RUMAH jagal di Pegirian, Surabaya, selalu ramai. Bukan saja
karena lenguh sapi atau kerbau yang akan disembelih, tapi juga
oleh bocah-bocah yang telanjang dada yang berseliweran. Begitu
ada tulang yang dilempar tukang jagal ke ubin, secepat kilat
pula mereka berebut memungutnya. Dan langsung memasukkanya ke
goni yang sudah mereka siapkan.
Karyawan rumah jagal, pemilik hewan atau para pengumpul tulang
dari berbagai usia kini mahfum, bahwa tulang yang biasanya jadi
rebutan anjing liar, ada harganya. Wadji dan istri yang telah
melakukan pekerjaan ini sejak zaman Belanda, berani membeli Rp
25 per kilogram tulang. Pasangan yang tidak mempunyai anak ini
cukup beken di kampungnya, Sidorame, Surabaya. Mereka membeli
dari para pengumpul. Tulang belulang--biasanya Wadji berhasil
mengumpulkan sekitar 5 ton tulang dalam waktu 2 hari --.kemudian
dia lego lagi ke juragan tulang sebagai grosir yang lebih besar.
Harga di sini sudah naik menjadi Rp 35 tiap kg. "Pengumpul
kertas saja bisa naik haji. Karena itu saya pilih mengumpulkan
tulang," kata Wadji.
Wadji memang belum berhasil melaksanakan niatnya ke Mekah. Sebab
keuntungan bisnis tulang ini memang sulit diterka. Bagaikan
cuaca yang sering meleset dari ramalan, kalau juragan menolak
karena stoknya masih penuh, Wadji terpaksa harus pulang kembali
membawa tulang yang berbau tidak sedap itu. Akibatnya tulang
belulang itu terpaksa ditimbun saja di bawah matahari dan bebas
dikerubuti lalat. Dan tulang yang telah mengering karena lama
ditimbun ini, "harganya jauh melorot," kata Wadji.
Belum lagi timbangan tulang yang kering itu menyusut. "Bisa
sampai 20% dari berat semula," ujar Wadji lagi. Di musim hujan,
harga tulang lebih melorot lagi. Mungkin karena untung sedikit
dan banyak risiko rugi inilah, Wadji dan istrinya belum bisa
melaksanakan niatnya ke tanah suci.
Di pabrik pengolahan, tulang-tulang itu direbus dalam sebuah
mesin uap (autoclave), hingga lembek dan rapuh. Lalu dimasukkan
ke sebuah bak pengering. Selanjutnya mesin penggiling mulai
bekerja: memecahkan tulang-tulang menjadi tepung maupun kerikil.
Tepung tulang biasanya dipakai untuk mencampur makanan hewan.
Yang masih berbentuk kerikil diekspor -yang terbanyak ke
Jepang--untuk dijadikan bahan campuran pupuk.
Tubagus Bachtiar adalah salah seorang pengolah tulang untuk siap
diekspor di Jakarta. Ia memulai usahanya sejak 1956. Menjelang
masa pensiunnya sebagai letnan dua dari kesatuan Siliwangi,
seorang Jepang, temannya, menunjukkan usaha mengumpulkan dan
mengolah tulang-tulang (hewan) yang berserakan tak berharga.
Disegel
Begitu pensiun, Bachtiar membeli 4 buah sepeda. Sebagai modal
usahanya ini, ia menjual tanahnya di kampung kelahirannya,
Mandalawangi, Pandeglang, JaBar. Ayah dari 4 orang anak ini
bersama beberapa pembantunya kemuaian mengayuh sendiri sepedanya
untuk menjelajahi pasar-pasar di Jakarta mengumpulkan tulang.
Segala macam tulang, --sapi, kerbau, kambing, kuda-dipungut atau
dibelinya. Harga tulang waktu itu, 1956, cuma Rp 1 sekilo.
Duatahun berikutnya, Bachtiar berhasil menyewa mesin perebus,
pengering dan penggiling tulang dari seorang Jepang yang lain.
Usaha Bachtiar mengumpulkan dan mengolah tulang, berjalan dengan
lestari. Kantor berpapan nama C.V. Sortasi telah berdiri di
dekat rel kereta-api di kawasan Ancol, Jakarta Utara. Tentu saja
sekarang dia tidak keluar masuk pasar dengan sepeda. Tetapi
telah ada seperangkat armada pengumpul tulang melalui sebuah
truk, 4 buah pick-up dan sebuah jip yang mengangkut tulang bukan
dari Jakarta saja tetapi dari beberapa tempat di Jawa Barat dan
Jawa Tengah sebelah barat. Di perusahaan ini bekerja 50
karyawan.
Setiap hari, Bachtiar, kini 62 tahun, berhasil mengumpulkan
tulang sekitar 4 - 6 ton. Tiap habis Idul Fitri atau Idul Adha,
Bachtiar sanggup mengumpulkan 14 ton. Harga tulang kini di
Jakarta Rp 30 hingga 35/kg.
Sayang usaha Bachtiar ini mendapat halangan ketika pertengahan
tahun ini ada protes dari penduduk sekitar lokasi gudang
tulangnya.
Setelah mendapat peringatan pindah dalam tempo 7 x 24 jam, usaha
Bachtiar terpaksa disegel Kamtib DKI. Menurut Tb. Achmad Riffai,
jebolan ITB yang kini menggantikan usaha ayahnya, Bachtiar,
perusahaan tulang itu sedang bersiap-siap pindah ke lokasi
pabriknya yang baru, di Cakung.
"Tulang itu memang bau," ujar N. Nakayama, dari PT Intulin, yang
mempunyai usaha sama dengan Bachtiar. Kata insinyur kimia
lulusan Universitas Kinski, Nagoya ini lagi "Tetapi bau tulang
tidak membahayakan manusia seperti bahan kimia." Lokasi PT
Intulin -- usaha pemrosesan tulang yang kongsi dengan modal
asing--ada di Cakung tak jauh dari pusat rumah jagal DKI PT
Dharma Jaya. Intulin mempekerjakan 40 orang karyawan yang
bekerja dalam 2 shift. Setiap bulan perusahaan ini memproses
sekitar 150 - 200 ton. "Dan kami khusus mengerjakan untuk
ekspor," kata Nakayama lagi.
Menurut Nakayama di negerinya, tulang kaki yang mengandung
gelatin (semacam agar-agar) biasanya dicari pabrik obat untuk
dibuat kapsul obat. Atau untuk bahan kuwe.
Nakayama menolak untuk menceriterakan "bumbu-bumbu" campuran
tulang hingga laku diekspor. "Cuma," kata Nakayama, "biasanya
tulang-tulang yang masih basah itu langsung dikeringkan dengan
mesin, supaya bakteri tidak berkembang biak." Sebab kalau bubuk
tulang berbakteri dimakan ayam, telur ayampun akan mengandung
bakteri. "Dan ini berbahaya bagi mereka yang makan telur
mentah," kata Nakayama.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini