Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Masih Ada Ramsey Lewis

Marwah jazz di Java Jazz berkurang. Cenderung semakin ngepop.

16 Maret 2015 | 00.00 WIB

Masih Ada Ramsey Lewis
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Senyum kecil tersungging di ujung bibir Ramsey Lewis. Ia memasuki panggung dengan langkah perlahan, melempar pandangan ke sekeliling, dan menyapa penonton. "Ini pertama kali saya bermain di Java Jazz. Tak pernah terpikirkan bisa melihat begitu banyak wajah tersenyum," ujar Lewis.

Penonton bersorak. Orang tua berumur 80 tahun peraih Grammy Award tiga kali itu tetap tenang. Wajahnya "teduh" kebapakan. Gerakannya lamban. Tapi, begitu ia menyentuh tuts grand piano Steinway & Sons, jemarinya menghipnotis. Kadang lembut, kadang mengentak.

Didampingi gitaris Henry Johnson, Joshua Ramos pada contrabass, dan penabuh drum Charles Heath, ia menyajikan komposisi rumit, seperti lagu Blessing dan Dear Lord dari John Coltrane, dengan energetik. Pada lagu Dear Lord, Ramos beraksi memainkan melodi solo, menggesekkan bow ke senar bas hingga memunculkan nada-nada "ajaib". Di tengah pertunjukan, Lewis memanggil Maurice Brown ke panggung. Peniup trompet kelahiran 1981 ini diperkenalkan sebagai anak berbakat yang ditemukan Lewis di Chicago, Amerika Serikat. Drummer Charles Heath kebagian memamerkan kecepatannya menggebuk drum saat melakukan solo pada lagu Clouds.

Lewis bisa disebut salah satu yang tetap menjaga marwah jazz pada Java Jazz kali ini. Java Jazz semakin lama semakin menuju spirit pop. Dua panggung utama Java Jazz tahun ini dikuasai artis semisal Kenny Lattimore, Chris Botti, atau Christina Perri dan artis pop dalam negeri, misalnya 3Diva, Glenn Fredly, Sandhy Sondoro, Marcel, Dian Pramana Putra, Afgan, dan Ruth Sahanaya. Lihatlah bagaimana pada hari terakhir Java Jazz Festival, Minggu malam, 8 Maret lalu, penonton tetap membeludak untuk menyaksikan Christina Perri, penyanyi pop yang namanya muncul pada 2010 lewat tembang balada Jar of Hearts.

Masih lumayan ada Bobby McFerrin, Chaka Khan, dan Incognito, meski mereka bukan tamu baru di Java Jazz. Chaka Khan, 61 tahun, yang pernah tampil pada Java Jazz 2007, memamerkan kemampuannya mencapai nada tinggi layaknya semudah bernapas. Bersama Incognito, penyanyi bernama asli Yvette Marie Stevens ini membawakan lagu lawasnya, seperti Tell Me Something Good, Sweet Thing, dan I Feel for You, dengan aransemen yang lebih modern. Ada pula Bobby McFerrin, yang memamerkan asyiknya scat singing, juga mengimitasi instrumen bas hingga perkusi dengan suaranya.

Penyanyi pop dari Inggris, Jessie J., bahkan tampil sebagai special show. Berbeda dengan Christina Perri, yang tampil "lurus" dengan musik popnya, Jessie J. yang bernama asli Jessica Ellen Cornish ini setidaknya mencoba "menghormati" marwah jazz pada Java Jazz. Di tengah pertunjukan, misalnya, ia mempersilakan anggota band-nya memainkan musik instrumental berirama jazz bertempo rileks, jauh dibanding musik hitnya yang ingar-bingar seperti Bang-Bang dan Do It Like a Dude.

Hanya penampilan gitaris Wayne Krantz dan Lisa Ono di panggung utama yang sedikit memberi warna jazz. Krantz memanaskan hari pertama dengan jazz rock. Sedangkan Lisa Ono, penyanyi Jepang kelahiran Sao Paulo, Brasil, tampil membawakan komposisi standar bossa nova dan karya Antonio Carlos Jobim, semisal Agua de Beber dan Agua de Marco. Pada akhir pertunjukannya, ia memberikan kejutan kepada penonton. "Aku akan membawakan lagu Bengawan Solo," ujarnya.

Selebihnya, untuk "menemukan" musik jazz, pengunjung harus menyisir panggung kecil yang tersebar di area venue Pasar Raya Jakarta, Kemayoran. Panggung Hall C tempat Ramsey Lewis manggung, misalnya, begitu bersahaja, bahkan terlalu sederhana untuk menampilkan seorang virtuoso jazz sekelas Ramsey Lewis. Beberapa pengunjung menyayangkan tidak tampilnya Ramsey Lewis di panggung utama. "Warna pop terlalu dominan di Java Jazz kali ini," kata Riyani, penonton dari Bandung. "Padahal publik semestinya dikenalkan pada musik jazz yang bermutu seperti ini," ujarnya.

Yang kasihan penampilan Hendrik Meurkens, pemain harmonika dan xylophone asal Jerman yang pernah mengiringi Jimmy Cobb dan Charlie Byrd. Muncul pada jam yang berbarengan dengan 3Diva, Meurkens tampil di hadapan kursi yang mayoritas kosong.

Gilang Rahadian, Ratnaning Asih


Kisah Tiga Remaja Senior

Wah, nenek-nenek tapi suaranya bening," ujar seorang perempuan belia di D1 Jakarta International Expo. Ia tak tahu siapa nama nenek-nenek itu. Lewat smartphone berlogo buah apel di tangannya, ia kemudian mengecek. Muncul: "The Ladies of Jazz Ermy Kullit, Margie Segers, Rien Djamain. Kamu kenal?" ucapnya kepada sang teman, yang dijawab dengan gelengan kepala.

Keduanya kemudian mencoba bertahan di tempat duduk, menyaksikan penampilan Margie Segers yang membawakan Kesepian, Andaikan, dan satu lagu berbahasa Ambon, Engolori. Adalah menarik menyaksikan remaja yang kurang familiar dengan sosok para penyanyi lawas tapi tetap berusaha menonton. Ini bukan pertama kali Margie, Ermy, dan Rien tampil bareng. "Namun tampil bareng bertiga di panggung sebesar ini baru kali ini," kata Ermy. Margie menyebutkan persiapan penampilan ini tak terlalu lama. "Hanya sekitar dua minggu. Latihan bersamanya juga hanya dua kali," ujarnya.

Selama hampir satu setengah jam, masing-masing dari mereka memainkan tiga lagu secara bergantian, diiringi Trust Orchestra, dengan aransemen ulang oleh musikus muda Adra Karim. Ermy memainkan beberapa lagu dari albumnya bersama Indra Lesmana, yakni Saat yang Terindah, Masa Silam, dan Perasaan Ini. Rien Djamain membawakan lagu sendu seperti Aku Pasti Datang, Api Asmara, dan Kucoba Lagi. Pada akhir pertunjukan, mereka muncul bertiga, memainkan medley Citra, yang dipopulerkan Bimbo, dan Dia milik Ermy.

Di tengah penampilannya, Margie sempat mempersembahkan lagu Andaikan bagi gurunya, mendiang Jack Lesmana. "Saya tidak akan pernah bisa melupakan Jack Lesmana, guru dan maestro besar jazz Indonesia. Tanpa dia, Margie tidak akan berdiri di sini," ujarnya. Wajah dan perawakan mereka mungkin terlihat mulai dimakan usia, tapi vokal mereka masih prima. Ketika Margie menyanyikan Engolori yang riang, misalnya, penonton spontan bertepuk tangan.

"Masih mau lihat penampilan remaja-remaja ini?" kata Rien Djamain.

Ratnaning Asih

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus