Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SAYUP-sayup terdengar suara ombak. Tony Broer, aktor asal Bandung, berdiri di atas sebuah wajan besar. Wajan itu bagai sebuah perahu kecil. Tatapannya kosong. Sosoknya betul-betul ”hancur lebur”. Ia seperti antara hidup dan mati. Janggut lebatnya yang abu-abu berantakan, serabutan kotor menutupi wajah. Rambut panjangnya awut-awutan. Tangannya sesekali menengadah seraya sorot matanya memandang nanap ke atas. Mulutnya menggumamkan sesuatu, tapi tak tertangkap kalimat-kalimatnya. Di sekelilingnya, meringkuk tubuh lelaki-perempuan dalam wajan-wajan lain.
Black Sun, karya terbaru Sardono W. Kusumo, dimulai dengan 11 penari merangkak perlahan dengan benda serupa wajan besar di atas punggung. Tata cahaya yang ditangani penata lampu asal Amerika Serikat, Clifton Taylor, membuat dalam kegelapan muncul pendaran-pendaran halus di permukaan bulatan wajan. Para penari tampak ada yang menutupkan wajan terbalik itu ke seluruh badannya. Ada yang tertidur di wajan dengan kaki tertekuk seperti posisi jabang bayi dalam kandungan. Bunyi krak... krak... krak wajan yang bergoyang-goyang kanan-kiri bagaikan sampan-sampan kecil yang diempas gelombang itu membikin sensasi sendiri.
Karya yang memetaforakan terombang-ambingnya manusia perahu itu dipentaskan di gedung Theatre Work, Jalan Mohamed Sultan, kawasan Clarke Quay, Singapura. Karya ini merupakan bagian dari Singapore International Festival of Arts (SIFA). SIFA memberikan tempat terhormat kepada Sardono, yang tahun ini berumur 71 tahun. Di antara para penari dunia yang tampil di festival itu, misalnya Bill T. Jones (Amerika), Fernando Rubio (Argentina), Dimitris Papaioannou (Yunani), Trajal Harrell (Amerika), dan Robert Lepage (Kanada), Ong Keng Sen, Direktur Festival SIFA, menyediakan secara khusus The Sardono Retrospective. Tiga karya Sardono disajikan, yakni tari Black Sun, yang sebagian besar menggunakan penari Papua; Sardono Solo Live Painting; dan pemutaran film yang dibuat Sardono bertajuk Expanded Cinema.
Deram kapal makin keras. Manusia-manusia perahu, imigran-imigran ilegal itu, bangkit. Setelah terombang-ambing sekian lama di samudra, tiba-tiba mereka mendengar ada suara kapal mendekat. Mungkin itu kapal yang akan menyelamatkan mereka. Seseorang mengangkat tangan ke atas. Seseorang menumpukan kepalanya keras-keras ke dasar wajan. Seseorang menggemetarkan kaki di wajan.
Lalu ada adegan seseorang berjalan di atas wajan mendekatkan wajannya ke wajan lain. Mereka yang tercerai-berai berusaha mendekat. Mereka lalu saling melempar tali, tarik-menarik dan gapai-menggapai. Para penari Papua itu kemudian menyajikan adegan kebersamaan. Di tiap sudut, tubuh mereka tumpuk-menumpuk di punggung melilitkan tali satu sama lain. Di tengah keriuhan, seorang lelaki sepuh berbadan tegap masuk dan merespons penyanyi Nyak Ina Raseuki, yang lebih dulu bereksplorasi suara. Lelaki itu adalah Chriestianus Serra Koirewoa, keturunan raja dari Kampung Serui, Waroten, Papua.
Si lelaki menyanyikan sebuah senandung suci: ”Sampari sya syairoro. Sampari syana ande ndughamae. Sampari sya syairoro.” Arti senandung itu adalah di dalam perahu kecil ini aku mengukur keluasan laut yang tak terbatas, di dalam perahu kecil ini aku melintasi waktu sejak cahaya matahari benderang hingga menghitam dan mati. ”Nyanyian itu di Serui menggunakan bahasa yang disebut bahasa kulit kayu. Bahasa tua nenek moyang. Kami sendiri, anak-anak muda, tak lagi mengerti bahasa itu. Hanya feeling-nya yang masih terasa,” kata Serraimere Boogie Y. Koirewoa, salah seorang penari. Kemudian di akhir terdengar tembakan pistol. Samar-samar terdengar suara berita dibacakan di televisi. Mungkin kapal itu datang tak untuk menolong, tapi justru membunuh mereka.
RETROSPEKSI Sardono W. Kusumo ini sangat penting karena, di samping menampilkan Black Sun dan Live Painting, menghadirkan dokumentasi film yang bisa digunakan membaca perjalanan kesenimanan Sardono sejak 1960-an. Dia ternyata seniman yang sadar kamera. Sardono, seperti judul film sineas Rusia, Dziga Vertov, Man with a Movie Camera, adalah seniman yang dalam pengembaraannya selalu peka mengabadikan momen kecil apa pun. Expanded Cinema, yang diputar di Taman Warisan Melayu, terdiri atas dua bagian. Bagian pertama: Raden Saleh After 200 Years. Ini seri film eksperimen Sardono.
Di berbagai tempat, Sardono mengenakan kostum ala Raden Saleh. Di Paris pada tengah malam, ia berjalan seolah-olah Raden Saleh yang kembali lahir di zaman digital. Dengan cambang dan rambut tergerai, ia berjalan di lorong-lorong Paris yang penuh iklan fashion, naik subway, dan menari di depan patung-patung museum sampai kereta kuda. Ide Sardono sering datang tiba-tiba. Tatkala pendapa rumahnya di Kemlayan, Solo, Jawa Tengah, dibongkar dan para tukang di atap mengetuk-ngetuk genting, di tengah hujan serpihan genting yang jatuh, ia menyuruh Besur, penari Solo, bergerak improvisatoris. Sementara itu, dia dengan kostum Raden Saleh seolah-olah tengah membuat skets sang penari.
Terasa filmnya itu menampilkan suatu surealisme keseharian. Gagasan Sardono kadang menyentuh sesuatu yang mitologis dan erotis. Dalam filmnya tampak sebuah meja panjang lengkap tersaji aneka makanan dan sesajen. Seorang perempuan yang tadinya telanjang dengan tubuh penuh tato duduk menunggu. Tiba-tiba ada seseorang yang membungkus dirinya dalam pakaian dan topeng macan loreng, meloncat dan merangkak di atas meja. Macan itu mengendus dan menjilat-jilat makanan dari satu piring ke piring lain.
”Lebih dari sepuluh tahun saya mengikuti Sardono,” kata Faozan Rizal, juru kamera yang bersama Hadi Artomo bergantian membantu merekam gagasan-gagasan visual Sardono. ”Ide-de Mas Don spontan. Saya sering mendadak ditelepon Mas Don, disuruh datang ke suatu tempat, karena ia melihat ada momentum menarik.” Pernah, misalnya, Sardono tertarik pada semburan lumpur di Bledug Kuwu, Grobogan, Jawa Tengah. Ia kemudian mengundang dalang Slamet Gundono (almarhum) dan penari Yola Yolvianti. Dengan panorama letupan lumpur, Gundono memainkan ukulele dan menyanyikan lagu-lagu beraura pesantren. Sementara itu, Yola menarikan tari perut. Yang menarik, Yola saat itu sedang hamil. Perut besarnya terbuka. ”Anak saya sekarang 11 tahun, berarti sudah lama banget,” ujar Yola.
Bagian yang sangat berharga adalah dokumentasi Sardono yang merekam sendiri petualangannya dari Bali sampai Nias pada 1960-an dan 1970-an. Dokumentasi itu masih hitam-putih dan tanpa suara. Ia menggunakan kamera 8 milimeter. Dokumentasi yang ditayangkan rata-rata sekitar 10 menit. Jauh sebelum anak muda sekarang kecanduan selfie, Sardono agaknya dari dulu sudah memiliki kesadaran merekam sendiri proses-proses artistiknya.
”Saya beli kamera 8 mm itu di New York pada 1964. Umur saya saat itu 19 tahun. Saya ikut rombongan penari Ramayana di Expo World Fair. Gaji saya 250 dolar. Makanya saya sanggup beli kamera,” ucap lelaki yang rambutnya tetap gondrong ini. Kamera itulah yang kemudian dibawanya ke mana-mana ke pelosok Nusantara. Menurut Sardono, rol-rol pita hasil rekamannya kemudian disimpan begitu saja di rumah tanpa perawatan khusus. Ia takut rol-rol itu rusak. ”Direktur Festival Singapore International Festival of Arts Ong Keng Sen tertarik pada dokumentasi saya. Dan, atas biayanya, didigitalisasi dan direstorasi di Australia,” kata Sardono. Memang kondisi pita-pita itu sebagian kurang bagus. Tatkala Tempo tahun lalu turut menyaksikan Sardono di Institut Kesenian Jakarta mencoba memasang rol 8 mm itu di proyektor, beberapa pitanya langsung putus.
”Yang paling parah kondisinya adalah dokumentasi tahun 1968,” ujar Ari Dina Krestiawan, yang membantu Sardono mengurus proses digitalisasi ke Australia. Pada 1968, Sardono merekam dirinya di Borobudur. Borobudur saat itu belum dipugar. Tampak kondisi batu-batu Borobudur penuh lumut. ”Kamera itu saya play, lalu saya naik ke trap-trap. Kemudian saya berpindah tempat, saya play lagi,” kata Sardono mengingat bagaimana ia seorang diri menyetel kamera. Juga dokumentasi tahun 1968 yang pitanya semula rusak adalah rekaman Sardono berlatih sendiri mengenakan celana leotard, yang biasa dipakai penari balet. Sardono seperti telanjang bulat. ”Celana itu saya beli setelah melihat pertunjukan balet di New York,” ucapnya.
Yang juga paling parah adalah rekaman latihan Samgita Pancasona pada 1969. ”Pita film Samgita kondisinya hancur bagian depan,” kata Ari Dina. Samgita, kita tahu, adalah karya kontroversial Sardono yang saat pentas di Auditorium RRI Surakarta dilempar telur busuk oleh penonton karena dianggap melecehkan keadiluhungan tari Jawa. Samgita bercerita tentang pertarungan Sugriwa dan Subali, tapi dimainkan secara bebas oleh Sardono, Kardjono, Sentot Sudiharto, dan Sal Murgiyanto. Para penari hanya menggunakan cawat.
”Menarikan Ramayana dengan cawat saja saat itu dianggap tak senonoh,” ujar Sardono. Promosi acaranya sudah membikin kesal sesepuh tari. Sardono menyusuri jalanan Surakarta membawa iring-iringan kereta mayat. Di depan, sendiri berjalan seseorang membawa payung kebesaran. Lalu ia membagi-bagikan selebaran pementasan Samgita. ”Itu kereta mayat milik kakek saya. Kakek saya memang sehari-hari menyewakan kereta mayat,” katanya.
Menurut Sardono, inspirasi Samgita justru datang dari seorang pemuda Kalimantan. ”Suatu hari, saya di TIM (Taman Ismail Marzuki) bertemu dengan Ismid Malidan. Dia anak kepala suku Dayak Kenyah. Dia menari di depan saya. Seluruh tubuhnya bergerak. Tiba-tiba ia menjerit melengking,” ucap Sardono. Kejadian itu sangat membuka mata Sardono. ”Saya sadar tari Dayak tidak butuh iringan gamelan atau lakon. Hanya telanjang dada. Betul-betul ekspresif.”
Sardono tiba-tiba seolah-olah tercerahkan dan kemudian memiliki pemahaman lain tentang tari Jawa yang mungkin banyak tak disetujui orang. ”Tari Jawa itu kaya unsur seni pertunjukannya, seperti gamelan, kostum. Tapi garapan tubuhnya sendiri miskin.” Sejak itu, Sardono haus petualangan tubuh. Ia tidak mau terikat pada bentuk-bentuk klasik Jawa. Sardono, yang pernah menjadi penari tangguh Hanuman di Prambanan dan meriset gerak monyet dengan cara melempari monyet di kebun binatang dengan batu, lalu dalam menari membebaskan diri dari ekspresi ornamen tari klasik Jawa yang baku. ”Samgita itu sebenarnya dasarnya adalah tari primitif Dayak. Gita artinya bunyi. Inti dari suara. Pertunjukan Samgita menampilkan impuls-impuls tubuh tanpa banyak bantuan gamelan.”
Yang juga mengesankan adalah dokumentasi pengembaraan Sardono di Desa Teges dan Pliatan, Bali, pada 1971. Kita melihat, dalam dokumentasi di Pliatan, I Gde Tapa Sudana dan Made Netra, dua penari Bali, membantu Sardono (kini Tapa Sudana bermukim di Paris). Kita menyaksikan adegan Sardono terbaring seperti mayat dikelilingi para penari kecak. Lalu ia dibopong beramai-ramai. Kita bisa menyaksikan proses latihan Cak Tarian Rina yang tersohor itu. Tarian itu dianggap sebagian kalangan merusak tata krama. Oleh pemuka masyarakat, karya itu dilarang dibawa Sardono ke Jakarta karena dianggap menampilkan anak-anak telanjang bulat dan melibatkan pemangku pura yang seharusnya tak boleh ikut main. Dalam rekaman, kita bisa melihat Ktut Rina dan Made Badung yang masih anak-anak bugil berlari-lari. Juga pemangku yang dipersoalkan itu memakai baju putih membunyikan genta.
Lalu dokumentasi Festival Nancy, Prancis, 1973. Pementasan Sardono dan Sentot yang diiringi tabuhan gong Wahyu Sihombing dipuji koran Le Monde, Le Figaro, dan France Soir sebagai pertunjukan bermutu tinggi. Setelah itu Sardono dan Sentot diundang ke sana-kemari. Dalam sebuah dokumentasi diperlihatkan rekaman Sardono dan Sentot di ruang terbuka dikelilingi puluhan seniman Eropa tengah melakukan improvisasi tarik-menarik tali. Tampak seorang seniman bule menabuh gong yang digantung. ”Itu acara dua minggu setelah kami main pertama di Nancy,” kata Sardono.
Menurut Sardono, saat itu gerakan teater tubuh tengah in di Prancis. ”Istilahnya corporeality,” ujarnya. Para seniman Eropa tengah kerasukan gagasan Grotowski, teaterwan dari Polandia yang anti-prosenium konvensional. Grotowski terkenal dengan kritiknya terhadap segala hal tambahan pada teater yang berlebihan yang disebutnya sebagai kleptomania artistik. Ia ingin mengembalikan teater pada tubuh apa adanya. ”Sementara hal begitu kan sudah biasa di Indonesia. Di Bali, Nyoman Kakul, misalnya, bisa menari di tengah lalu-lalang orang banyak. Enggak butuh podium,” kata Sardono. Ia sempat berimprovisasi di depan Menara Eiffel. Terlihat Sardono mengenakan topeng orang tua. Ia berjalan mengembangkan payung hitam diikuti anak-anak.
Topeng orang tua itu juga dikenakan saat ia berada di Nias pada 1978. Dengan juga bertopi caping, Sardono berjalan tertatih-tatih menggunakan tongkat. Anak-anak Nias tampak mengerumuninya dan tertawa-tawa. Nias memiliki tradisi megalitik yang kuat. Desanya berlantai batu dan memiliki meja-meja batu yang panjang. Kita melihat kamera Sardono merekam latihan formasi perang di Nias. Para prajurit membawa parang dan tombak.
”Kami tiga bulan di Nias. Di desa kawasan Bawolato, malam hari tidak boleh ada api. Jadi penerangan alamiah sinar bulan. Kalau malam, warga duduk-duduk di depan rumahnya. Dan melihat langit. Bintang-bintang terlihat sangat jelas,” ujar Otto Sidharta, komponis yang saat itu mahasiswa musik IKJ. Otto membenarkan saat itu masih terjadi perang antarsuku. ”Di tengah perjalanan ke Desa Orahili, pernah kami melihat ada dua mayat. Terbelah kepalanya.” Menurut dia, yang juga mengerikan adalah apabila mereka dikira babi. ”Alang-alang di sana tinggi. Kalau pergi, kami harus menerabas alang-alang. Takutnya saat berada di tengah alang-alang kami ditombak dari kejauhan karena disangka babi,” katanya.
Nias, bagi Sardono, menyumbang modernisme seni rupa dunia. Menurut dia, Isamu Noguchi, pematung blasteran Amerika-Jepang, sangat berutang kepada Nias. Noguchi dikenal sering membuat set atau tata panggung pertunjukan tari Martha Graham. Ia ikut membentuk visi tari kontemporer Graham yang berusaha melepaskan tari dari kungkungan balet klasik. ”Pada 1950, Noguchi ke Indonesia, dan ke Nias. Saya yakin Noguchi terpengaruh Nias. Lihat karya-karyanya di Taman UNESCO di Paris, semua mirip kursi dan meja batu Nias.”
Salah satu yang juga mengesankan adalah rekaman Sardono atas sebuah prosesi di rumah Sitor Situmorang di lingkungan suku Batak. Saat itu Sitor pulang kampung dan ingin menghidupkan lagi agama Parmalin, yang dilarang gereja. Kamera Sardono berkali-kali mengambil gambar Sitor membujuk seorang perempuan tua. ”Itu kakak perempuan Sitor yang selalu kesurupan,” ujar Sardono. Kamera Sardono kemudian terus-menerus mengikuti kakak Sitor, yang ke mana pun melangkah tampak hanyut dalam trance.
DAN sampailah pengembaraan Sardono ke Papua. Dia pertama kali menginjak tanah Papua pada 1980-an. Ia datang ke Desa Dukum, Lembah Baliem. Sardono ingin mengumpulkan penari dari Baliem. Ia ingat waktu itu sepi sekali di desa. ”Oleh seorang warga desa, saya diajak naik ke atas bukit. Di sana ada batu besar. Orang itu naik berdiri di batu. Tiba-tiba dada orang itu seperti meledak. Otot-otot dada dan perutnya bergerak-gerak kembang-kempis. Dia kemudian berteriak, yang suaranya terdengar sampai jauh. Tak lama kemudian, dari bukit lain terdengar sahutan teriakan. Mereka berkomunikasi. Saya takjub sekali,” kata Sardono.
Sardono melihat masyarakat Papua masih dekat dengan alam. ”Pembentukan otot-otot tidak berdasarkan pikiran, tapi berdasarkan refleks insting dengan alam,” ujarnya. Dua tahun terakhir ini, Sardono bekerja sama dengan penari Papua. Mulanya oleh Serraimere Boogie Y. Koirewoa, koreografer lulusan Jurusan Tari IKJ, ia diperkenalkan kepada anak-anak muda dari Sorong. Sardono kemudian tahun lalu membuat eksperimen di bekas Pabrik Gula Colomadu. Ia mempertemukan anak-anak Sorong itu dengan para penari Jawa dan aktor Tony Broer, yang menekuni ”physical theater”. Masih lekat dalam ingatan bagaimana para penari Papua itu mengeksplorasi bekas mesin penggiling tebu yang telah rongsok dan karatan, sementara di ketinggian, tanpa pengaman apa pun, Tony meniti palang besi, yang bila terpeleset sedikit saja akan membuatnya tewas. ”Sardono menyebut tubuh saya tubuh doa,” kata Tony.
Bergaul dengan anak-anak Papua itu lalu membuat Sardono menemukan ide untuk mendaur ulang karyanya pada 2003: Nobody Body. Karya itu menggunakan medium wajan besar. Kini Sardono melihat otot-otot kaki dan tubuh anak Papua itu bila bergerak bebas di atas wajan akan menimbulkan efek yang tak terduga. ”Di wajan yang bergoyang-goyang itu, tubuh teman-teman Papua mempresentasikan suatu titik yang tak stabil. Tubuh yang selalu dalam posisi survival.”
Mengamati latihan berbulan-bulan di Kemlayan dan lantai dua restoran Kusuma Sari—restoran milik keluarga besar Sardono yang menjual steak lidah murah tapi nikmat di Surakarta—Sardono memang tak menyusun dramaturgi sedari awal. Bagian awal, tengah, dan akhir tidak ia desain. Anak-anak Papua itu dibiarkan berjam-jam bergetar di atas wajan. Lalu, pada momen tertentu, ia berdiskusi. Cara kerja Sardono sangat intuitif, berdasarkan kepekaan melihat proses. ”Saya tidak memberi instruksi, hanya memberi stimulan untuk kemudian mereka berinteraksi sendiri,” ujarnya. Cara demikian juga dilakukannya di Teges pada 1970-an. Sardono tidak mendesain suatu tarian, tapi merangsang penduduk Teges menari menuruti respons batin sendiri.
Black Sun makin memperlihatkan bahwa, bagi Sardono, estetika tak terpisah dari masyarakatnya. Yang tetap diutamakan Sardono adalah unsur manusianya. Tari bukan semata-mata keterampilan bentuk, melainkan lebih memperlihatkan relasi manusia dan lingkungannya. Dalam istilah penamat tari F.X. Widaryanto, proses Sardono melatih kepekaan itu menjadi lebih penting daripada produknya. Widaryanto, yang disertasi doktornya di Institut Seni Indonesia Surakarta berjudul ”Ekokritikisme Sardono W. Kusumo: Gagasan, Proses Kreatif, dan Teks-teks”, menyatakan Sardono punya sensibilitas yang intens dengan ekologi dan budaya masyarakat karena sering hidup bersama di suatu daerah. ”Tidak banyak orang yang melakukan hal itu karena kesadaran ekologi sekarang sudah parah,” katanya kepada Anwar Siswadi dari Tempo.
Karena itu, bisa dipahami betapa bagi Sardono pementasan adalah sebuah proses kesenian yang masih terus berkembang dan selalu menyesuaikan diri dengan aktualitas. Menyaksikan dokumentasi eksperimen-eksperimen Sardono dari 1960-an di Singapura ini, terasa bagi Sardono bahwa orang berkesenian itu sama dengan petani yang terus melatih insting untuk menangkap musim. Sama dengan guru silat yang terus berlatih meski tak harus bertarung dengan musuh. Di usianya yang ke-71 tahun, Sardono agaknya masih terus bergerak. Juga bersama dengan kamera dan kanvas-kanvasnya. ”Oktober ini, Black Sun saya rencanakan dipentaskan di Colomadu. Tentu suasananya berubah,” ujar Sardono. SENO JOKO SUYONO (SINGAPURA)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo