Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Gaya Hidup

Di Balik Jembatan & Ranjang

Suka duka pemain pengganti (stand in) dalam memerankan adegan berbahaya yang penuh risiko. justru di saat latihan mereka dapat cedera. bagi pemeran adegan ranjang, tak ada masalah.

1 November 1980 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DENGAN kecepatan 140 km/jam mobil itu meluncur di jalan Jakarta (Parung) - Bogor. Hanya satu dua buah kendaraan yang terlihat di sepanjang jalan, pada menit-menit lewat tengah malam itu. Menjelang sebuah jembatan, mobil berkecepatan 140 km/ jam tadi mempertinggi kecepatan lagi. Dan jembatan itu ditabraknya. Segera pengemudinya meloncat turun. Dengan lampu senter jelaslah baginya sekarang boneka yang ia letakkan di tempat duduk di samping pengemudi dan sebuah tas di tempat duduk di belakang boneka tadi, terlempar 10 meter ke depan, setelah menerjang kaca depan. Dan si pengemudi sendiri, berikut sebuah boneka yang didudukkan dengan sabuk pengaman di tempat duduk di belakangnya, sama-sama selamat, tanpa cedera sedikit pun. Eddy Hansudi, si pengemudi tadi, malam itu sedang berlatih: untuk mengetahui akibat dari suatu tabrakan bagi penumpangnya pada posisi tertentu. Rupanya satu adegan film dengan sebuah mobil berpenumpang menabrak jembatan, sedang dipersiapkan. Sebagai pemain pengganti alias stand in untuk berbagai adegan film, Eddy Hansudi, 40 tahun, selalu melatih dirinya sebelum adegan itu benar-benar tersedot kamera. Dengan latihan itu ia akan tahu bagaimana seharusnya posisi penumpang maupun pengemudinya agar aman dalam pengambilan adegan sebenarnya kelak. Sekitar 26 buah film telah dibintangi Eddy sebagai pemeran pengganti. Semua adalah adegan-adegan berbahaya. "Mulai dari meloncat ke atas kendaraan yang berjalan kencang, jatuh dari kendaraan, dan berbagai macam tabrakan kendaraan," tutur Eddy. "Dan justru kalau sedang shooting, saya amat jarang cedera." Sebaliknya, kecelakaan berat maupun ringan, umumnya terjadi pada waktu latihan. "Kecelakaan ketika latihan itu memang saya perlukan," tambah Eddy, "karena saya harus belajar dari akibat." Dia menunjukkan lutut kanannya yang tanpa tempurung lagi sebagai akibat dari salah satu latihan yang ia lakukan. Selain berlatih, Eddy juga rajin mengamati kecelakaan umum di jalan raya. Yaitu untuk memperhatikan bagaimana posisi kendaraan yang bertabrakan dan penyebabnya. "Tapi saya juga pergi ke rumah sakit untuk melihat bagian tubuh korban yang luka karena kecelakaan tadi," tambah laki-laki tamatan STM bagian mesin itu. Menabrak Truk Sebelum berlatih maupun terjun ke dalam adegan sebenarnya, Eddy juga mengubah berbagai peralatan mobilnya. Tempat duduk pengemudi misalnya ia ubah begitu rupa sehingga ketika sedang mengemudi ia seakan-akan dalam posisi berbaring. Begitu pula tutup mesin mobil, ia las pada bagian-bagian tertentu sehingga tidak lepas lalu membentur kaca depan bila ditabrakkan.Dalam latihan maupun adegan sebenarnya Eddy selalu memakai helm, baju kulit, kadang-kadang dilapisi asbes. Semua perubahan itu ia lakukan sendiri. Sebab sejak tamat STM pada 1957 ia sudah berkenalan dengan mobil sebagai pekerja di sebuah perusahaan mobil di Jakarta. Karena prestasinya di perusahaan itu, kemudian ia dikirim ke pusat industri mobil Amerika Serikat di Detroit. Meskipun di negeri itu tak sampai setahun, ia sempat mempelajari cara-cara pengujian akhir sebuah mobil sebelum masuk ke pasaran. Sulitnya bagi Eddy, tidak banyak produser film yang memahami tugasnya yang berbahaya itu. Untuk mengubah konstruksi mobil, latihan dan berbagai alat pengaman, sekurang-kurangnya ia membutuhkan biaya Rp 300 ribu. "Dan tidak semua produser mau menyediakan biaya untuk persiapan itu," keluh Eddy. Begitu pula, tambahnya, belum semua produser memberi imbalan honorarium yang wajar bagi perannya yang mengundang bahaya itu. Ada produser yang membayarnya hanya Rp 200 ribu dan minta agar mobil yang dipakai untuk adegan berbahaya itu tidak rusak. Tapi ia senang juga karena akhir-akhir ini penghargaan kepada perannya mulai ia rasakan. Dalam film Tuyul Perempuan yang di hari-hari belakangan ini sedang diputar di beberapa bioskop di Jakarta, Eddy menerima honorarium lebih dari Rp 2 juta, ditambah asuransi selama masa pembuatan film itu. Dalam film ini ia harus menabrakkan mobilnya yang berkecepatan 160 km/jam ke sebuah truk yang sedang berhenti. "Saya tidak mengalami cedera apa-apa ketika melakukan adegan tadi," tuturnya. Kecelakaan yang cukup berat memang pernah dialaminya ketika membuat film Balas Dendam (kerjasama produser Indonesia dan Hongkong). Di film ini ia harus melarikan sepeda motor 160 km/jam dengan melewati papan yang berdiri dengan kemiringan 140 derajat. Sebelum melakukannya ia minta agar disediakan ambulans. "Sebab saya yakin pasti cedera," katanya. Dan benar juga. "Saya melambung dan terlempar sejauh 9 meter, kaki dan tangan saya patah," Eddy mengenangkan. Tapi ia merasa senang juga. Sebab selain mendapat honor Rp 2 juta, selama di rumah sakit ia ditunggui produser dan awak film itu--satu kebiasaan yang tak pernah dilakukan produser Indonesia. Eddy Hansudi mengakui, tidak mungkin semata-mata mengandalkan isi priuk pada tugas sebagai stand in ini. Karena itu ia juga membuat hiasan-hiasan elektronika. Hiasan-hiasan ini ia kerjakan bersama pembantunya dan dijual ke toko-toko. "Kerja ini tidak bisa untuk makan," Beng Ito menguatkan pengakuan Eddy. Beng adalah seorang pesilat yang sejak 10 tahun terakhir ini turut dalam berbagai kegiatan film sebagai pemain pengganti, khusus untuk adegan-adegan meloncat yang bcrbahaya. Dalam film Rintihan Gadis Buta misalnya ia harus meloncat dari tingkat atas Proyek Senen (Jakarta), setinggi 15 meter. Dan ia tidak cedera apa-apa. "Yang penting perhitungan, ketelitian dan keyakinan," kata Beng Ito, 27 tahun. Adegan Ranjang Untuk adegan-adegan serupa itu sebelumnya ia sudah menyiapkan kotak-kotak kardus di bagian yang akan ia terjuni di atas kotak-kotak itu kemudian ia susun beberapa kasur berjok. Setelah yakin bahwa angin tidak akan mengubah sasaran terjunnya barulah ia melakukan loncatan. Beng mengaku, dengan perhitungan dan persiapan teliti, ia sanggup terjun dari ketinggian 20 meter hingga 25 meter. Ia juga pernah terjun dari gedung Hai Lai, Ancol, Jakarta, untuk adegan film Hamidah. Bagaimana cara dan posisi loncatan, menurut Beng tergantung dari permintaan sutradara. "Yang penting agar tidak jatuh dengan kepala lebih dahulu," tambahnya. Kalau sedikit saja berbuat kesalahan, akibatnya bisa gawat. "Dan kalau saya sampai cacat, saya akan jadi sampah," katanya lagi dengan nada setengah mengeluh. Kekhawatiran Beng tampaknya memang beralasan. Sebab selama melakukan adegan-adegan berbahaya itu ia belum pernah diasuransikan. Dan lebihlebih lagi, karena "untuk satu adegan saya hanya menerima Rp 100 ribu." Namun ia bertekad akan meneruskan kegemarannya itu. Sebab menurutnya, bila hasil pemotretan itu tampak bagus di layar putih, "wah hati saya senang bulan main." Sebaliknya jika hasilnya jelek, "saya kesal sekali." Dan karena penghasilan sebagai pemeran pengganti tak mungkin mencukupi, Beng Ito kini juga bekerja di sebuah pabrik piring. Salah seorang pemeran pengganti yang tak perlu khawatir akan ancaman Bahaya Adalah Teddy Malan, 36 tahun. Sebab ia Khusus untuk mengganti pemeran untuk adegan-adegan ranjang, misalnya dalam film Selimut Cinta, Senapas Tiga Cinta, Penyakit Kelamin. Dalam film Senapas Tiga Cinta umpamanya ia harus melakukan adegan-adegan sebagai tamu yang memperkosa setiap penghuni baru di rumah bordil. Jika pemain-pemain film (sebenarnya)menolak melakukan adegan berbahaya karena Takut cedera, maka mereka juga menyerahkan adegan ranjang kepada pemain pengganti karena alasan lain. Misalnya, kata Teddy, karena pemeran utama pria umumnya tak mau main dengan partner wanitanya yang stand in. "Hingga si pemeran Menyerahkan perannya kepada saya," tutur Teddy. Alasan lain, karena antara pemain utama pria dan pemeran utama wanita sudah Demikian akrabnya, hingga sama-sama enggan melakukan adegan seks. "Tapi ada juga pemeran utama yang betul-betul sama sekali tak mau memainkan adegan ranjang," kata Teddy. Namun laki-laki beranak satu ini rupanya tak segan-seagan menggantikan adegan serupa itu. "Adegan seks itu hot betul," ucapnya sambil tersenyum. Dengan honor sekitar Rp.200 ribu, Teddy tampaknya tak begitu mengeluh, yang Ia pikirkan justru nasib kawan-kawannya yang harus melakukan adegan-adegan berbahaya , punya risiko cacat dan tak pernah didukung asuransi. Barangkali karena Prihatin akan masa depan rekan-rekannya itu, awal oktober lalu Teddy menghimpun Teman-temannya seprofesi dalam organisasi "Sapta Komunikasi". Anggotannya terdiri dari para pemain pengganti dan juga para pemain pembantu (figuran). Tujuannya,"agar produser tidak seenaknya menentukan honor."

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus