DANARTO dikenal tekun mempelajari sufisme. Begitu ia dihadapkan pada problem sufisme, tak jarang ia menuangkannya dalam cerpen-cerpennya. Berikut petikan wawancara Sori Siregar untuk TEMPO: Latar belakang budaya Anda adalah Jawa. Kabarnya, Anda dan lingkungan Anda semula bukanlah Islam -- dalam arti kata Islam santri. Lalu mengapa Anda demikian gandrung dengan Islam dan sejak kapan? Perjalanan saya sebenarnya cukup tunggang langgang. Belajar tasawuf lebih dulu, baru kemudian mengerjakan syariat. Dulu, setiap melihat orang bersalat saya selalu tersenyum dan ngedumel, "Tidak ada yang disembah oleh orang yang bersalat kecuali Diri-Nya Sendiri". Saya gandrung kepada Islam sejak membaca buku-buku tasawuf (1964). Pada tahun itu saya menyaksikan "bayi yang Tuhan" di Sanggarbambu, Menteng Atas, Jakarta Pusat. Tahun 196 saya menyaksikan "tukang kebun yang Tuhan", "sopir yang Tuhan", dan "binatang yang Tuhan" di Jalan Dago, Bandung. Islam dalam persepsi saya yang punya latar belakang Jawa, merupakan agama yang kinclong-kinclong, cemerlang-bersih-jernih. Hingga gampang menuntun, dan yang dituntun pun mudah menemukan jalan yang lempeng. Dalam penghayatan saya melihat Islam sekarang ini sebagai suatu struktur yang dapat mengatur kehidupan masyarakat -- sosial, politik, kesenian -- dengan baik. Anda sekarang dikenal intens dengan hal-hal yang berbau sufisme. Dalam hal ini, persepsi Anda mengenai sufisme itu bagaimana? Menurut persepsi saya, sufisme yang asli menurut ajaran Islam adalah suatu lubuk yang dalam dan luas, cemerlang bersih dan jernih, hingga sangat memikat untuk diselami. Jika sudah menyelam, kita sudah terdaftar sebagai karyawan Allah. Bila sufisme yang Anda hayati sekarang adalah sufisme asli menurut ajaran Islam, lengkap dengan ajaran zuhud yaitu ajaran yang menafikan kehidupan duniawi. bagaimana sikap hidup Anda sebagai orang modern. Ajaran zuhud sebenarnya ajaran yang menitikberatkan pada kehidupan duniawi yang tidak mengganggu perhatian kita yang senantiasa tertuju kepada Allah. Bahwa kita menjadi milyarder itu tak ada hubungannya dengan sujud kita kepada Allah. Karena toh nomor satu Allah, nomor dua Allah, dan nomor tiga Allah. Kalau Anda kejawen, kejawen itu sesungguhnya bagi Anda apa? Menurut Anda, bagaimana kaitannya atau tempatnya dalam Islam? Kejawen bagi saya adalah sifat sumeleh. Segala sesuatu terletak pada kedudukan yang sudah sewajarnya. Sumber kejawen itu ada yang Islam, Kristen, Hindu, Budha, dan lain-lain. Kejawen yang Islam tentu melantunkan kaidah-kaidah Islam, di samping tentu saja warna tradisi Jawa. Yang mengetahui apakah saya muslim sejati hanyalah Allah. Selama ini saya memang bekerja berdasarkan keinginan untuk menjadi muslim sejati. Terasa sekali sekarang, jika saya tak bersalat lima kali sehari, hidup saya berantakan. Tetapi saya tetap mencintai gamelan, seni tari dan pergelaran wayang kulit. Itu semua termasuk kekayaan dunia. Suasana Islam-sufisme-kejawen sangat mendominasi cerpen-cerpen Anda dalam kumpulan Godlob. Mengapa? Kumpulan cerpen Godlob merupakan problem sufisme yang lahir benar-benar dari pengalaman. Ia menyangkut berbagai masalah -- sosial, politik, kesenian.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini