Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Buku

Ekonomi politik sjahrir

Jakarta : lp3es, 1987 resensi oleh : winarno zain.

3 Oktober 1987 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KEBIJAKSANAAN NEGARA Konsistensi dan Implementasi Oleh: Sjahrir Penerbit: LP3ES, 1987, 230 halaman TAK banyak ekonom dalam menulis ekonomi, bisa melepaskan diri dari kungkungan ekonomi-teknis, untuk mengaitkan masalah yang ditulisnya dengan lingkungan luar. Sjahrir barangkali merupakan ekonom dari yang tak banyak ini, yang sadar bahwa kebijaksanaan ekonomi tidak bergerak dalam suatu tabung yang vakum. Bahwa proses kebijaksanaan ekonomi berinteraksi secara intens dengan lingkungan politik yang menyelimutinya terasa sekali digambarkan dalam bukunya yang terbaru ini. Kepekaan Sjahrir terhadap politik mungkin berasal dari keterlibatannya dengan politik: dia pernah menjadi Ketua Umum Imada, pernah menjadi Ketua Presidium KAMI Pusat (1969), dan sebagai tokoh mahasiswa pernah harus mendekam di penjara dengan peristiwa Malari pada 1974, sebelum dia meneruskan studinya ke Universitas Harvard, tempat dia meraih gelar doktor ekonomi. Sekalipun dia mengaku bukan penganut aliran pasar bebas, ide yang tertuang dalam bukunya menunjukkan baju aliran yang dia pakai. Dalam kategorisasi Barat, Sjahrir bisa digolongkan ekonom konservatif: dia setuju pengurangan campur tangan pemerintah di bidang ekonomi, proswastanisasi BUMN melihat bahwa persoalan pokok ekonomi Indonesia adalah adanya distorsi harga yang meluas -- harga yang tak dibentuk kekuatan pasar tapi ditetapkan oleh atau dipengaruhi SK sebuah departemen. Menurut Sjahrir, proses ini harus dihentikan. Dengan kata lain, komitmen terhadap peningkatan efisiensi berarti sikap yang lebih toleran terhadap "sinyal-sinyal dari pasar", untuk berperan lebih besar dalam pembentukan harga. Topik yang dibahas Sjahrir, yang meliputi sembilan bab, memang merupakan topik yang masih berkembang dan belum selesai. Bisa dimengerti kalau dalam beberapa bagian Sjahrir belum memberi jawaban tuntas. Dalam bab yang membahas Perencanaan Ekonomi Indonesia, misalnya, setelah menguraikan sejarah perencanaan ekonomi, SJahrir mengakhiri pembahasannya dengan memperingatkan bahwa Repelita yang akan datang harus memperhitungkan situasi ekonomi internasional yang masih belum menentu. Peringatannya memang mengingatkan kita terhadap harga minyak dan kurs dolar yang jatuh secara dramatis, yang memporak-porandakan Repelita IV. Sementara itu, Repelita V sedang dipersiapkan dalam latar belakang yang tak menggembirakan. Kalau pada Repelita sebelumnya pembangunan industri yang mendukung sektor pertanian dan pemerataan pernah dianggap sebagai tujuan strategis, maka tentunya kita ingin tahu, menurut Sjahrir, apa yang sepatutnya menjadi tujuan strategis Repelita V nanti. Dan bagaimana dengan ide pendekatan regional yang lebih besar, untuk mengurangi bobot perencanaan sektoral yang dominan selama ini. Sebagai ekonom pada perusahaan konsultan Indoconsult dan editor Business News, Sjahrir berada dalam posisi yang tepat untuk mengamati ekonomi Indonesia secara intim. Di pihak lain, pekerjaannya mengandung risiko untuk menjebak Sjahrir dalam rutinisasi pekerjaan sehari-hari. Ini bisa mengurangi kadar kontemplatif tulisannya. Hal ini justru terjadi pada pembahasan topik yang paling hangat dewasa ini: swastanisasi BUMN. Di sini Sjahrir mengambil sikap tegas: swastanisasi BUMN sama pentingnya dengan Inpres 4/1985 (Instruksi Presiden tentang reorganisasi besar-besaran Bea dan Cukai), dan karena itu harus dilakukan. Golongan yang kontraswastanisasi BUMN, yang mulai mencurigai motif di belakang ide swastanisasi BUMN, masih menuntut penjelasan: kalau masalahnya hanya sekadar peningkatan efisiensi BUMN, apa jaminannya bahwa BUMN bakal lebih efisien bila dibeli swasta? Contohnya ada. Bukankah PT Pusri (sebuah BUMN) dipuji Bank Dunia sebagai salah satu pabrik pupuk yang paling efisien di dunia? Kenapa tidak memberi lebih banyak wewenang kepada pimpinan BUMN dan mengurangi campur tangan departemen teknis seperti yang sedang dilakukan Mikhail Gorbachev di Soviet, misalnya? Bab ini sebenarnya bisa lebih menarik lagi bila Sjahrir merumuskan juga jawaban untuk menangkis argumen yang dikemukakan golongan yang kontraswastanisasi BUMN. Kalau ada yang terasa ketinggalan dalam buku ini adalah karena pembahasannya belum mencakup kejadian-kejadian pada pascadevaluasi September 1986, yang berkembang dengan cepat. Ekonomi Indonesia mengalami guncangan hebat selama semester pertama tahun ini, di bidang moneter, yang dipastikan tak akan lepas begitu saja dari renungan Sjahrir. Winarno Zain

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus