Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Leila S. Chudori Ungkap 5 Poin dalam Namaku Alam dari Mental Health hingga Karate

Dalam diskusi Namaku Alam di Bentara Budaya Jakarta, Leila S. Chudori mengungkap 5 poin penting dalam karya terbarunya Namaku Alam.

23 September 2023 | 22.28 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Sampul Novel Namaku Alam karya Leila S. Chudori. Foto: Instagram LSC.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TEMPO.CO, Jakarta - Leila S. Chudori, penulis novel Namaku Alam menuturkan ada lima hal intisari tentang buku barunya itu. “Di dalam Namaku Alam itu ada beberapa poin yang penting bagi saya, penulisnya, tapi belum tentu bagi pembaca,” kata Leila dalam acara diskusi buku yang diselenggarakan oleh Palmerah, Yuk! di Beranda Baca Bentara Budaya, Jakarta, Jumat, 22 September 2023.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Berikut 5 Poin penting yang menurut Leila S.Chudori ada dalam karya terbarunya, Namaku Alam

1. Sejarah

Bagi penulis novel best seller itu, hal terpenting dalam Namaku Alam adalah unsur sejarah yang menjadi latar cerita. “Pertama bagi saya poin yang penting adalah sejarah, bagaimana penulisan sejarah di Indonesia,” kata Leila.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Novel Namaku Alam sendiri berfokus pada masa remaja tokoh utama Segara Alam dengan kilas balik akan pengalaman masa kecilnya yang cukup traumatis karena dicap sebagai anak eks tapol di Indonesia pada era Orde Baru, pada 1965. Bersamaan dengan proses penulisan novel, Leila juga mengaku sering melakukan riset seputar masa itu dengan meminta informasi kepada para sejarawan.

2. Pendidikan

Poin yang berikutnya penting bagi Leila adalah pendidikan. Dia merasa bahwa sejak dulu pendidikan di Indonesia masih terus dibahas secara mendalam. “Its very concerning menurut saya. Apalagi 10 sampai 20 tahun terakhir, pendidikan di Indonesia malah semakin concerning menurut saya, semakin konservatif,” tutur Leila.

Wartawan senior Tempo itu pun membandingkan kurikulum pendidikan Indonesia dengan internasional yang lebih maju dan patut dijadikan contoh lantaran tidak hanya menghapal tapi juga memahami isu seputar kemanusiaan. “Yang namanya pendidikan itu salah satu tugasnya membuka wawasan kita. Kita harus terlatih untuk menerima berbagai perbedaan di dalam pendidikan, di sekolah harusnya begitu. Tapi sekarang enggak. Bukan hanya seragam saja yang disetarakan tapi juga pemikiran pun diseragamkan,” tutur Leila.

Dia juga menambahkan soal pentingnya memahami kemanusiaan dan sastra. “Kalau kita diterima di Harvard atau Yale University tapi kalau tidak punya sisi kemanusiaan (humanity) itu buat saya juga tidak make sense. Kemudian ini juga menyajikan soal sastra yang saya tekankan betapa liberalnya sekolah ini dalam pemahaman sastra sehingga tidak hanya menghafal penulis dari angkatan mana penulis (sastrawan) saat ini,” kata Leila.

3. Mental Health

Banyak simbol yang dicantumkan penulis dalam menggambarkan tokoh Alam, termasuk mental health atau isu kesehatan mental yang membayanginya. “Ada soal perasaan alam yang merasa melawan sesuatu yang bergerak terus sehingga ia tidak bisa bergerak. Kalau dendam sama seseorang kan kita tahu apa yang harus dilakukan, tapi dia sama siapa ini,” kata Leila soal kesehatan mental tokoh Alam.

Masih berkaitan dengan isu kesehatan mental, Leila juga menerangkan bagaimana para tokoh mengatasi temperamen, dan tokoh-tokoh seperti Alam yang sudah mengalami kekerasan sejak kecil. "Jadi anak-anak ini tetap berprestasi dan menjadi orang yang berbudi menurut saya luar biasa,” katanya.

4. Musik

Soal musik juga penting dalam Namaku Alam. Menurut Leila, musik tahun 1960, 1970, dan 1980an abadi. "Seperti halnya karya-karya sastra yang saya sebut itu juga menembus ruang dan waktu,” tutur Leila.

5. Karate

Terakhir adalah karate. Ini menjadi poin penting lantaran karate memakan beberapa bab dan sang penulis juga sangat percaya dengan seni bela diri ini. Berkaitan pula dengan narasumber yang menjadi inspirasi penting dalam karya ini yang menjadikan olahraga mendaki gunung sebagai coping mechanism dalam menghadapi kemarahan.

“Salah satu narasumber penting yang menjadi informasi utama dalam karya ini naik gunung untuk mengatasi kemarahannya. Saya menggantikannya dengan karate karena saya punya pengalaman di situ dan merasa seru,” ujar Leila.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus