PERNYATAANNYA bukanlah sesuatu yang istimewa. Bahkan terdengar
ketinggalan zaman. "Saya mementingkan garis, menomorduakan
warna," kata Sudjono Kerton, 58 tahun, peLukis yang kini
berpameran tunggal di Taman Ismail Marzuki, 21 Oktober sampai
dengan 11 November ini.
Tapi itu agaknya memang mewakili suasana karya-karyanya sendiri.
Sejumlah 40-an lukisan yang dibuatnya sekembalinya di Indonesia
empat tahun lalu yang memotret kehidupan sehari-hari di
Indonesia, toh, terasa sebagai rekaman tempo dulu.
Proses lahirnya karya-karyanya memang mengarah ke sana ia tak
langsung menghadapi obyek, tapi melukis berdasar memori saja.
Kontak langsung itu memang tak ada. Dan memang bukan masalah,
apakah seseorang melukis langsung berhadapan dengan obyek,
seperti Affandi. Atau dengan memindah sketsa, seperti Sudjojono.
Atau sama sekali hanya melukis di dalam studio, dan
menggambarkan segala sesuatunya lewat kenangan saja, seperti
Kerton ini.
Tapi pada Kerton memang terasa ada sesuatu yang hilang.
Kehangatan suasana memang tak ada. Karyanya terasa tak hidup.
Keramaian sebuah jalanan, misalnya pada Pemandangan di Jalan I,
bisa dibaca dari obyek yang dia lukiskan, tapi bukannya terasa
dari gambarnya itu sendiri.
Pusat Perhatian
Ada kemiripan dengan lukisan anak-anak. Anak-anak lazimnya tak
melukiskan suasana, tapi potret sebuah obyek atau suatu
peristiwa. Bukan suasana laut yang terik dan berangin, tapi
kapal berlayar itulah yang biasanya kita lihat pada lukisan
anak-anak. Dan Kerton di New York memang membuka kursus melukis
untuk anak-anak. "Tak hanya belajar kepada orang-orang besar,
tapi kepada anak-anak pun kita perlu belajar," tuturnya.
Sudah jelas Kerton tak lagi mungkin melihat dan berpikir secara
anak-anak Spontanitas dan kepolosan yang menjadi nilai pada
lukisan anak-anak, tak lagi gampang diperolehnya. Maka, pada
beberapa lukisan yang berhasil bisa ditemukan pengganti yang
hilang itu: adanya ide yang menonjol.
Pada lukisan Hari Hari Minggu Bermotor, misalnya. Sebuah
karikatur tentang satu keluarga, yang mempunyai 4 anak,dan
mengadakan satu liburan bersama-sama dengan motornya. Bapak yang
pemegang kemudi, ibu yang membonceng, ditambah lagi dengan dua
anak di belakang ibu dan satu di depan ayah. Dan masih ditambah
si orok yang digendong ibu. Sebagai latar belakang, satu
pemandangan sebuah jalan ada orang berjalan, ada rumah, ada
poster-poster, ada penjual minyak dengan kalengnya sedang
menyeberang. Lukisan ini terasa lucu dengan diletakkannya gambar
keluarga bermotor itu di depan tata ruang lukisan dan berfungsi
sebagai pusat perhatian.
Humor, agaknya memang menjadi bagian yang menarik dalam karya
Kerton. Ini mengingatkan pada karya-karya Sudjojono. Bedanya,
pada Sudjojono humor merupakan perimbangan darl tajamnya ia
melukiskan satu hal yang mlnir atau rasa pahit yang
dimunculkannya. Pada Kerton, ia menjadi bagian pokok dari
lukisannya. Artinya, minus humor itu karyanya akan hambar, tak
memberikan apa pun. Sebuah contoh kehambaran itu bisa dilihat
pada Panen. Sebuah pemandangan sawah, ada perempuan bercaping,
ada yang berdiri, ada yang membongkok. Secara keseluruhan, tak
terbentuk satu makna dari sawah dan figur-figur itu. Lukisan ini
sepertinya belum selesai.
Tapi dengan humor memang banyak hal dalam karya Kerton menjadi
enak dilihat. Kuda Kepang yang jelas-jelas berbau Picasso,
terutama pada figur yang menari yang mengingatkan bentuk
figur-figur dalam Guernica Picasso, toh, terasa bukan karya
sontekan. Ada semacam sikap sinkretis pada diri pelukis
kelahiran Bandung ini. Picasso? Baiklah. Rufino Tamayo? Juga
boleh. Diego Riviera, pelukis realisme sosialis Meksiko itu?
Boleh juga. "Saya banyak keliling dunia, banyak yang saya lihat,
jadi mungkin saja karya-karya pelukis lain yang saya senangi
masuk dalam karya saya," katanya polos.
Kecuali humor, satu lagi yang terasa sebagai milik Kerton, ialah
usahanya secara sadar untuk menghilangkan rasa ruang. Ia mencoba
mempertahankan bidang gambar yang dua dimensional itu. Memang
belum berhasil sepenuhnya. Ini diakuinya sendiri. "Kalau dilihat
lama-lama, ternyata keruangan itu masih ada juga," bisiknya.
Membandingkan dengan orang-orang seangkatannya, Nashar, Popo
Iskandar antara lain, Kerton memang belum mantap benar. Dalam
Art in Indonesia, Claire Holt tak menyebut-nyebut namanya.
Kemantapannya barangkali hanya soal waktu. Ia terlalu sibuk,
banyak hal ditanganinya. Membuka galeri di New York, 1968, yang
tak hanya menjual lukisan tapi juga barang kerajinan rakyat
Indonesia. Juga membuka kursus membatik.
Bambang Bujono
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini