dan ikut bergoyang. Mendengarkan Iwan adalah mendengarkan musik rock yang tak kehilangan semangat jalanannya dengan nada dan lirik yang bisa lebih awet. Ivan Haris

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus