Secarik stiker tarif menempel pada kaca jendela sebuah taksi. Ya, sang fotografer memilih stiker ketimbang argometer, rambut sopir taksi yang lebat dengan uban, atau panorama yang melintas di luar jendela.
Entah apa alasan pemilihan obyek itu. Tapi Yudhi Soerjoatmodjo, fotografer itu, melakukannya, membidikkan kameranya ke arah stiker. Para pengunjung boleh jadi merasa ditinggalkan di dalam gelap. Apalagi foto stiker seukuran kartu pos itu muncul tanpa keterangan. Dalam pameran bertajuk Façade (artinya permukaan terluar) di Goethehaus, Jakarta, dan berlangsung hingga awal Mei itu, memang tak ada foto yang lebih besar dari kartu pos, tak ada bingkai, dan tak ada foto yang disertai keterangan—baik judul maupun caption.
Memang ada sesuatu yang "tidak beres" ketika Yudhi memilih stiker, dan sejumlah pengunjung mencari jawab yang tak kunjung muncul. Fotografer Poniman Sitanggang mengeluh kecewa: semua juga bisa (menghasilkan karya seperti itu), katanya. Fotografer Arbain Rambey juga kecewa, tapi tetap menilainya "memberi ruang berpikir baru". Sedangkan kurator seni Rifky Effendy beranggapan, Yudhi telah bergerak antara ruang seni rupa dan fotografi sosial, manakala foto tak lagi sekadar mengantar pesan.
Foto-foto dalam Façade memang tidak mengungkap berbagai obyek yang istimewa. Ada seorang pemuda di stasiun kereta api. Tak satu pun, baik wajah, potongan badan, maupun latar belakang kereta api yang berkelebat itu, memiliki sesuatu yang patut ditonjolkan. Demikian pula wajah-wajah anonim pas foto yang menyesaki etalase tukang potret. Atau tangan wanita yang merogoh celana dalam dan meraba kemaluannya. Foto serupa, yang sebenarnya dengan mudah bisa didapat di internet itu, diambil Yudhi dari sebuah saluran televisi.
Kita tahu, Façade adalah sekuel pertama dari trilogi karya Yudhi Soerjoatmodjo. Pameran berikutnya bertajuk Pimlico, nama suatu kawasan di London, akan diadakan sekitar bulan Juni. Sementara itu, sekuel terakhirnya, The Pillow Book, adalah kisah bagaimana bantal tidurnya "bertutur" setiap pagi dan akan dipotret selama setahun. Tapi, di luar itu semua, apa sih yang mau dikatakan dalam Façade?
Zarathustra, tokoh hero dalam Also Sprach Zarathustra, buku karya Friedrich Nietzsche, turun gunung setelah bertapa 30 tahun di puncak bukit. Kebenaran yang dicarinya telah berada di genggaman tangannya, dan kini ia siap menuangkannya ke semua orang. Yudhi Soerjoatmodjo, bekas fotografer Majalah TEMPO yang lantas aktif di galeri foto Antara dan kini di galeri I See, telah menggantung tustelnya selama tujuh tahun. Sekarang ia memamerkan karyanya yang terbaru. Yudhi bukan Zarathustra dan tidak pernah mengklaim "kebenaran" (tentu layak ditulis dengan "K" besar) dalam karya-karyanya. Tapi ia menggarisbawahi karya-karya mutakhirnya dengan suatu deklarasi yang cukup "bombastis": akhir fotografi.
Yudhi yang baru bukanlah Yudhi yang memberi tema lebih personal—menggabungkan antara catatan harian, dokumenter, dan esai foto hitam-putih di dalam karya-karyanya. Dalam pamerannya yang bertajuk Oma (1996), ia lebih banyak memperoleh sambutan dari kalangan seni rupa. Yudhi kini juga bukan sosok yang muncul dengan sejumlah foto di rumah jagal dalam Meat & Co (1993). Itulah Yudhi yang demikian taat pada setting tema yang akan dibuatnya, dan mencorat-coret dalam secarik kertas advertorial.
Yudhi kini lebih hirau pada proses ketimbang hasil akhir. Ia lebih terpukau pada proses melihat yang dialami oleh si fotografer, dan itu bukan obyek. Obyek adalah sesuatu yang muncul, tampak kulit luarnya, dan sesaat mendorong sang fotografer menjepretkan kamera. Pikirannya sederhana, tapi lumayan revolusioner: meninggalkan pola fotografi yang telah diusungnya selama ini.
Lebih dari menangkap momen yang menentukan—seperti kata fotografer legendaries Henri Cartier-Bresson—Yudhi mencoba mencari inti dari proses kognisi yang dikenal dengan istilah "melihat". "Lihatlah apa yang saya lihat. Lihatlah imaji yang saya potret. Lihatlah TV yang saya tonton. Lihat pula usek-usek bantal dan seprai bekas tidur semalam." Semua menjadi sebuah catatan dalam buku notes perjalanan Foto yang dilakukannya ke sembilan kota di Jerman, Agustus 2002, dalam waktu singkat. Itulah foto-foto yang kebanyakan diambil dalam perjalanan di dalam kereta api.
Yudhi memilih kamera digital. "Saya tidak mau terbebani ritual harus memilih format film apa, misalnya," tuturnya, tegas. Yudhi merasa keputusannya tepat, ketika kamera digital dengan instan merekam proses pergulatan pemikirannya dalam "melihat". Yudhi telah berjalan jauh, tapi sekarang ia tidak saja berhenti menyusuri jalan yang telah ditempuhnya, tapi juga berbalik seratus delapan puluh derajat. Dalam istilah pengamat fotografi Seno Gumira Ajidarma: "Dia telah menghancurkan sendiri apa yang sudah dia bangun pada sepuluh tahun terakhir."
"Beyond artistik, bahkan beyond teknis juga," ujar Seno Gumira. Seno memang seakan berharap perlakuan istimewa bagi gagasan istimewa itu. Tapi mungkin itu tak perlu. Coba lihat caranya memotret coakan sebuah dinding katedral dengan guratannya yang menua cokelat. Atau sebuah vista dari sebuah jendela kayu. Atau pria ber-sweater biru yang duduk membaca di samping sebuah patung seorang dewi. Karya ini justru sangat artistik.
Namun, sebagaimana suatu dialektika, sang antithesis telah lahir, si penggagas telah menolak alam pikirannya yang telah kedaluwarsa, tapi sang thesis belum menguap habis. Yudhi tidak bisa melepaskan diri dari kodrat komposisi dalam foto dua kloset pria di WC berpola lantai papan catur. Begitu pula patron background-foreground sebuah foto. "Terus terang saya tidak bisa terbebas begitu saja dari pengalaman fotografis saya selama 16 tahun," tutur Yudhi. Tapi, apakah fotografi berakhir di situ? Tampaknya itu baru satu kesimpulan yang personal.
Endah W.S.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini