LIEM Nam Tjing, terlahir Liem Lan Tjing, 51, nasibnya memang lagi peh. Tubuhnya ditemukan mati di rumah sakit oleh keluarganya, setelah ia tertangkap basah oleh polisi. Menurut kepala Polsek Gambir Kapten Drs. Bambang Haryoko, Nam Tjing diringkus oleh anak buahnya di halaman Gereja Kristus, Jalan K.H. Zainul Arifin, Jakarta Pusat, tatkala ia sedang membagi perhiasan hasil perolehan dari sebuah rumah di Jalan Tamansari, 20 November pagi. Bersama tiga rekannya, Nam Tjing lantas dijebloskan ke dalam tahanan Polsek Gambir. "Saya mendapat laporan dari anggota bahwa Nam Tjing mengeluh minta dipanggilkan dokter sekitar pukul 19.00. Setelah itu, dia pingsan," ucap Bambang Haryoko di depan wartawan. Ia mengaku memerintahkan agar si tersangka itu segera dibawa ke RS Cipto Mangunkusumo untuk mendapat pertolongan. Di sanalah, malam itu juga, juragan merangkap pengemudi kendaraan umum roda tiga Bajaj itu mengembuskan napasnya yang terakhir. Oleh dr. Rizkiwijaya, yang memeriksa jazadnya, penyebab kematian Nam Tjing dikategorikan sebagai "lain-lain". Artinya, bukan lantaran sakit kecelakaan. pembunuhan, bunuh diri, bersalin, atau lahir mati. "Menurut istrinya, yang sempat saya tanya, dia memang mengidap sakit jantung dan sering batuk-batuk," ujar Bambang Haryoko. Namun, dari petugas Polsek yang mengabarkan kematian itu, Nyonya Tjhin Sie Tjien mengaku diberitahu suaminya "meninggal karena dikeroyok massa". Dari sebuah sumber lainnya, janda Nam Tjing mendapat keterangan, suaminya "sempat ditendang-tendang sampai tak kuat berdiri". Sumber itu menduga, Nam Tjing tewas lantaran terjatuh dan kepalanya terbentur dinding, lantas pingsan. Karena itu, janda Nam Tjing menganggap kematian suaminya mengundang tanda tanya. Apalagi di badan suaminya, Nyonya Tjhin Sie Tiien menemukan bekas penganiayaan: di jari manis kaki kanannya seperti bekas digencet, tumit dan dahinya berlubang, lengan atas bengkak dan bengkok, di bagian paha dan dada membekas biru legam. "Masa begitu kalau dikeroyok massa?" kata Nyonya Tjhin Sie Tjien kepada TEMPO dengan suara sendu. Pada hari yang naas itu, Nam Tjing keluar dari rumahnya hendak membeli onderdil Bajaj, yang sudah tiga hari mogok. Hingga menjelang malam, ayah empat anak itu belum menampakkan hidungnya. Sekitar pukul delapan, yang muncul justru teman Mendiang, bersama seorang petugas berpakaian preman. Mereka mencari Nam Tjing di rumah yang penuh tumpukan besi bekas dan kaleng kosong olie di bilangan Petojo itu. Tjhin menjawab seadanya, menerangkan bahwa suaminya pergi mencari onderdil, dan belum pulang sejak pagi. Kedua tamu itu berlalu tanpa komentar, dan Tjhin sama sekali tidak menaruh curiga. Tengah malam, Yap Tjan Yong, rekan Mendiang, datang bersana petugas berpakaian preman menemui istri Nam Tiing. Petugas menyarankan agar nyonya itu pergi ke kantor Polsek Gambir. Di sanalah ia diberitahu oleh seorang petugas lainnya, suaminya tertangkap lantaran terlibat pencurian. Petugas itu, kata Nyonya Tjhin Sie Tjin, menunjukkan bukti sejumlah barang perhiasan yang ditaruh di balik topi. Ketika dikabarkan suaminya meninggal, ia tak percaya. "Ah, Bapak main-main," ujar Nyonya Tjhin Sie Tjin mengulangi ucapannya saat itu. Setelah diyakinkan bahwa suaminya memang sudah tiada, mereka lantas menyodorkan sebuah amplop "santunan duka". Mengetahui isinya berjumlah Rp 100 ribu, "Waktu itu juga saya menolak," kata nyonya itu. Entah bagaimana pasalnya, uang dalam amplop bertuliskan Kepolisian Resort Jakarta Pusat Sektor Gambir berada di tangan janda Nam Tjing. Ia heran mengapa ia tidak diberitahu perihal penangkapan suaminya. "Keluarganya 'kan berhak mengetahui," ujar nyonya itu. Apalagi, katanya, "Ketika meninggalkan rumah, suami saya membawa surat-surat lengkap: KTP, SIM, dan STNK sepeda motor." Setahu Tjhin Sie Tjien, sudah tiga tahun terakhir ini suaminya bekerja sebagai makelar rumah dan kendaraan. Bahkan, katanya,"Dia juga sering bekerja dengan Tekab." Maksud Tjhin, "Kalau ada Tekab yang mencari penjahat, dia suka kasih tahu, atau bersama-sama diajak mencari." Nyonya Tjhin Sie Tjin melaporkan kematian suaminya ke LBH Jakarta tiga hari setelah peristiwa itu. Berdasarkan pengaduan itulah maka Mas Achmad Santosa, pembela umum LBH Jakarta, lantas menulis surat kepada Kapolda Metro Jaya Mayor Jenderal Soedarmadji. Selain minta pengusutan penyebab kematian Nam Tjing, ia minta kesempatan agar janda korban bisa menyampaikan kasus itu langsung. Tapi, "Sampai hari ini belum ada kabar tentang permohonan kami tersebut," kata Mas Achmad Santosa, Jumat pekan lalu. Yang pasti, menurut wakil kepala Polres Jakarta Pusat Mayor Bambang Sugiarto, penanganan kasus itu sudah dilimpahkan ke Polda. Sementara itu, tersebutlah Machtino Ediwan, ayah yang menjadi populer lantaran dituduh menghajar anaknya hingga tewas (TEMPO, 1 Desember 1984). Dengan status tahanan kejaksaan, Tino dipindahkan dari Polsek Mampang Prapatan ke sel Polres Jakarta Selatan, di Jalan Wijaya, sejak 8 Desember lalu. Kepada keluarga dan Pengacara Henry Yosodiningrat, yang menemuinya di sana, Tino seraya menangis mengaku dianiaya dua orang petugas, semalam suntuk. Akibatnya, "Dia tidak bisa berdiri, ulu hatinya terasa sakit, dan kencingnya berwarna merah," ujar Henry Yosodiningrat. Kabarnya, Tino pun sampai mengeluh, "Kok berat cobaan Tuhan ini. Kenapa saya mesti disiksa lagi?" Tino dapat menyebutkan siapa-siapa yang menganiayanya. Pihak kepolisian Jakarta Selatan masih enggan "membenarkan" atau "menidakkan" peristiwa itu. "Orang dalam tahanan seperti itu mungkin juga cuma ingin minta perhatian," kata mereka kepada reporter TEMPO. Dari balik jeruji besi sel Polres Kediri, Jawa Timur, Widji, yang ditangkap karena dituduh yang berwajib memperkosa anak SD (TEMPO, 8 Desember 1984), mengeluh, "Polisi enak saja menyiksa. Saya yang sakit." Menurut dia, ia disuruh memperkosa tembok berkali-kali, sambil pantatnya didorong-dorong. Akibat perlakuan polisi, ia belum berani mengenakan celana, lantaran kemaluannya masih terasa perih. "Rasanya, seperti orang baru sunatan," katanya tertawa kecut. Entah apa sebabnya, tiga kawannya Mbah Somo, Paryono, dan Sumadji - lolos dari perlakuan semacam. Apa boleh buat. "Saya tunggu sembuhnya saja. Mau bilang sama siapa lagi?" ujarnya menahan sakit. Ya, mau bilang sama siapa lagi?
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini