TEPAT pukul 10 pagi Sabtu pekan lalu, pameran yang unik ini dibuka. Di Galeri Hidayat, Bandung. Ratusan lukisan dengan bermacam bahan, sketsa, beberapa patung, dan tapestri dari 77 perupa disajikan. Sekitar 200 pengunjung segera masuk, dan memilih-milih. Tapi, apa uniknya? Inilah mungkin pameran pertama yang menyertakan karya-karya pelukis papan atas sampai pelukis yang belum punya nama, dengan harga maksimal Rp 1 juta. Karya cat air Srihadi Soedarsono, yang di Jakarta diangkat orang dengan Rp 10 juta, di sini dijual Rp 1 juta saja. Juga lukisan Jeihan, yang kabarnya laku puluhan juta rupiah sebiji, di sini pun hanya Rp 1 juta. Adakah ini semacam cuci gudang? Silakan menamakan acara ini apa saja, tapi Billiantana Firmansyah, seorang arsitek, pemilik galeri ini, punya gagasan ''pemerataan''. Ia, yang membuka Galeri Hidayat tahun 1990, selama ini merasa selalu menjual lukisan ke para ''konglomerat'' karena harga lukisan memang puluhan juta rupiah. Tiba-tiba ia merasa bahwa mereka yang cuma bisa membelanjakan barang seharga Rp 1 juta mestinya juga diberi kesempatan memiliki karya pelukis top kita. Ternyata idenya disambut baik oleh para pelukis Bandung, dan terkumpullah sekitar seratus karya dari 77 perupa itu tadi. Para pelukis merasa tak ada masalah menjual karya seharga Rp 1 juta. ''Hitung-hitung ikut meramaikan pameran,'' kata seorang pelukis senior yang tak mau disebut namanya. Srihadi, misalnya, menyertakan tiga lukisan cat air, menggambarkan pemandangan alam dan pantai. Pelukis A.D. Pirous, yang dikenal dengan lukisan kaligrafinya yang penuh barik dan mantap, menyertakan lukisan abstrak berukuran 30 x 20 cm. Biasanya lukisan Pirous seperti ini dilepas dengan harga Rp 2,5 juta. Di luar kedua nama tersebut, ada sederet pelukis dan pematung dengan reputasi yang juga terpuji, menghadirkan pula karya mereka di arena ini, seperti G. Sidharta, Sunarya, Nyoman Nuarta, Mochtar Apin, Popo Iskandar, Barli, Abay Subarna, Umi Dahlan, atau Jeihan. Ketika pertumbuhan ekonomi membaik dan melahirkan orang kaya baru, jual-beli lukisan pun berkembang, dan sejumlah usaha yang dinamakan galeri seni rupa pun lahir. Orang berduit di kota besar, terutama Jakarta dan Bandung, merasa akan tertinggal dalam arena pergaulan kalau rumahnya tidak diisi dengan lukisan yang dibeli di galeri. Tapi tiadanya infrastruktur dunia seni rupa yang baik museum, majalah seni rupa, kritik harga menjadi tak wajar karena tak ada perbandingan dan semacam kontrol. Orang lalu cenderung menghargai lukisan karena mahal, bukan karena nilai kreatifnya. Maka, ketika sejumlah lukisan dipajang dan dipatok harga Rp 1 juta ke bawah, tampaknya orang benar-benar mencari yang mereka sukai, dan bukan melihat harganya. Tak salah bila pekan lalu itu Perahu Srihadi diminati oleh 33 pembeli. Lukisan yang hanya terdiri dari beberapa sapuan dan kemudian sapuan kecil mengesankan perahu itu akhirnya jatuh ke tangan pembeli bernama Adi Miharja. Demikianlah ketentuan dari Bill, karya yang diminati lebih dari seorang diundi. Setelah Srihadi, perupa yang karyanya banyak diminati pengunjung adalah karya Sunaryo, Mochtar Apin, Krisna Murti. Sketsa Jeihan yang menggambarkan figur wanita hanya diperebutkan empat peminat, sedangkan sketsa Popo Iskandar belum ada yang meminati hingga tengah hari. Para pengunjung umumnya pengusaha muda yang baru berniat menjadi kolektor. Dewi, misalnya, yang datang dari Bogor, bergerak di bidang jasa desain dan arsitektur. Ia, yang kecewa tak berhasil memperoleh karya Srihadi, adalah lulusan arsitektur Universitas Trisakti, Jakarta. Lalu ada Nugroho, pemilik apotek di Bandung. Ia pun gagal mengoleksi lukisan Srihadi, tapi lumayan memperoleh karya Mochtar Apin dan Umi Dahlan. Padahal, ia sudah lama mengagumi Srihadi, yang menurut dia lukisannya ''tak berteriak-teriak'', tapi belum mampu membeli lukisanya. Galeri Hidayat pernah menjual karya Srihadi Rp 15 juta. Selain pembeli yang beruntung mendapatkan karya bermutu dengan harga miring, tentulah pemilik galeri juga beruntung. Sesuai dengan kesepakatan, Bill, yang mengaku ''rasanya tak mungkin hidup dari hanya galeri ini,'' mendapatkan komisi 20% dari tiap karya yang laku. Sabtu itu sudah laku 65 lukisan, 4 patung, dan 3 tapestri. Dan otentik atau tidak gagasan Bill ini (Galeri Edwin, Jakarta, akan membuka acara yang sama Rabu pekan ini), dari segi bisnis bagaimanapun ini bisa dilihat sebagai promosi. Para pembeli itu bisa saja lalu menjadi langganan Galeri Hidayat. Lalu keluarga dan teman-teman mereka yang semula tak berminat pada seni rupa lalu ingin juga mencoba-coba membeli lukisan atau patung. Andai benar begitu, hal itu tidaklah buruk. Kongres Amerika pernah menyatakan, kesenian merupakan hal yang bermanfaat secara sosial, karena itu Kongres menyetujui pemberian subsidi pada kegiatan kesenian. Seni, kata Kongres, ''tak memberi tempat pada kekerasan, menggugah keterampilan dan mencegah kejahatan, serta menawarkan lapangan kerja baru.'' Memang, orang lalu bisa bertanya seni yang mana, karena bermacam seni punya kualitas sendiri-sendiri. Untuk itu, diperlukan adanya sarana (infrastruktur) yang saling menunjang dan mengontrol. Seperti sudah disebutkan, hanya galeri tak cukup perlu museum, majalah, kritik, dan lain-lain.Mohamad Cholid (Jakarta) dan Asikin (Bandung)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini