Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Film

Live Painting atau Metaekologi Kedua

Pertunjukan yang hanya ada unsur gerak, semuanya menyatu: penari, air mancur, kanvas, musik, angin. Sardono menjadi unsur yang ”kontras” ketika masuk dan mencipratkan cat ke kanvas-kanvas yang digerakkan dan menggerakkan para penari.

5 September 2016 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

AIR mancur, penari, kanvas, dan cat akrilik. Di tengah pertunjukan yang berlangsung lebih dari satu jam ini, sepertinya tak lagi kita ketahui siapa yang bergerak dan apa yang digerakkan. Seorang penari masuk ke arena—berbentuk lingkaran dengan diameter sekitar enam meter, di garis lingkaran dengan jarak teratur enam titik air mancur, satu lagi di titik pusat. Ia setengah menyunggi kanvas berukuran sekitar 3 x 2 meter, merebahkannya, menyeretnya pelan, ganti-ganti. Melangkah masuk ke dalam arena, segera saja penari dan kanvas ini terguyur air mancur. Geraknya pelan, terasa merespons air, seperti tak peduli pada seorang penari yang lebih dulu masuk arena, tanpa kanvas, menyeret selendang panjang putih, kepanjangan kain yang juga putih yang dikenakannya.

Pertunjukan di depan bangunan Istana Kampong Glam di kompleks Taman Warisan Melayu, Singapura, ini dimulai pada pukul lima sore, 20 dan 21 Agustus lalu. Matahari siang yang menyengat tak lagi terasa terik. Cahayanya yang menerobos dari sisi kanan atas bangunan bergaya Palladian yang menghadap ke tenggara itu masih bisa mencapai arena. Dari penonton di sisi timur, ketika seorang penari menggotong miring kanvas menghadap ke barat daya, terciptalah bayang penari di kanvas. Penari yang membayang di kanvas ini terjadi berulang kali, seperti sengaja memberikan ”goyangan” pada irama pertunjukan.

Inilah Live Painting, sebuah pertunjukan oleh Sardono W. Kusumo. Empat penari perempuan, tiga pria, tujuh pancuran air mancur, dan lima kanvas berproses sebatas arena lingkaran. Persis di tengah latar belakang bangunan Istana, menempel di dinding, properti berupa limas trapesium segitiga siku-siku dengan sudut terkecil sekitar 30 derajat. Limas ini menghubungkan bangunan dan tepi lingkaran, sisi siku-siku di depan dinding bangunan. Pada permukaan atas yang datar dan miring 30 derajat itulah munculnya tiga penari lelaki, juga mengusung kanvas, besarnya sekitar 4 x 3 meter.

Musik (oleh Otto Sidharta) mengolah suara sekitar, terasa yang kemudian membuat seluruh kompleks Taman Warisan Melayu berfokus ke arena air mancur itu. Penari hanya bergerak, lamban, menggerakkan dan digerakkan oleh kanvas, basah oleh air mancur, kemudian ”ternoda” oleh cat. Pada mulanya hanyalah seorang penari, yang tak membawa kanvas, mengambil wajan kecil yang sudah dipersiapkan di pinggir lingkaran di awal pertunjukan, yang rupanya berisi cat hitam. Ia melaburkan cat ke tubuh dan kanvas yang dibawa penari lain, dengan gerak yang tetap lamban. Ketika tiga penari lelaki mulai muncul di atas permukaan limas, Sardono masuk membawa kaleng berisi cat. Lalu sebuah siraman ke kanvas, kuning menyebar.

Sardono kembali ke luar arena. Di luar arena, perupa Andi Rharha (yang dikenal dengan seni rupa jalanan bermedium lakban) menyiapkan kaleng dan cat. Beberapa kali Sardono masuk arena dengan langkah sehari-hari, menjadi kontras dengan ketujuh penari yang bergerak lamban intuitif. Lalu biru mendominasi sebuah kanvas. Lalu merah.

Ketika matahari semakin condong, suasana lebih adem dan terang cahaya makin berkurang, pemandangan di arena pun berubah, pelan, tak lagi terang-benderang. Air mancur itu pun berubah hitam karena cat, kostum putih-putih para penari juga tak lagi bersih. Tubuh penari lelaki yang telanjang dada itu pun tak lagi mulus. Dan kanvas-kanvas itu tak lagi kosong. Inilah painting performance, pertunjukan melukis, kata Ong Keng Sen, Direktur Festival Singapore International Festival of Arts.

Rasanya Ong tepat karena Live ­Painting hanya gerak dan lain-lain, tak diikat oleh suatu maksud membentuk sesuatu, apalagi cerita. Ini bukan performing semisal karya Sardono Cak Tarian Rina (1971) sampai ­Sunken Sea (2006). Bahkan Live Paint­ing berbeda dengan Rain Color­ing Forest, yang dipanggungkan di Los Angeles, Amerika Serikat, 2010, karya pertama Sardono yang ”mempertemukan” pengalaman melukisnya dengan seni pertunjukan. Rain, yang hanya sempat saya ikuti di You­Tube dan membaca resensi di LA ­Times, pada hemat saya masih mengandung kisah dan ada yang menjadi fokus, yaitu lukisan. Peresensi LA Times, Mark Swed, menutup resensinya kira-kira seperti ini: ”Sungguh membosankan melihat cat mengering (di kanvas), tapi tidak di pertunjukan Rain Coloring Forest ini; penonton pun enggan beranjak walau lampu gedung sudah dinyalakan.”

Bahkan saya sulit mengatakan bahwa Live Painting adalah peristiwa gerak, berproperti kanvas, yang di akhir pertunjukan kanvas itu menjadi lukisan. Lebih dari satu jam performance di air mancur Istana Kampong Glam ini tak saya tangkap sebagai proses terjadinya sebuah lukisan. Kanvas dan cat selama pertunjukan berlangsung terasa sama dengan tubuh-tubuh penari itu. Bahkan ketujuh air mancur pun menyatu dalam sebuah peristiwa, bukan sekadar unsur. Ringkasnya, semua yang ada di arena lingkaran itu utuh menyatu, tak terbeda-bedakan. Kesemuanya seolah-olah membentuk sesuatu yang bergerak bersama. Bahwa kanvas tersebut kemudian dianggap sebagai lukisan untuk dipajang di dinding, pada hemat saya itu kebetulan. Live Painting mengingatkan saya pada Metaekologi (1979), ketika lumpur dan penari adalah satu, adalah alam. Sedangkan dalam Live Paint­ing yang menyatu adalah alam dan benda hasil produksi. Karena itu, sengaja atau tidak, tempat pertunjukan yang ditawarkan oleh Ong Keng Sen pas: ruang terbuka.

Dalam ruang terbuka itu, seandainya ada kesengajaan, tidak mudah menyedot perhatian penonton pada cat dan air yang meleleh di kanvas, di tubuh penari. Perhatian pada cat meleleh itulah yang ditangkap oleh Mark Swed. Karena itu, ia menganggap Sardono adalah ”Pollock from Jakarta”. Mungkin memang begitu dalam Rain Coloring Forest.

Dalam Live Painting, Sardono hanya bagian dari seluruh ”benda” yang disebut pertunjukan; hanya ia keluar-masuk, tidak ”menempel”. Ia, menurut tangkapan saya, menjadi hal yang ”kebetulan” dan membuat ”benda” itu menjadi tak membosankan ditongkrongi, seperti juga ketika cahaya matahari membentuk bayang-bayang penari pada kanvas.

Live Painting seolah-olah bagian sehari-hari dari seluruh kompleks Taman Warisan Melayu, seperti juga Istana Kampong Glam dan pohon-pohon di halamannya serta orang-orang yang lalu-lalang. Karena itu, burung yang terbang di langit, dan andai saja ada kucing melintas, akan menjadi bagian yang membuat suasana. Juga, yang saya bayangkan, andai ada seseorang masuk membawa kanvas dan ditaruh di arena, saya kira bakal menyatu dalam pertunjukan.

Memang ketujuh penari (Astri, Dorothea, Helda, Meitha, Boogie, Jef­ry, dan Ivan) bergerak dengan dasar pengalam an seni tari. Namun, di arena lingkaran air mancur itu, antara angin, musik, tarian lamban penari, dan gerak sehari-hari Sardono membuat apa saja yang ada di lingkungan ini menyatu, sejauh tak ada paksaan (baca: kekuasaan) yang mendominasi. Seperti dalam pertunjukan hari kedua, mendadak dari luar taman ada suara perkusi yang begitu keras--mungkin ada yang berkarnaval-ria merayakan bulan kemerdekaan Singapura. Tapi ini pun saya lihat tak ada penonton yang terganggu, hanya panitia yang kemudian ada yang berjalan ke luar dan suara perkusi pun hilang.

Menonton Live Painting serasa menyaksikan Metaekologi kedua, ketika di bawah sadar Sardono menumpuk pengalaman melukisnya. Pengalaman melukisnya itu sendiri adalah pengalaman ”menari”, menggerakkan otot-otot, melentikkan jari, mengambangkan telapak tangan, menggeser kuda-kuda ketika di tangannya adalah sekaleng cat. Ketika menari, Sardono ”meledakkan energi yang ada di dalam diri”. Dalam hal ini, ia mirip Pollock, yang menganggap melukis adalah ”merepresentasikan gerak dan energi dunia dalam”. Dalam melukis, Sardono, seperti dikatakannya pada brosur pertunjukan, ”berurusan dengan warna dan lingkungan”. Menurut tafsir saya, bertolak dari melihat sejumlah lukisannya, Sardono lebih—tak berarti tidak ada—menyusun warna dan garis ketimbang berurusan dengan ”energi di dalam diri”. Dan ”menyusun” model Sardono dilakukannya melalui pengalaman menari. Bukankah tubuh memiliki memori juga, yang sewaktu-waktu bisa diundang untuk mengulangnya? BAMBANG BUJONO, PENGAMAT SENI RUPA (SINGAPURA)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus