Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Film

Benyamin Sueb: Seniman Serba Bisa dari Kemayoran

Turut memeriahkan ulang tahun Jakarta ke-497, kami mengulas seniman legendaris Betawi: Benyamin Sueb. Ia seniman serba bisa.

23 Juni 2024 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TIGA kain berkelir oranye terbentang vertikal bak tirai di salah satu ruangan di Museum Kebangkitan Nasional, Jakarta Pusat. Sosok seniman legendaris Betawi, Benyamin Sueb, yang mengenakan kostum koboi, terpampang pada salah satu kain tipis transparan tersebut.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sejak 2 Juni 2024, pameran arsip Benyamin Sueb digelar di museum tersebut. Pameran bertajuk “Biang Kerok” yang diselenggarakan Yayasan Irama Nusantara itu berlangsung hingga 14 Juli 2024.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ruangan pameran dipenuhi memorabilia Benyamin dari awal kariernya hingga wafat. Di antaranya karya musiknya, cuplikan lagu dalam film-film, foto, lembaran lirik, dan rekaman program radio.

Sebagian koleksi karya Benyamin ditampilkan secara interaktif melalui media player dan headphone. Ada 10-11 lagu yang bisa langsung didengarkan. “Total ada 40 lagu yang dipamerkan, tapi tidak semua bisa didengarkan langsung di tempat,” kata Gerry Apriryan, Manajer Program Irama Nusantara.

Pengunjung melihat arsip dan memorabilia seniman Benyamin Sueb dalam pameran bertajuk 'Biang Kerok', di Museum Kebangkitan Nasional, Jakarta, 12 Juni 2024. Tempo/Subekti

Salah satu lagu Benyamin yang bisa didengarkan langsung adalah “Koboi Ngungsi” dari album Lagu2 Jenaka. Lagu ini menjadi soundtrack film komedi Benyamin dengan judul yang sama.

Ada pula lagu “Terompet” dari album Apollo. Dalam lagu bernuansa Sunda itu, pengunjung bisa mendengarkan Benyamin melantunkan lirik dalam bahasa daerah Jawa Barat tersebut di intronya: Bang Iwan, hayu urang ka Cicadas.

Berdasarkan lini masa perjalanan hidup Benyamin yang ditampilkan dalam pameran, pada 1951, seniman Betawi itu sempat tinggal di Bandung bersama kakaknya, Otto Suprapto. Di sana, seniman yang lahir pada 5 Maret 1939 ini menamatkan sekolah dasar di St. Yusuf, Cicadas. Karena itu, dia bisa menyebutkan kosakata bahasa Sunda, yang ia manfaatkan dalam beberapa lagu rekamannya di kemudian hari.

Menurut Gerry, Irama Nusantara memilih sosok Benyamin untuk pameran kali ini karena mereka melihat ada tren di kalangan anak muda yang berupaya membangkitkan lagu-lagu Benyamin sejak dua tahun lalu. Salah satunya melalui pembuatan album kompilasi lagu Benyamin Sueb, Funky Kromong Vol 1, yang musiknya sesuai dengan selera kawula muda.

Pengunjung melihat arsip seniman Benyamin Sueb di pameran 'Biang Kerok', di Museum Kebangkitan Nasional, Jakarta, 12 Juni 2024. Tempo/Subekti

Ada 10 lagu Benyamin dari 1970-an yang masuk album kompilasi yang dirilis La Munai Records, Jakarta, pada 11 November 2022 tersebut. Di antaranya “Terompet”, “Asal Nguap”, “Funky Kromong”, “Empet-empetan”, “Luntang Lantung”, dan “Superman”.

Di situs La Munai Records, album digitalnya dijual seharga US$ 10 atau sekitar Rp 160 ribu. Label ini juga merilis album tersebut dalam format vinil atau piringan hitam, tapi sudah terjual habis. Album itu bahkan sudah didistribusikan ke luar negeri. “Artinya, lagu-lagu lawas Benyamin memiliki daya tarik internasional,” ujar Gerry.

Gerry menilai ada sejumlah faktor yang membuat lagu-lagu Benyamin bisa terus relevan. Salah satunya sosok Benyamin yang fleksibel dalam berkarya. Hal itu bisa dilihat dari karya-karya musiknya yang tak terbatas dalam satu aliran. “Bisa lebih ke blues, rock,” tuturnya.

Benyamin, Gerry melanjutkan, cukup mengikuti tren. Pada 1973, misalnya, Benyamin merilis album Asal Nguap dengan diiringi Band 4 Nada pimpinan A. Riyanto. Lagu-lagu dalam album itu punya unsur blues dan rock yang kental. Album ini menjadi upayanya berasimilasi dengan tren musik cadas di masa itu.

Pengunjung mendengarkan musik karya Benyamin Sueb di pameran 'Biang Kerok', di Museum Kebangkitan Nasional, Jakarta, 12 Juni 2024. Tempo/Subekti

Gerry menjelaskan, sudah sekitar 11 tahun Irama Nusantara berupaya membuat arsip digital musik populer Indonesia, termasuk karya Benyamin. Pameran “Biang Kerok” adalah pancingan awal untuk mengajak masyarakat lebih peduli terhadap usaha pengarsipan itu.

Irama Nusantara, Gerry menambahkan, melacak karya-karya Benyamin dari berbagai sumber, seperti literatur, media massa, koleksi publik, dan keluarga. Selama pengumpulan ini, ia merasakan keseruan saat mengurutkan rilisan-rilisan itu berdasarkan katalog, yang lalu berujung adanya temuan baru.

Misalnya ada banyak informasi simpang siur tentang tahun rilis sebuah album. Tapi fakta bisa didapatkan setelah arsip temuan Irama Nusantara dirunut. Menurut Gerry, hal ini menjadi salah satu tantangan karena di masa lalu label-label rekaman menganggap pencantuman tahun rilis tidak terlalu penting di kemudian hari. "Kesulitannya, di zaman sekarang, kita enggak bisa ngebaca proses kreatif Babe Benyamin seperti apa," ucapnya.

•••

SEPANJANG kariernya, Benyamin Sueb telah menelurkan lebih dari 75 album musik dan ratusan lagu. Menurut Benny Pandawa Benyamin, putra kelima Benyamin, babenya bukan keturunan keluarga seniman, juga tidak menempuh pendidikan musik secara formal. "Dia enggak tahu not musik. Artinya, otodidak,” kata Benny.

Benny menuturkan, Benyamin cukup mengetuk-ngetuk meja dengan pulpen ketika membuat suatu lagu. Benyamin juga punya kebiasaan dalam menciptakan lagu, yakni duduk menyendiri di meja kerjanya dengan mengenakan kaus oblong dan sarung.

Jiwa seni Benyamin mulai tumbuh di usia empat tahun. Saat itu ia dan kakak-kakaknya membentuk grup musik Kaleng Bekas Band. Benny mengatakan band beranggotakan tiga saudara itu kerap berkeliling kampung di Kemayoran, Jakarta Pusat. "Seperti ngamen. Babe bawa gendang, tapi bukan beneran. Kaleng diketok-ketok gitu,” ujar pria 54 tahun tersebut.

Saat duduk di bangku sekolah menengah atas, Benyamin bergabung dengan grup Melody Boys bersama teman-temannya dari keluarga musikus, yaitu Rachman Abdullah, Rachmat Kartolo, dan Yahya. Di grup itu, Benyamin menabuh bongo dan mengisi vokal latar. Mereka berpentas di berbagai klub malam di Jakarta, seperti Yacht Club Sindang Laut, Night Club Nusantara, dan Hotel Des Indes.

Benny Pandawa Benyamin, putra Benyamin Sueb, di Bens Radio, Ciputat, Tangerang Selatan, Banten, 19 Juni 2024. Tempo/M Taufan Rengganis

Benny mengatakan lagu-lagu yang dibawakan masih lagu Barat berirama jazz dan blues. Di antaranya "When I Fall in Love", "Blue Moon", dan "Unchained Melody".

Selepas SMA, Benyamin mendapat pekerjaan di Perusahaan Umum Pengangkutan Penumpang Djakarta. Berharap menjadi tenaga administrasi, ia justru ditempatkan sebagai kernet bus rute Lapangan Banteng-Pasar Rumput. Benyamin juga pernah bergabung dalam militer di bagian amunisi peralatan Angkatan Darat pada 1959-1960.

Walau Benyamin menjalani beragam profesi, panggilan hatinya adalah dunia seni. Ia tetap bermusik bersama grupnya. Seiring dengan waktu, Melody Boys kian populer dan menjadi band langganan dalam acara-acara Komando Daerah Militer V/Jayakarta.

Sekitar akhir 1950 atau awal 1960-an, Melody Boys, yang kemudian berganti nama menjadi Melodi Ria, menjalani proses rekaman di bawah label Gembira. Salah satu rilisan awalnya adalah lagu “Panon Hideung” yang dinyanyikan Bing Slamet.

Peralihan nama grup ini tak lepas dari kebijakan pemerintah Orde Lama yang melarang penerapan ideologi Barat, termasuk kebudayaannya. Para seniman dilarang memainkan dan menyanyikan lagu-lagu pop Barat yang disebut sebagai lagu “ngak-ngik-ngok”.

Menurut sejarawan JJ Rizal, saat itu banyak seniman yang merasa keberatan. Namun ada pula yang menjadikannya tantangan. Benyamin, JJ Rizal menjelaskan, melihatnya sebagai jalan keluar atas persoalan kariernya yang tak naik.

Akhirnya Benyamin banting setir dari membawakan lagu Barat menjadi penyanyi musik daerah. Pada 1969, Benyamin bergabung dengan grup musik Naga Mustika yang berbasis di Cengkareng, Jakarta Barat. Bersama kelompok pimpinan Suryahanda itu, dia menyanyikan lagu-lagu Melayu-Betawi dengan iringan musik gambang kromong.

Di tangan Benyamin, musik gambang kromong yang bernada pentatonik dipadukan dengan alat-alat musik modern berbasis nada diatonik, seperti gitar melodi, gitar bas, drum, saksofon, trompet, dan organ. Perpaduan itu kemudian dikenal sebagai gambang kromong modern.

Istilah gambang kromong modern, menurut Gerry Apriryan, boleh dibilang baru muncul pada 1970 ketika Benyamin pertama kali berduet dengan penyanyi cilik 1960-an, Ida Royani, dalam album Tukang Kridit. Di sana ada lagu “Ondel-Ondel” yang cukup populer. “Itu pertama kalinya diketahui secara sadar bahwa ada sesuatu berbeda yang dibawa Benyamin,” kata Gerry.

Ketua Bidang Penelitian dan Pengembangan Lembaga Kebudayaan Betawi Yahya Andi Saputra mengakui kepiawaian Benyamin menyanyikan lagu gambang kromong, dari “lagu sayur” hingga “lagu dalem”. “Yang paling susah itu cengkok gambang kromong di bagian klasik yang disebut lagu dalem. Bermetamorfosis jadi lagu populer. Orang nyebutnya lagu sayur,” ujarnya.

Benyamin menulis lirik lagu sayur seperti “Jali-Jali” dan “Kicir-Kicir”, yang lebih ngepop, kocak, dan dekat dengan keseharian masyarakat. “Saya lihat ada ruang bagi dia untuk memasukkan itu,” tutur Yahya.

“Syair dan lirik yang muncul dari gestur, pengalaman tumbuh kembangnya yang sederhana sebagai anak kampung, lahir di daerah Kemayoran, mandi di kali, nonton ondel-ondel, dan sebagainya,” ucap Yahya.

•••

DI awal kariernya sebagai penyanyi, Benyamin Sueb sempat tidak percaya diri menjadi solois. Benny Pandawa mengungkapkan, babenya sangat produktif membuat lagu. Namun karya-karya tersebut lebih banyak diberikan untuk dinyanyikan orang lain. Salah satunya Bing Slamet.

Setelah Benyamin meminta Bing Slamet menyanyikan "Nonton Bioskop", jalan hidupnya berubah. Bing justru meyakinkan dia membawakan sendiri lagu-lagu ciptaannya. "Om Bing bilang, 'Lo aja Ben, lo juga bisa nyanyi'. Benyamin di situ dapat keyakinan karena didorong seniornya. Muncullah dia sebagai solois," ujar Benny.

Dalam artikel di majalah Tempo edisi 1 Januari 1977, Benyamin mengungkapkan bahwa Bing sering berpesan: "Kalau kita mau nyanyi, jangan malu-malu dan jangan lupa asal mula." Ketika Bing bernyanyi, Benyamin bertanya kepada diri sendiri kapan ia bisa menyanyi seperti Bing. "Gua enggak mau nyanyi kalau enggak kayak dia," kata Benyamin.

Pada 1969, Benyamin meluncurkan album debut solonya yang bertajuk Oom Senang di bawah label Mesra. Kemudian album Si Djampang dirilis label rekaman Melody.

Benyamin Sueb (kanan) dan Bing Slamet saat di studio rekaman, Jakarta, 1979. Dok.Tempo/Baron Achmadi

Meski banyak lagunya yang populer dan menjadi hit pada masanya, Benyamin baru mencapai puncak karier setelah berduet dengan Ida Royani pada 1970-an, yang menghasilkan album Tukang Kridit.

Sebelum menggandeng Ida, Benyamin pernah berduet dengan penyanyi perempuan lain, seperti Rita Zahara dan Rossy. Tapi lagu-lagunya tak sesukses ketika dia berpasangan dengan Ida.

Menurut Benny, perpaduan Benyamin-Ida lebih bisa diterima masyarakat. Ida, yang merupakan sosok anak gaul Jakarta dan kerap tampil nyentrik, tiba-tiba disandingkan dengan Benyamin, anak kampung Betawi Kemayoran.

Lagu-lagu yang mereka nyanyikan pun nyeleneh dan kocak. "Enggak dimakan zaman juga. Sampai sekarang dengerin mereka lagi saya sendiri ketawa-ketawa juga,” ujar Benny.

Selain itu, Benny melihat keduanya klop sebagai duet karena saling terbuka dan tidak baperan. "Walaupun marah, mereka cepet akrab lagi."

Benyamin Sueb (kanan) menyanyi bersama Inneke Kusumawati saat acara pesta ulang tahun Vivi Sumanti di Jakarta, 1972. Dok.Tempo/Hasanta

Hubungan Benyamin dengan Ida pernah renggang hampir setahun. Keduanya pun pecah kongsi. Ida memilih berduet dengan Frans Daromes. Sedangkan Benyamin sempat berpasangan dengan Inneke Kusumawati hingga menghasilkan album Cowboy.

Sejak awal Benyamin dan Ida berkenalan, hubungan mereka boleh dibilang penuh drama. Sebelum menjadi rekan duet, Ida sudah bertemu dengan Benyamin ketika usianya 12 tahun. Saat itu Ida baru selesai menjalani perekaman lagu di studio Dimitra Record milik Dick Tamimi. "Tiba-tiba Om Tamimi bilang, 'Ida, lagunya diganti, ya'," kata Ida mengenang momen yang membuatnya kesal itu.

Ida sempat menolak karena harus merekam ulang lagunya. Perekaman lagu di zaman dulu, menurut Ida, lebih sulit. Bila ada kesalahan, proses harus diulang dari awal. Tapi Dick Tamimi terus membujuk Ida karena lagu ciptaan Benyamin sangat bagus. Lantaran terus dipaksa, Ida dengan berat hati setuju mengganti lagu.

Lalu datanglah Benyamin. "Seorang laki-laki dekil. Aku sebel," ujar Ida. Perempuan 71 tahun itu mengaku mempelajari lagu tersebut dengan Benyamin sambil merengut dan marah-marah. Momen itu pun terus disinggung Benyamin saat keduanya sudah menjadi rekan duet. "Gedeg banget ada penyanyi sombong kayak anak kecil. Dikasih lagu sok-sok banget. Pokoknya dia sebel, aku juga sebel."

Pada sekitar 1970, Benyamin datang ke rumah Ida dan memintanya menjadi rekan duet. Saat itu Ida masih duduk di kelas I SMA dan mengaku tidak terlalu tertarik diajak menyanyikan lagu Betawi. Ida menolak ajakan tersebut karena berbeda selera musik. "Aku kan dulu trendsetter. Tiba-tiba kok nyanyi lagu Betawi yang norak, kampung, sudah gitu pasangannya jelek, norak," tutur Ida.

Tapi Ida akhirnya menerima tawaran itu dan menghasilkan album Tukang Kridit. Di sekolah, Ida mengaku diejek teman-temannya karena berduet dengan Benyamin. Ia pun mengeluhkan hal itu kepada Benyamin. "Dia bilang, 'Biarin, Da, kita kampungan. Yang penting rezeki kita kota'."

Menurut Ida, di zaman itu, mereka menjadi penyanyi dengan bayaran terbesar. Penghasilannya, tutur Ida, bisa digunakan untuk membeli mobil tiap bulan. Sepulang tur, alih-alih beristirahat, Benyamin dan Ida sibuk menjalani syuting iklan dan merekam lagu.

Dengan penghasilan yang besar saat itu, Ida kerap membeli barang-barang bermerek. Adapun Benyamin, karena pernah hidup susah, memanfaatkan penghasilannya untuk membeli tanah.

"Dia tahu hidup tuh susah. Jadi benar-benar enggak dihamburkan. Kalau aku kan enggak hidupin keluarga, jadi buat aku sendiri," ucap Ida.

Seiring dengan waktu, teman-teman sekolah tak lagi mencemooh Ida. Setelah lulus, mereka malah mengidolakan Benyamin dan Ida, bahkan sampai membeli kaset pasangan duet itu. Tapi pada 1975 Benyamin dan Ida terpaksa berpisah. Ida melanjutkan pendidikan di sekolah model di London, Inggris, selama delapan tahun. Karier duet mereka pun terhenti setelah Ida menikah dengan Tengku Abdul Aziz pada 1976.

Benyamin melanjutkan karier musiknya. Pada 1977, ia bekerja sama dengan Gatot Sudarto membuat perusahaan rekaman sendiri bernama Ben's Record. Studio rekaman di Pondok Labu, Jakarta Selatan, itu dipimpin Beib Benyamin, anak pertama Benyamin, sebagai kepala studio. Rilisan pertama studio ini adalah album Puntung Rokok.

Pada Juni 1977, Benyamin dan Ida tampil kembali dalam acara ulang tahun TVRI. Mereka membawakan lagu “Tuak Asem”. Penampilan mereka kemudian berlanjut baik di panggung maupun di layar televisi.

Dua tahun setelahnya, Benyamin mengumumkan keputusannya istirahat dari musik selepas perceraiannya dengan Noni. Masa-masa ini, Benny Pandawa mengungkapkan, menjadi titik terendah karier ayahnya. Selain keluarganya pecah, Benyamin dituduh mengikuti agama sesat sehingga jarang ada panggilan pekerjaan. "Dulu memang pedih banget," ucap Benny.

Tuduhan itu bermula ketika Benyamin memutuskan mendalami agama dan bergabung dengan sebuah lembaga pengajian. Saat itu masyarakat menuding lembaga tersebut beraliran sesat. Benny ingat, babenya pernah berkata sambil bergurau: "Lu, gua mabok-mabokan diem. Gua ngaji, lu pada berisik."

Benny mengungkapkan, perjalanan spiritual Benyamin turut mempengaruhi penciptaan sejumlah lagu, tapi dia tidak pernah membuat album khusus religi. Setahu Benny, Benyamin pernah berdalil lewat lagunya, "Innallaha ma'ashobirin", yang artinya "Sesungguhnya Allah senang dengan orang-orang yang sabar".

Benny menilai hal ini menjadi salah satu cara Benyamin melakukan syiar. Selain itu, ada tembang Benyamin yang membahas kejujuran, seperti "Pungli" dan "Asal Comot" yang masih relevan hingga saat ini. Lagu "Asal Comot", misalnya, pernah digunakan Komisi Pemberantasan Korupsi untuk menyuarakan gerakan antikorupsi.

Lagu tersebut menceritakan Adam dan Hawa. Adam disuruh Hawa mencuri buah khuldi. Lagu ini mengkritik pemerintahan yang saat itu dinilai korup. Dari itu wahai sang bini/Sekarang nih/Jangan paksakan sang suami/Membujuk supaya korupsi/Akhirnya ditangkap polisi.

Saat Benyamin terpuruk, Eddy Sud menjadi salah satu rekan yang datang dan memberinya dukungan untuk kembali bermusik. Eddy mengajak Benyamin tampil dalam acara resepsi resmi ataupun festival.

Pada 1981-an, Benyamin merilis album Ketemu Bayi Tabung di bawah label rekaman Insan. Beberapa lagu dalam album itu mulai menggambarkan problem kehidupan pribadinya, tapi tetap dengan gaya jenakanya.

Pamor Benyamin kembali naik. Pada 1983, ia tampil bersama Euis Darliah dalam program TVRI, Aneka Ria Safari, dengan membawakan lagu hit ciptaan Titiek Puspa, "Apanya Dong".

Duet ini juga menghasilkan album musik serta film Benyamin Sama Gilanya. Selain didistribusikan di Indonesia, single "Apanya Dong" diedarkan di Jepang melalui label Eastworld.

Pada September 1991, Benyamin membuat sebuah band rock, Al Haj (Himpunan Anak Jakarta), bersama Harry Sabar, Keenan Nasution, Odink Nasution, Edhitya, dan Adhe Bo. Grup ini merilis album Biang Kerok/Maaf Ku Tak Datang di bawah label rekaman Virgo Ramayana & BBB (Benyamin Bina Bersaudara). Setelah merilis album dalam format kaset tersebut, mereka hanya sempat tampil sekali di TPI.

Wajahnya pun sering wara-wiri di layar televisi. Ia membuat program talk show bertajuk Benjamin Show di TPI yang tayang tiap Selasa malam. Benny mengatakan Benyamin mencapai puncak karier untuk kedua kalinya setelah bermain dalam sinetron Si Doel Anak Sekolahan. Benyamin menjadi Sabeni, ayah Si Doel, yang diperankan Rano Karno.

Di masa kejayaan itu, karier Benyamin sebagai seniman serba bisa harus berakhir di lapangan bola. Ia mengalami serangan jantung setelah bermain sepak bola bersama anak-anak muda dalam perayaan kemerdekaan Indonesia. Benyamin, seniman serba bisa, wafat pada 5 September 1995.

Sebagai sosok yang menginspirasi banyak orang lewat karya-karyanya, nama Benyamin diabadikan sebagai nama jalan di Kemayoran dan taman di Jatinegara, Jakarta. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono memberinya penghargaan Bintang Budaya Parama Dharma di Istana Negara, Jakarta, Selasa, 8 November 2011. Selain itu, nama Jalan Landas Pacu di Kemayoran diubah menjadi namanya.

Sampai saat ini, karya-karya Benyamin tetap hidup. Majalah Rolling Stone Indonesia menobatkan Benyamin sebagai salah satu seniman penting dalam "The Immortals: 25 Artis Indonesia Terbesar Sepanjang Masa". Penghargaan ini menunjukkan warisan seninya yang tetap hidup dan dihargai hingga sekarang.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Dian Yuliastuti berkontribusi dalam penulisan artikel ini

Friski Riana

Friski Riana

Reporter Tempo.co

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus