Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Siapa Pelukis Wajah Mao Zedong di Tiananmen yang Legendaris Itu

Lukisan Mao Zedong di Lapangan Tiananmen masih menjadi ikon di tempat populer di Tiongkok ini. Siapa pelukis pemimpin itu?

23 Juni 2024 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Lukisan potret Mao Tse Tung karya Ge Xiaoguang di Lapangan Tiananmen, Beijing, Cina, 2021. Reuters/Carlos Garcia Rawlins

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Potret Mao Zedong adalah obyek yang sangat ikonik di Lapangan Tiananmen yang bersejarah.

  • Foto atau lukisannya dibuat pada 1949. Visual yang sudah berusia 75 tahun ini masih gagah dipandang orang, turis dan rakyat yang memujanya.

  • Beberapa pelukis mengerjakan lukisan eks pemimpin Negara Tirai Bambu itu.

PADA akhir Mei 2024, saya berkunjung ke Tian An Men Guang Chang, atau Lapangan Luas di Gerbang Surgawi, yang oleh khalayak disebut Lapangan Tiananmen. Masih seperti dulu, lapangan beton terluas sejagat ini setiap hari dikunjungi ribuan wisatawan dari segala penjuru. Mereka berseliweran dan berpotret ria di situ sambil memilih spot foto yang paling ikonik. Hamparan lapangan yang diterpa sinar terik matahari Mei dengan beberapa gedung perkasa di sekitarnya menjadi obyek incaran.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Di sebelah utara lapangan, terlihat Aula Agung Rakyat Tiongkok, atau gedung kongres, yang bentuknya datar. Gedung ini tak menarik apabila tidak dikibari puluhan bendera Tiongkok tiap hari sehingga serasa arak-arakan kavaleri. Di sebelah timur, ada bangunan mentereng dengan pelat merah bertulisan Museum Nasional Tiongkok. Sehampar gedung berlantai empat yang bersinar-sinar indah pada waktu malam, seolah-olah mengunjukkan diri sebagai rumah sejarah Tiongkok yang gemilang. 

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sementara itu, di sebelah selatan ada gedung yang paling banyak ditangisi orang: Mausoleum Mao. Di gedung yang dihiasi patung kepahlawanan inilah jenazah eks pemimpin Tiongkok modern, Mao Zedong alias Mao Tse-tung (yang sudah dibalsam), disemayamkan sejak kematiannya pada 1976. Setiap hari ribuan orang menjenguk khusyuk jenazah itu dengan hanya berjalan melewati jenazah, tanpa suara. 

“Jenazah Ketua Mao menjadi magnet Tiananmen hampir setengah abad. Orang menganggap menjenguk jenazah Mao sebagai upacara ritual agung,” kata pemandu lokal saya. Karena itu, ia tak merasa heran jika suatu kali ada wisatawan Indonesia yang menangis-nangis ketika tidak bisa masuk ke mausoleum lantaran kehabisan karcis! 

Seorang turis berfoto di Lapangan Tiananmen dengan potret Mao Tse Tung sebagai latar belakangnya, di Beijing, Cina, 19 Mei 2024. Agus Dermawan T

Namun obyek yang tiada habis dipandang adalah bangunan di bagian utara, yakni Gerbang Menara Tiananmen. Satu gerbang yang pada zaman dulu merupakan pintu masuk kompleks masyhur, Zijin Cheng atau Forbidden City, warisan Dinasti Ming dan Qing. Yang menjadi daya tarik gerbang menara itu ternyata adalah lukisan potret raksasa Mao Zedong terpajang di sana. Mao pun terfoto ribuan kali dalam berbagai sudut pandang. “Ke Tiongkok tanpa Tiananmen adalah perjalanan bohong. Ke Tiananmen tanpa Ketua Mao, omong kosong,” ucap pemandu lokal yang berseru di siang bolong.  

Lukisan potret Mao Zedong memang menjadi ikon Tiananmen.

Dari keramaian perhatian itu, diam-diam terselip pertanyaan: siapakah yang menciptakan lukisan potret Mao yang selalu terpajang di situ sejak 75 tahun silam? Sejarah pun merunutkan begini.

Pada 1 Oktober 1949, Mao Zedong mengumumkan kepada dunia bahwa Pemerintah Republik Rakyat Tiongkok, yang layak disebut Tiongkok Baru, telah berdiri. Pengumuman Hari Nasional itu dilakukan di Lapangan Tiananmen. Pada saat itu, di hadapan puluhan ribu orang, Mao menyebut Lapangan Tiananmen yang seluas 44 hektare sebagai simbol kebebasan Republik Rakyat Tiongkok. Sebagai penjunjungan, para pendukung Mao memasang lukisan potret “Mao Shi Jiefang Zhe” atau “Mao Sang Pembebas” dalam ukuran tak terperikan, yang bisa dilihat semua orang dari sisi terjauh lapangan. 

Lukisan potret Mao di Gerbang Menara Tiananmen pertama kali muncul pada Februari 1949, setelah pemerintah komunis mengambil alih kekuasaan dari pemerintahan nasionalis. Namun, meski dipajang dengan kebanggaan, lukisan potret itu dinilai berkualitas buruk, mungkin karena dikerjakan terburu-buru. Beberapa bulan kemudian, lukisan itu diganti dengan karya Zhou Linzhao, guru di Institut Seni Beijing. Di situ Mao terlukis mengenakan topi tentara khas Tiongkok. Karya itu lalu dengan gaya menghiasi Gerbang Menara Tiananmen pada Hari Nasional pertama, 1 Oktober 1949. 

Salah satu lukisan potre Mai Tse Tung mengenakan topi di Lapangan Tiannamen, Beijing, Cina, 1950. Dok. National Archive Administration of China

Setahun kemudian, pemerintah mengundang 30 seniman pilihan untuk melukis wajah para tokoh komunis dunia, dari Karl Marx, Friedrich Engels, Vladimir Lenin, Joseph Stalin, Liu Shaoqi, Zhou Enlai, hingga tentu Mao Zedong. Undangan itu ternyata menyimpan niat menguji keterampilan para seniman. Dari situ, ditemukanlah nama Zhang Zhenshi (1914-1992), pelukis realis yang piawai. Pada 1952, alumnus Sentral Akademi Seni Industri Tiongkok ini resmi diangkat sebagai pelukis “Mao Tiananmen”, menggantikan Zhou Linzhao.  

Dari tahun ke tahun, beberapa pose Mao dilukis. Ada potret Mao yang menghadap agak menyamping dengan topi pejuang dan mata yang menatap jauh. Ada pula yang agak menyamping tapi tanpa topi. Juga ada potret Mao dalam pose frontal dengan kepala terbuka dan mata menatap rakyat Tiongkok yang sedang memandanginya.  

Zhang Zhenshi bekerja untuk proyek ini sampai 1964. Kemudian proyek dilanjutkan oleh Wang Guodong (1931-2019), pelukis yang dipercaya menggarap empat model potret Mao sampai 1976. Pada 1977, ditunjuklah pelukis keempat, Ge Xiaoguang (lahir pada 1953), yang serial karyanya tergantung sampai sekarang. Mereka melukis potret itu dalam gaya realis fotografis yang digarap halus, dengan presisi rupa dan karakter yang dituntut tepat tanpa cela. 

Setiap tahun, lukisan baru wajah Mao harus dibuat. Yang pertama, lukisan permulaan, tingginya sekitar 120 sentimeter. Kemudian lukisan itu diperbesar dengan ukuran standar: tinggi 6,1 meter dan lebar 4,6 meter. Lukisan segede rumah berlantai dua inilah yang setiap tahun dipajang di Gerbang Menara Tiananmen pada 1 September, sebulan sebelum Hari Nasional, 1 Oktober.  

Yang patut dicermati, kanvas, cat dan pigura lukisan itu sangat khusus. Pasalnya, dalam setahun penuh, “Mao Sang Pembebas” disiapkan berhadapan dengan sinar terik matahari, angin musim gugur dan musim semi, sampai salju musim dingin. Lukisan yang sudah menempuh durasi pajang diturunkan untuk kemudian dibawa ke Museum Nasional Beijing, yang terletak di samping kiri Lapangan Tiananmen. Di sana lukisan itu disimpan dan sebagian dipajang dengan penuh kehormatan. 

Lukisan potret Mao di Tiananmen akhirnya menjadi sakral. David Barboza, wartawan penerima Hadiah Pulitzer dan penyusun buku China’s Secret Fortunes, menulis: “Jika Buku Merah Kecil Mao (yang selalu ada di dalam tas seluruh rakyat) adalah kitab suci nasional, lukisan potret Mao adalah stempelnya.”

Ge Xiaoguang (kiri) menggunakan lift saat melukis potret raksasa Mao Tse Tung di studio kerjanya di Tiananmen, Beijing, Juni 2011. Reuters/Barry Huang

Wu Hung, sejarawan seni University of Chicago, Amerika Serikat, mengatakan semua versi dan edisi lukisan Mao yang digelar di Gerbang Menara Lapangan Tiananmen harus dibilang sebagai lukisan paling populer di Daratan Tiongkok. Pertimbangannya bukan nilai artistiknya, melainkan banyaknya orang yang telah melihatnya selama puluhan tahun. “Saya sangat yakin mata setiap orang yang menginjakkan kakinya di Lapangan Tiananmen bakal menatap lukisan wajah Mao. Ini dahsyat,” tutur Hung. Sebaliknya, mata Mao disebut sebagai penyaksi sejarah masa dan massa. Sebab, apa pun yang terjadi di Tiananmen—termasuk pembantaian kaum muda pada 1989—tak luput dari penglihatannya. 

Tapi, di balik pengkultusan Mao, tak kurang kritik yang datang. Sebagian mengatakan Mao adalah ikon kultus individu yang dipaksakan secara sistematis oleh komite dalam waktu yang lama dan dengan sabar. Karena itu, kultus tersebut membius begitu dalam sampai akhirnya menjadi “kebenaran”. “Kebenaran” itu pun membuahkan padanan, betapa Mao adalah Tuhan politik-sosial di Tiongkok. Di kancah global, Mao dipercaya sebagai gabungan tiga tokoh dunia: George Washington, Che Guevara, dan... James Dean!  

Mao juga diposisikan sebagai tokoh yang trendi dan modis sehingga terkategori sebagai makhluk pop. Suatu hal yang menyebabkan Andy Warhol membuat seni grafis berobyek wajah Mao mendampingi obyek pop lain, seperti Marilyn Monroe dan Mick Jagger. Kita tahu, seni grafis Warhol yang bergambar wajah Mao terjual US$ 12,6 juta (sekitar Rp 190 miliar) dalam lelang Sotheby’s edisi April 2017. 

Ada keyakinan di masyarakat Tiongkok bahwa lukisan potret “Mao Sang Pembebas” ala Tiananmen sakral dan suci sehingga dilarang diperdagangkan. Karena itu, ketika pada Juni 2006 biro Huachen, Beijing, akan melelang lukisan potret Mao ciptaan Zhang Zhenshi, aparat segera meringkusnya. Pembatalan didorong oleh masyarakat yang melakukan protes keras. Mereka menganggap lukisan tersebut sebagai harta karun Tiananmen. Lukisan koleksi hartawan Amerika Serikat keturunan Tiongkok itu hanya berukuran semeter lebih, diciptakan tatkala Zhang Zhenshi mengikuti “kompetisi 30 pelukis” pada 1950.  

Mao dan Tiananmen akhirnya menjadi kesatuan. Dan Mao seolah-olah menjadi satu-satunya ikon yang gagah perkasa di lapangan. Padahal sebenarnya tidak. Rakyat Tiongkok pernah juga menyanjung Sun Yat Sen, pendiri Republik Tiongkok dan Bapak Negara Tiongkok Modern, sehingga patung besarnya dipajang di Tiananmen selepas kematiannya pada 1925. Lukisan besar wajah Chiang Kai-shek, pemimpin Partai Kuomintang, kepala pemerintahan nasionalis Republik Tiongkok, juga pernah dipajang dan disanjung di situ. Namun keduanya kemudian disingkirkan.  

Tiananmen adalah milik Mao Zedong.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "75 Tahun Potret Mao"

Agus Dermawan T

Agus Dermawan T

Pengamat seni

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus