Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Dalam diskusi Namaku Alam yang diselenggarakan oleh Palmerah, Yuk! di Bentara Budaya Jakarta pada Jumat 22 September 2023, Leila. S. Chudori selaku sang penulis novel menjelaskan proses panjang dirinya dalam memproduksi buku best seller yang baru terbit tersebut. Ia mengaku sudah menjalankan riset sejak 2006, bersamaan dengan proses riset untuk novelnya yang berjudul Pulang dan terbit di tahun 2012.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Walau mengaku sempat menunda penerbitan Namaku Alam karena adanya pandemi Covid-19, akhirnya jilid pertama novel ini berhasil dipublikasi dan menjadi best seller pada cetakan pertamanya hingga terjual sebesar 5.100 eksemplar. Seperti apa cerita Leila dalam membangun karya sastranya ini? Berikut perjalanan Leila S. Chudori dalam proses menulis Namaku Alam (2023).
1. Dimulai dari Tokoh
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Saat menulis novel terbarunya, Leila memulai cerita dari tokoh. Sama seperti penulis-penulis lain yang memulai dari karakter protagonis. Menurutnya, tokoh itulah yang paling penting karena membawa cerita. Hal ini juga menuntunnya dalam menulis karena akan memunculkan percakapan imajiner antara tokoh yang diciptakan dan sang penulis saat menggambarkan cerita. Tokoh ini yang nantinya akan mengarahkan cerita, apa yang dapat dibuat dan tidak.
“Penulisnya mau bikin plot A tapi malah bertengkar dengan tokoh. Itulah sebenarnya mengapa saya mengatakan bahwa si tokoh ini yang membawa plot dan cerita, dari awal sampai akhir. Bagaimana awal, bagaimana perjuangan dia, dan bagaimana endingnya,” ujar Leila.
2. Mulai Riset: Pustaka, Pengalaman, Riset Lapangan
Leila S. Chudori pun mengungkap bahwa dia sudah melakukan riset sejak 2006 saat menulis Pulang. “Risetnya itu sebetulnya menjadi satu dengan novel Pulang, namun ada tambahan-tambahannya,” kata Leila menjelaskan riset awal Namaku Alam.
Dalam melakukan riset, ia menggunakan 3 metode, ada pustaka, pengalaman, dan riset lapangan. Sastrawan Indonesia ini juga mengakui bahwa Namaku Alam sangat dipengaruhi oleh profesinya sebagai wartawan. “Setelah saya menemukan tokoh saya, karakter saya, itu kemudian saya melakukan riset panjang. Hal itu sangat dipengaruhi oleh profesi saya sebagai wartawan. Jadi riset yang saya lakukan adalah pustaka. Banyak membaca buku-buku, Tempo banyak sekali menjadi sumber saya yang utama,” tutur Leila.
(Kiri ke kanan) Wisnu Nugroho, Leila S. Chudori, Nova Riyanti Yusuf, dan Andi Achian dalam diskusi novel Namaku Alam karya Leila S. Chudori di Beranda Baca Bentara Budaya Jakarta, Jumat 22 September 2023. TEMPO/Han Revanda Putra.
Tak berhenti sampai di situ, Leila turut memasukkan pengalamannya selama masa Orde Baru ke novel Namaku Alam. Di antaranya ketika dia membeli Bumi Manusia, hingga berada di lingkungan beberapa tapol dan anak tapol yang menjadi rekan kerjanya di Tempo.
Setelah itu, Leila melakukan riset lapangan yang dia lakukan dengan mewawancara narasumber dan menggunakan kota Jakarta sebagai latar tempat dalam novel. “Narasumber saya biasanya yang pernah diwawancara Tempo tapi saya wawancara lebih dalam lagi. Saya mewawancarai ada beberapa saudara saya yang juga berprofesi sebagai psikolog dan psikiater karena saya tidak ingin salah dalam menulis cerita. Selain itu saya juga tidak ingin mengarang seputar trauma dan kesehatan mental,” ujar Leila.
3. Outline Tokoh: Segara Alam, Kenanga, Bulan
Selanjutnya, Leila membuat outline tokoh, ada tokoh utama Segara Alam, dan kedua kakaknya yang biasa dipanggil Yu Kenanga dan Yu Bulan. Outline ini akan menggambarkan garis besar novel.
Tokoh Alam sebagai pusat cerita, Leila menjelaskan bahwa dia adalah anak lelaki yang tampan dengan tingga 178 sentimeter dan dipaksa oleh keadaan untuk tidak boleh terlalu menonjol, berkaitan dengan era Orde Baru. Sebagai anak eks tapol kala itu, ia punya tempramen dan mengalami krisis identitas. Maka tokoh Kenanga dan Bulan, juga tokoh Ibu, ketiganya menjadi kompas untuk mengarahkan Alam.
4. Menyunting Outline
Sebagai penulis, Leila pun mengakui akan ada sesi editing dan mengubah outline, seperti menambahkan atau mengurangi sesuatu. Ini menjadi salah satu prosesnya juga dalam menulis Namaku Alam.
5. Ending yang Diwarnai Oposisi Biner: Harapan atau Kegelapan?
Menurut Leila, ending novel ini mengandung dualitas makna (oposisi biner), yakni harapan dan kegelapan. Gelap sendiri merupakan perwujudan dari tubuh Alam yang di dalamnya mengandung sejarah Indonesia yang tidak tercantum di dalam sejarah resmi. Novel berakhir dengan kegelapan karena sampai sekarang sejarah belum diperkaya atau dilengkapi dari apa yang tertulis dari Orde Baru.
Tidak pesimis, karya ini juga menjadi harapan bagi banyak pihak, termasuk keluarga eks tapol yang diasingkan di negaranya sendiri.
“Harus ada dua makna, double swords. Memang gelap, tapi gelapnya karena sampai sekarang sejarah belum juga direvisi. Kedua, saya tetap ingin merasa bahwa ini ada harapan karena setelah 98, penyintas dari 65 mulai bersuara. Suara mereka sudah mulai diperhitungkan,” kata Leila S. Chudori.
INTAN SETIAWANTY