Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Marah Roesli wafat di usianya yang ke-79 tahun pada 17 Januari 1968. Dirinya dikebumikan di Ciomas, Bogor, Jawa Barat. Marah Roesli dianggap sebagai pencetak tradisi sastra Indonesia modern berkat karyanya, Siti Nurbaya (1922). Dalam dunia karang mengarang, sosok Roesli pernah memakai nama samaran Sadi B.
Profil Marah Roesli
Marah Roesli merupakan sastrawan kondang angkatan Balai Pustaka tahun 1920-an. Bersamaan dengan Amir Hamzah, Armin Pane, Asrul Sani, Hans Bague Jassin, M. Kasim dan Nur Sutan Iskandar.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Marah Roesli lahir pada 7 Agustus 1889 di kota Padang dalam lingkungan keluarga beragama Islam. Ia terlahir sebagai keturunan bangsawan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ayahnya bernama Sutan Abu Bakar, seorang demang, dengan gelar Sutan Pangeran, keturuan langsung Raja Pagaruyung. Ibunya berasal dari Jawa dan masih keturunan Sentot Alibasyah, salah seorang panglima perang Pangeran Diponegoro.
https://majalah.tempo.co/read/iqra/143094/novel-terakhir-sang-bangsawan-terbuang
Mengutip Ensiklopedia Sastra Indonesia Kemendikbud, gelar "Marah" untuk Marah Roesli diperoleh dari ayahnya yang bergelar "Sutan". Menurut adat Minangkabau, anak laki-laki dari seorang ayah yang bergelar Sutan dan ibu yang tidak bergelar, akan bergelar "Marah".
Roesli menyenangi sastra sejak dirinya masih kecil. Ia senang mendengar cerita-cerita dari tukang dongeng keliling di Sumatera Barat, dan membaca buku-buku sastra.
Marah Roesli sebenarnya adalah dokter hewan sekaligus sastrawan. Ia tetap menekuni profesi dokter hewan hingga pensiun pada 1952 dengan jabatan terakhir Dokter Hewan Kepala.
Dalam sejarah sastra Indonesia, Marah Roesli tercatat sebagai pengarang roman yang pertama. Dirinya diberi gelar oleh H.B. Jassin sebagai Bapak Roman Modern Indonesia. Sebelum muncul bentuk roman di Indonesia, bentuk prosa yang biasanya digunakan adalah hikayat.
Novel Siti Nurbaya lahir dari pemberontakan dalam hati Roesli yang melihat adat di sekitarnya tidak lagi relevan dengan perkembangan zaman. Lewat karyanya ini, Roesli ingin melepaskan masyarakat dari belenggu adat yang tidak memberi kesempatan bagi kaum muda untuk menyatakan pendapat atau keinginannya.
Kisah Siti Nurbaya, telah diletakkan landasan pemikiran yang mengarah pada emansipasi wanita. Membuat wanita yang membacanya mulai memikirkan hak-haknya. Novel Siti Nurbaya mendapat hadiah tahunan dalam bidang sastra dari Pemerintah Republik Indonesia pada 1969 dan diterjemahkan ke dalam bahasa Rusia.
DELFI ANA HARAHAP
Ikuti berita terkini dari Tempo di Google News, klik di sini.