DENGAN kecepatan 140 km/jam mobil itu meluncur di jalan Jakarta
(Parung) - Bogor. Hanya satu dua buah kendaraan yang terlihat di
sepanjang jalan, pada menit-menit lewat tengah malam itu.
Menjelang sebuah jembatan, mobil berkecepatan 140 km/ jam tadi
mempertinggi kecepatan lagi. Dan jembatan itu ditabraknya.
Segera pengemudinya meloncat turun. Dengan lampu senter
jelaslah baginya sekarang boneka yang ia letakkan di tempat
duduk di samping pengemudi dan sebuah tas di tempat duduk di
belakang boneka tadi, terlempar 10 meter ke depan, setelah
menerjang kaca depan. Dan si pengemudi sendiri, berikut sebuah
boneka yang didudukkan dengan sabuk pengaman di tempat duduk di
belakangnya, sama-sama selamat, tanpa cedera sedikit pun.
Eddy Hansudi, si pengemudi tadi, malam itu sedang berlatih:
untuk mengetahui akibat dari suatu tabrakan bagi penumpangnya
pada posisi tertentu. Rupanya satu adegan film dengan sebuah
mobil berpenumpang menabrak jembatan, sedang dipersiapkan.
Sebagai pemain pengganti alias stand in untuk berbagai adegan
film, Eddy Hansudi, 40 tahun, selalu melatih dirinya sebelum
adegan itu benar-benar tersedot kamera. Dengan latihan itu ia
akan tahu bagaimana seharusnya posisi penumpang maupun
pengemudinya agar aman dalam pengambilan adegan sebenarnya
kelak.
Sekitar 26 buah film telah dibintangi Eddy sebagai pemeran
pengganti. Semua adalah adegan-adegan berbahaya. "Mulai dari
meloncat ke atas kendaraan yang berjalan kencang, jatuh dari
kendaraan, dan berbagai macam tabrakan kendaraan," tutur Eddy.
"Dan justru kalau sedang shooting, saya amat jarang cedera."
Sebaliknya, kecelakaan berat maupun ringan, umumnya terjadi pada
waktu latihan. "Kecelakaan ketika latihan itu memang saya
perlukan," tambah Eddy, "karena saya harus belajar dari
akibat." Dia menunjukkan lutut kanannya yang tanpa tempurung
lagi sebagai akibat dari salah satu latihan yang ia lakukan.
Selain berlatih, Eddy juga rajin mengamati kecelakaan umum di
jalan raya. Yaitu untuk memperhatikan bagaimana posisi kendaraan
yang bertabrakan dan penyebabnya. "Tapi saya juga pergi ke rumah
sakit untuk melihat bagian tubuh korban yang luka karena
kecelakaan tadi," tambah laki-laki tamatan STM bagian mesin itu.
Menabrak Truk
Sebelum berlatih maupun terjun ke dalam adegan sebenarnya,
Eddy juga mengubah berbagai peralatan mobilnya. Tempat duduk
pengemudi misalnya ia ubah begitu rupa sehingga ketika sedang
mengemudi ia seakan-akan dalam posisi berbaring. Begitu pula
tutup mesin mobil, ia las pada bagian-bagian tertentu sehingga
tidak lepas lalu membentur kaca depan bila ditabrakkan.Dalam
latihan maupun adegan sebenarnya Eddy selalu memakai helm, baju
kulit, kadang-kadang dilapisi asbes.
Semua perubahan itu ia lakukan sendiri. Sebab sejak tamat STM
pada 1957 ia sudah berkenalan dengan mobil sebagai pekerja di
sebuah perusahaan mobil di Jakarta. Karena prestasinya di
perusahaan itu, kemudian ia dikirim ke pusat industri mobil
Amerika Serikat di Detroit. Meskipun di negeri itu tak sampai
setahun, ia sempat mempelajari cara-cara pengujian akhir sebuah
mobil sebelum masuk ke pasaran.
Sulitnya bagi Eddy, tidak banyak produser film yang memahami
tugasnya yang berbahaya itu. Untuk mengubah konstruksi mobil,
latihan dan berbagai alat pengaman, sekurang-kurangnya ia
membutuhkan biaya Rp 300 ribu. "Dan tidak semua produser mau
menyediakan biaya untuk persiapan itu," keluh Eddy. Begitu pula,
tambahnya, belum semua produser memberi imbalan honorarium yang
wajar bagi perannya yang mengundang bahaya itu. Ada produser
yang membayarnya hanya Rp 200 ribu dan minta agar mobil yang
dipakai untuk adegan berbahaya itu tidak rusak.
Tapi ia senang juga karena akhir-akhir ini penghargaan kepada
perannya mulai ia rasakan. Dalam film Tuyul Perempuan yang di
hari-hari belakangan ini sedang diputar di beberapa bioskop di
Jakarta, Eddy menerima honorarium lebih dari Rp 2 juta, ditambah
asuransi selama masa pembuatan film itu. Dalam film ini ia harus
menabrakkan mobilnya yang berkecepatan 160 km/jam ke sebuah truk
yang sedang berhenti. "Saya tidak mengalami cedera apa-apa
ketika melakukan adegan tadi," tuturnya.
Kecelakaan yang cukup berat memang pernah dialaminya ketika
membuat film Balas Dendam (kerjasama produser Indonesia dan
Hongkong). Di film ini ia harus melarikan sepeda motor 160
km/jam dengan melewati papan yang berdiri dengan kemiringan 140
derajat. Sebelum melakukannya ia minta agar disediakan ambulans.
"Sebab saya yakin pasti cedera," katanya.
Dan benar juga. "Saya melambung dan terlempar sejauh 9 meter,
kaki dan tangan saya patah," Eddy mengenangkan. Tapi ia merasa
senang juga. Sebab selain mendapat honor Rp 2 juta, selama di
rumah sakit ia ditunggui produser dan awak film itu--satu
kebiasaan yang tak pernah dilakukan produser Indonesia.
Eddy Hansudi mengakui, tidak mungkin semata-mata mengandalkan
isi priuk pada tugas sebagai stand in ini. Karena itu ia juga
membuat hiasan-hiasan elektronika. Hiasan-hiasan ini ia kerjakan
bersama pembantunya dan dijual ke toko-toko. "Kerja ini tidak
bisa untuk makan," Beng Ito menguatkan pengakuan Eddy. Beng
adalah seorang pesilat yang sejak 10 tahun terakhir ini turut
dalam berbagai kegiatan film sebagai pemain pengganti, khusus
untuk adegan-adegan meloncat yang bcrbahaya. Dalam film Rintihan
Gadis Buta misalnya ia harus meloncat dari tingkat atas Proyek
Senen (Jakarta), setinggi 15 meter. Dan ia tidak cedera apa-apa.
"Yang penting perhitungan, ketelitian dan keyakinan," kata Beng
Ito, 27 tahun.
Adegan Ranjang
Untuk adegan-adegan serupa itu sebelumnya ia sudah menyiapkan
kotak-kotak kardus di bagian yang akan ia terjuni di atas
kotak-kotak itu kemudian ia susun beberapa kasur berjok. Setelah
yakin bahwa angin tidak akan mengubah sasaran terjunnya barulah
ia melakukan loncatan. Beng mengaku, dengan perhitungan dan
persiapan teliti, ia sanggup terjun dari ketinggian 20 meter
hingga 25 meter.
Ia juga pernah terjun dari gedung Hai Lai, Ancol, Jakarta,
untuk adegan film Hamidah. Bagaimana cara dan posisi loncatan,
menurut Beng tergantung dari permintaan sutradara. "Yang penting
agar tidak jatuh dengan kepala lebih dahulu," tambahnya. Kalau
sedikit saja berbuat kesalahan, akibatnya bisa gawat. "Dan kalau
saya sampai cacat, saya akan jadi sampah," katanya lagi dengan
nada setengah mengeluh.
Kekhawatiran Beng tampaknya memang beralasan. Sebab selama
melakukan adegan-adegan berbahaya itu ia belum pernah
diasuransikan. Dan lebihlebih lagi, karena "untuk satu adegan
saya hanya menerima Rp 100 ribu." Namun ia bertekad akan
meneruskan kegemarannya itu. Sebab menurutnya, bila hasil
pemotretan itu tampak bagus di layar putih, "wah hati saya
senang bulan main." Sebaliknya jika hasilnya jelek, "saya kesal
sekali." Dan karena penghasilan sebagai pemeran pengganti tak
mungkin mencukupi, Beng Ito kini juga bekerja di sebuah pabrik
piring.
Salah seorang pemeran pengganti yang tak perlu khawatir akan
ancaman Bahaya Adalah Teddy Malan, 36 tahun. Sebab ia Khusus
untuk mengganti pemeran untuk adegan-adegan ranjang, misalnya
dalam film Selimut Cinta, Senapas Tiga Cinta, Penyakit Kelamin.
Dalam film Senapas Tiga Cinta umpamanya ia harus melakukan
adegan-adegan sebagai tamu yang memperkosa setiap penghuni baru
di rumah bordil.
Jika pemain-pemain film (sebenarnya)menolak melakukan adegan
berbahaya karena Takut cedera, maka mereka juga menyerahkan
adegan ranjang kepada pemain pengganti karena alasan lain.
Misalnya, kata Teddy, karena pemeran utama pria umumnya tak
mau main dengan partner wanitanya yang stand in. "Hingga si
pemeran Menyerahkan perannya kepada saya," tutur Teddy.
Alasan lain, karena antara pemain utama pria dan pemeran
utama wanita sudah Demikian akrabnya, hingga sama-sama enggan
melakukan adegan seks.
"Tapi ada juga pemeran utama yang betul-betul sama sekali tak
mau memainkan adegan ranjang," kata Teddy. Namun laki-laki
beranak satu ini rupanya tak segan-seagan menggantikan adegan
serupa itu. "Adegan seks itu hot betul," ucapnya sambil
tersenyum.
Dengan honor sekitar Rp.200 ribu, Teddy tampaknya tak begitu
mengeluh, yang Ia pikirkan justru nasib kawan-kawannya yang
harus melakukan adegan-adegan berbahaya , punya risiko cacat dan
tak pernah didukung asuransi. Barangkali karena Prihatin akan
masa depan rekan-rekannya itu, awal oktober lalu Teddy menghimpun
Teman-temannya seprofesi dalam organisasi "Sapta Komunikasi".
Anggotannya terdiri dari para pemain pengganti dan juga para
pemain pembantu (figuran). Tujuannya,"agar produser tidak
seenaknya menentukan honor."
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini