Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Buku

Marah lewat pamflet

Pengarang: rendra jakarta: lembaga studi pembangunan, 1980 resensi oleh: yudhistira anm massardi. (bk)

1 November 1980 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

POTRET PEMBANGUNAN DALAM PUISI Kumpulan sajak-sajak: Rendra Penerbit: Lembaga Studi Pembangunan, Jakarta, 198a Tebal: 110 hal., HVS, dihiasi 23 foto karya Hardi. Inilah sajakku. Pamflet masa darurat. Apakah artinya kesenian, bila terpisah dari derita lingkungan. Apakah artinya berpikir, bila terpisah dari masalah kehidupan. (Sajak Sebatang Lisong) MEMANG, sebagaimana ditulis Prof. A. Teeuw dalam pengantarnya, sajak-sajak Rendra dalam kumpulan ini tak menunjukkan suatu perkembangan yang sama-sekali baru. Kecuali barangkali keterusterangan penyairnya dalam memilih bentuk pengucapan yang lebih langsung dan menuding: Aku tulis pamplet ini/karena lembaga pendapat umum/ditutupi jaring labah-labah (Aku Tulis Pamplet Ini). Bisa dipaham, dengan titik tolak seperti itu, yang kemudian ditulis Rendra lebih merupakan "pendapat umum" atau hal-hal yang diyakininya menjadi pendapat orang banyak. Pada halaman pertama ia menulis,Orang-orang Harus Dibangunkan/ Kesaksian harus diberikan/ Agar kehidupan bisa terjaga. Tak cuma itu. Rendra--yang aktif pula menyuarakan pendapatnya dan pernah juga dipenjara bersama para mahasiswa beberapa waktu lalu -- pun mengajak: kita sendiri mesti merumuskan keadaan. Kita mesti keluar ke jalan raya, keluar ke desa-desa, mencatat sendiri semua gejala, dan menghayati persoalan yang nyata. Persoalan yang nyata? Rendra menderetkannya dalam pamflet panjang yang penuh ketidaksabaran ini. Tak kurang dari 8 pamflet mengecam pendidikan dan sistemnya. Pendidikan negeri ini berkiblat ke Barat/Di sana anak-anak memang disiapkan/Untuk menjadi alat dari industri . . . Tetapi kita dipersiapkan menjadi alat apa? Kita hanya menjadi alat birokrasi! (Sajak Anak Muda). Kekuasaan yang menindas, teknokrat yang angkuh, pengangguran, guru yang brengsek, para mahasiswa yang melempem, orang kaya yang korup, keluarga yang berantakan, ketidakadilan dan kemiskinan dan segala yang buruk dan jorok, semua terpampang dalam Potret Pembangunan ini. Hampir tak ada yang dibiarkan lolos. Rendra mengepung dan menjotosnya dengan kata-kata. Dengan lancar dan penuh kemahiran. Dan kita tak diberi kcscmpatan menghirup kesegaran sedikit pun. Ah, begitu pengap rasanya hidup ini. Sajak-sajak yang ditulisnya pada tahun 1975-1978, dalam usia 40-an, ini adalah tanggapan terhadap keadaan -dari sisi yang muram --yang dibiarkan lepas bebas. juga agak berlebih-lebihan. Dan itu ditulis bersamaan atau sesudah ia menulis sajak-sajak yang menurut reeuw "bersifat mistik murni dan berdasarkan spekulasi-spekulasi dan praktek-praktek khas yoga," (.Syair Teratai,Anuning Ning yang disiarkan lewat Kompas dan Sinar Harapan). Diam di puncak gunung bagaikan pertapa yang hanya memberikan fatwa-fatwa yang dingin dan jauh, bukanlah peran yang sesuai untuk Rendra. Drama-dramanya membuktikan hal itu, terutama Kisah Perjuangan Suku Naga(1975) dan Sekda (1977). Setelah kumpulan Blues untuk Bonnie (ditulis di Amerika Serikat 1964-1967, diterbitkan 1971), agaknya Rendra tak bisa lagi bertutur dengan lirih Dan keadaan semakin membuatnya penasaran . Berkali drama-dramanya dilarang dipentaskan. Berkali-kali pula ia harus berhadapan dengan para penguasa. Sementara itu publik menghura-huranya dan memberikan keplok yang riuh. Semua itu sedikit banyak tentu memberi pengaruh pada perkembangannya sebagai pribadi, sebagai penyair, sebagai dramawan, dan sebagai aktor. Dan jika kini ia menjadi penulis pamflet yang menggeram karena mendengar suara jerit hewan yang terluka, sesungguhnya boleh diterima secara wajar. Ia hanya ingin memberi kesaksian. Meskipun, sebagaimana dikatakan Teeuw, "sajak-sajak ini bukan laporan obyektif kenyataan yang ada di Indonesia sekarang." Artinya, yang dikatakan Rendra adalah hasil olahan beberapa keadaan dengan "bumbu-bumbu." Pada akhirnya, dalam Sajak Seorang Tua di Bawah Pohon, Rendra yang 7 November nanti genap 45 tahun, berkata: Ya! Ya! Akulah seorang tua! Yang capek tapi belum menyerah pada mati. Kini aku berdiri di perempatan jalan. Aku merasa tubuhku sudah menjadi anjing Tetapi jiwaku mencoba menulis sajak. Sebagai seorang manusia. Yudhistira AN Massardi

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus