Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Humor Kerton Dua Dimensi

Sujana kerton, 58, mengadakan pameran tunggal di tim karyanya mengandung humor yang menjadi bagian pokok dari lukisannya. di new york ia membuka galeri, kursus melukis untuk anak-anak & kursus membatik.

1 November 1980 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PERNYATAANNYA bukanlah sesuatu yang istimewa. Bahkan terdengar ketinggalan zaman. "Saya mementingkan garis, menomorduakan warna," kata Sudjono Kerton, 58 tahun, peLukis yang kini berpameran tunggal di Taman Ismail Marzuki, 21 Oktober sampai dengan 11 November ini. Tapi itu agaknya memang mewakili suasana karya-karyanya sendiri. Sejumlah 40-an lukisan yang dibuatnya sekembalinya di Indonesia empat tahun lalu yang memotret kehidupan sehari-hari di Indonesia, toh, terasa sebagai rekaman tempo dulu. Proses lahirnya karya-karyanya memang mengarah ke sana ia tak langsung menghadapi obyek, tapi melukis berdasar memori saja. Kontak langsung itu memang tak ada. Dan memang bukan masalah, apakah seseorang melukis langsung berhadapan dengan obyek, seperti Affandi. Atau dengan memindah sketsa, seperti Sudjojono. Atau sama sekali hanya melukis di dalam studio, dan menggambarkan segala sesuatunya lewat kenangan saja, seperti Kerton ini. Tapi pada Kerton memang terasa ada sesuatu yang hilang. Kehangatan suasana memang tak ada. Karyanya terasa tak hidup. Keramaian sebuah jalanan, misalnya pada Pemandangan di Jalan I, bisa dibaca dari obyek yang dia lukiskan, tapi bukannya terasa dari gambarnya itu sendiri. Pusat Perhatian Ada kemiripan dengan lukisan anak-anak. Anak-anak lazimnya tak melukiskan suasana, tapi potret sebuah obyek atau suatu peristiwa. Bukan suasana laut yang terik dan berangin, tapi kapal berlayar itulah yang biasanya kita lihat pada lukisan anak-anak. Dan Kerton di New York memang membuka kursus melukis untuk anak-anak. "Tak hanya belajar kepada orang-orang besar, tapi kepada anak-anak pun kita perlu belajar," tuturnya. Sudah jelas Kerton tak lagi mungkin melihat dan berpikir secara anak-anak Spontanitas dan kepolosan yang menjadi nilai pada lukisan anak-anak, tak lagi gampang diperolehnya. Maka, pada beberapa lukisan yang berhasil bisa ditemukan pengganti yang hilang itu: adanya ide yang menonjol. Pada lukisan Hari Hari Minggu Bermotor, misalnya. Sebuah karikatur tentang satu keluarga, yang mempunyai 4 anak,dan mengadakan satu liburan bersama-sama dengan motornya. Bapak yang pemegang kemudi, ibu yang membonceng, ditambah lagi dengan dua anak di belakang ibu dan satu di depan ayah. Dan masih ditambah si orok yang digendong ibu. Sebagai latar belakang, satu pemandangan sebuah jalan ada orang berjalan, ada rumah, ada poster-poster, ada penjual minyak dengan kalengnya sedang menyeberang. Lukisan ini terasa lucu dengan diletakkannya gambar keluarga bermotor itu di depan tata ruang lukisan dan berfungsi sebagai pusat perhatian. Humor, agaknya memang menjadi bagian yang menarik dalam karya Kerton. Ini mengingatkan pada karya-karya Sudjojono. Bedanya, pada Sudjojono humor merupakan perimbangan darl tajamnya ia melukiskan satu hal yang mlnir atau rasa pahit yang dimunculkannya. Pada Kerton, ia menjadi bagian pokok dari lukisannya. Artinya, minus humor itu karyanya akan hambar, tak memberikan apa pun. Sebuah contoh kehambaran itu bisa dilihat pada Panen. Sebuah pemandangan sawah, ada perempuan bercaping, ada yang berdiri, ada yang membongkok. Secara keseluruhan, tak terbentuk satu makna dari sawah dan figur-figur itu. Lukisan ini sepertinya belum selesai. Tapi dengan humor memang banyak hal dalam karya Kerton menjadi enak dilihat. Kuda Kepang yang jelas-jelas berbau Picasso, terutama pada figur yang menari yang mengingatkan bentuk figur-figur dalam Guernica Picasso, toh, terasa bukan karya sontekan. Ada semacam sikap sinkretis pada diri pelukis kelahiran Bandung ini. Picasso? Baiklah. Rufino Tamayo? Juga boleh. Diego Riviera, pelukis realisme sosialis Meksiko itu? Boleh juga. "Saya banyak keliling dunia, banyak yang saya lihat, jadi mungkin saja karya-karya pelukis lain yang saya senangi masuk dalam karya saya," katanya polos. Kecuali humor, satu lagi yang terasa sebagai milik Kerton, ialah usahanya secara sadar untuk menghilangkan rasa ruang. Ia mencoba mempertahankan bidang gambar yang dua dimensional itu. Memang belum berhasil sepenuhnya. Ini diakuinya sendiri. "Kalau dilihat lama-lama, ternyata keruangan itu masih ada juga," bisiknya. Membandingkan dengan orang-orang seangkatannya, Nashar, Popo Iskandar antara lain, Kerton memang belum mantap benar. Dalam Art in Indonesia, Claire Holt tak menyebut-nyebut namanya. Kemantapannya barangkali hanya soal waktu. Ia terlalu sibuk, banyak hal ditanganinya. Membuka galeri di New York, 1968, yang tak hanya menjual lukisan tapi juga barang kerajinan rakyat Indonesia. Juga membuka kursus membatik. Bambang Bujono

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus