Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Lengkingan distorsi cabikan gitar Lee Harrison dan bunyi betotan bas Sam Molina makin membakar panggung Lapangan D Senayan, Jakarta, Ahad pekan lalu. Senayan seolah-olah dilanda gempa bumi dengan entakan drum Pete Sandoval. Tepat pukul 22.00, begitu muncul, Terrorizer-band aliran death metal asal Amerika Serikat-membuat 25 ribu metalhead (penggemar musik metal) melakukan moshing dan body surfing.
Scream khas Molina menghipnotis penonton untuk mengentakkan kepala dan badan, ke atas lalu ke bawah seirama. Terrorizer pertama kali dikenal dunia lewat debut album World Downfall, yang dirilis pada 1989. Saat itu, kelompok musik yang dibentuk di Los Angeles, California, Amerika, ini masih digawangi Jesse Pintado, pentolan Napalm Death; serta David Vincent dan Pete Sandoval dari Morbid Angel. World Downfall kemudian disebut-sebut sebagai album grindcore paling berpengaruh. "Kami sangat senang bermain di sini," kata Molina, yang disambut Hook 'em Horns (salam khas metal) para penonton.
Sehari se SEJUMLAH BAND METAL KELAS DUNIA BERAKSI DI FESTIVAL HAMMERSONIC. SENAYAN MENJADI LAUTAN MOSH PIT DAN BODY SURFING. belumnya, para personel Terrorizer membuat heboh pedagang buku, kaset, dan piringan hitam di Blok M Square. Tiba-tiba pada sore hari mereka muncul dan mendatangi Deep Rock, kios kecil yang dikenal khusus menjual piringan hitam dan kaus. "Saya tanda tangan lebih dari 20 kaset dan piringan hitam," kata Budi, pemilik Deep Rock.
"Are you ready to metal. This is death. This is my turn," ucap Attila Csihar, vokalis band Mayhem asal Norwegia. Pesta berubah menjadi sakral oleh Mayhem. Muncul dari kegelapan panggung dengan cairan merah kental serupa darah yang membasahi muka dan dada yang dicat putih, Csihar melakukan ritual khas "Luciferian". Seolah-olah meminum darah, ia membiarkan cairan kental itu meleleh keluar dari mulut membasahi leher dan dada. Band pengusung black metal itu dalam sekejap membuat panggung Hammer bak altar pemujaan.
Berhadap-hadapan persis dengan properti tengkorak di mik, Csihar terlihat seolah-olah sedang bercumbu dengan tengkorak. Dari darah dan tengkorak, ia beralih ke tambang yang dikalungkan ke leher Necrobutcher, pemain bas Mayhem, seakan-akan hendak menghabisi nyawanya. Suasana magis pun meruap dari atas panggung.
Perjalanan Mayhem penuh kengiluan. Band ini awalnya digawangi oleh Øystein Aarseth (gitar), Jørn Stubberud (Necrobutcher) pada bas, Kjetil Manheim (drum), dan Per "Dead" Ohlin (vokal). Sang vokalis kemudian bunuh diri. Gitaris Aarseth bersama musikus metal Norwegia lain, Vikernes, kemudian meledakkan Katedral Nidaros, yang dijadikan sampul album. Pada Agustus 1993, Aarseth dibunuh oleh Vikernes. Dia dijatuhi hukuman 21 tahun penjara atas pembunuhan dan pembakaran gereja. Empat tahun vakum, Mayhem kemudian dibentuk kembali oleh Hellhammer, dengan personel Rune Eriksen, Maniac, dan Necrobutcher.
Seolah-olah tak peduli dengan sejarah kelam Mayhem, metalhead mengikuti entakan dengan raut muka antusias. "Yang penting asyik buat headbang. Kalau saya enggak pernah peduli mau lagunya apa, judulnya apa, band-nya siapa, yang penting asyik," kata Febriyan, 22 tahun. Ia tak peduli pada ritual khas satanic yang diperagakan Mayhem. Selama sejam penuh, peluhnya mengucur deras karena ia asyik ber-headbang-ria.
Jika dalam kisah Cinderella kekuatan magis berhenti tepat pada pukul 00.00, itu tak berlaku dalam perhelatan metal Hammersonic 2015. Puncak kekuatan magis justru berada pada pukul 00.00 ketika Lamb of God asal Amerika Serikat membuka pintu klimaks dengan lagu Desolation. Scream khas Randy Blythe (vokalis) memecahkan panggung Sonic. Salam khas metal, mosh pit, dan entakan kepala para penonton menghidupkan Senayan. Distorsi gitar Mark Morton dan Willie Adler membuat pesta semakin meriah.
"Indonesia, are you ready?" ujar Randy Blythe. Sejurus kemudian, Lamb of God mengentak suasana dengan gempuran lagu Ruin, Walk Me in the Hell, Hourglass, dan Now You've Got Something to Die For, yang membuat ribuan penonton bertambah liar dan panas. Arena Hammersonic pecah saat nomor Redneck membahana. Teriakan menirukan scream panjang, mosh pit yang semakin ganas, dan headbang tempo tinggi membuat sensasi klimaks kian gegap-gempita.
"Tak peduli dari mana kalian berasal, dari Indonesia atau bukan, kita di sini untuk berpesta. Buat lingkaran terbesar dan terliar," kata Blythe. Penonton menurut. Tak lupa ia berpesan, "Jaga teman di samping kalian supaya tetap aman." Seketika "Three Musketeers" asal Richmond, Virginia, Amerika, ini menggila mengikuti keliaran kerumunan. Blythe sangat lincah berlari dari sudut panggung kiri ke kanan dan seterusnya. Sesekali ia melakukan headbang, menyamakan ritme dengan entakan kepala penonton. Black Label jadi senjata pamungkas Lamb of God, band metal kesayangan Presiden Joko Widodo.
Setelah Black Label dibawakan, Blythe berpamitan, "See you next time, Jakarta. Kalian yang terbaik." Mendadak sontak teriakan "we want more" membahana. Sayang, permintaan ini tak dituruti. Panitia buru-buru meletupkan kembang api, mengantar sensasi puas dan bahagia para headbanger.
Boleh dibilang Hammersonic sukses membuat para headbanger serasa sedang berada di Download Festival, menyaksikan sejumlah band internasional memanaskan Donington Park, Inggris. "Gila. Cadas. Rock!" kata Febriyan. "Luar biasa. Saya seneng banget bisa nonton aksi panggung Lamb of God live, bukan cuma di YouTube," ujar Agung Rasagung, 24 tahun.
DIGELAR sejak 2012, kali ini festival metal tahunan internasional Hammersonic mengusung tema "Metal Against Racism". Menurut promotor sekaligus inisiator Hammersonic, Krisna J. Sadrach, lewat tema itu, festival ini ingin mengikis kesan tak beradab yang melekat di musik metal. "Akhir-akhir ini letupan rasisme santer terdengar di Indonesia. Ini membuat prihatin," katanya.
Sebagai perhelatan musik metal kelas internasional, Hammersonic 2015 ingin menunjukkan sisi lain musik metal yang beradab. "Empati dikedepankan. Buktinya, tak ada kekerasan atau kerusuhan yang terjadi selama perhelatan," ujar Krisna. "Randy Blythe dari Lamb of God, misalnya, tak henti terus mengingatkan agar penonton menjaga keamanan dan keselamatan satu sama lain."
Hammersonic 2015 berlangsung selama satu hari penuh pada Ahad, 8 Maret lalu. Festival dimulai pada pukul 11.00 dengan penampilan Moses Bandwidth dan berakhir pukul 01.30 dengan penampilan Lamb of God. Festival yang kali ini bernama "Magnitude Hammersonic 2015" ini mendatangkan 34 band, 16 lokal dan 18 dari mancanegara. Para metalhead tentu familiar dengan deretan kelompok musik metal kelas dunia, seperti Lamb of God, Mayhem, Terrorizer, Ignite, Vader, Unearth, Deathstar, Avulsed, The Faceless, dan Warbringer. "Tak susah mendatangkan mereka. Asal jadwal cocok dan bayaran sesuai," kata Krisna.
Hujan yang turun sejak pukul 07.00 hingga 10.00 tak pelak membuat Lapangan D Senayan, yang merupakan lapangan berumput, becek. Namun semangat metalhead tak surut. Hingga pukul 13.00, arena Hammersonic memang masih lengang. Pukul 16.00, arena mendadak diserbu ribuan penggemar metal berpakaian serba hitam. Puncaknya, pukul 17.00, Senayan betul-betul dikepung oleh para metalhead.
Soal jadwal, Krisna mengakui perhelatan tahun ini tak sesuai dengan jadwal Hammersonic, yang biasanya digelar saban April. "Kami menyesuaikan jadwal Lamb of God," ujar vokalis band metal Sucker Head ini. Sepanjang tiga tahun sebelumnya, Hammersonic dilaksanakan setiap 27 April. "Enggak jadi masalah. Saya sudah mantengin Hammersonic sejak Desember," kata Elvin Kurniawan, 26 tahun, penonton asal Semarang. "Tiket sudah terjual 70 persen saat presale," ucap Krisna.
"ABCDEFG, HIJKLMN, OPQRSTU, VWXYZ," teriakan lantang puluhan ribu metalhead membahana. Lagu Mari Membaca yang dibawakan kelompok musik metal asal Ujung Berung, Bandung, Mesin Tempur, membuat kerumunan larut dalam semangat. Mesin Tempur tak hanya membawakan penampilan trengginas penuh distorsi, tapi juga menampilkan parodi yang membuat penonton tertawa terbahak-bahak.
Mereka menciptakan kekonyolan seperti saling mengerjai sesama personel, yang membuat penonton tertawa. Ajaibnya, saat sang vokalis menyanyi, kerumunan mendadak sontak ikut menyanyikan Hip Hop Apa Itu Hip Hop, Sopir Angkot Goblog, dan Mari Membaca sambil mengeluarkan letupan emosi dengan gaya masing-masing. Pada awal pertunjukan, Mesin Tempur membagikan uang Rp 2.000 kepada penonton. Yang mengejutkan, di pengujung penampilan, mereka melempar mi instan berbungkus hijau dan belasan celana dalam ke arah penonton.
Sementara itu, band legendaris dari Yogyakarta, Death Vomit, dan Roxx asal Jakarta tetap bertenaga meskipun umur personelnya sudah puluhan tahun. "Padahal sudah tua-tua, tapi masih keren," kata Wahyu Agusta, 27 tahun, penonton asal Bantul, Yogyakarta.
Death Vomit, yang dibentuk pada 1995, menyuguhkan musik beraliran death metal. Band ini dibentuk oleh Dede (vokal), Wilman (gitar), Ary (bas), dan Roy (drum). Album pertamanya, Eternally Deprecated, mencetak penjualan 1.500 kaset. Sempat berganti formasi, Death Vomit merilis album yang sangat terkenal pada 2006 berjudul The Prophecy.
Roxx merupakan band metal senior. Grup beraliran heavy metal ini didirikan pada 1 April 1987. Kelompok yang beranggotakan Iwan (gitar), Arry (drum), Jaya (gitar), Trison (vokal), dan Tony (bas) ini mengeluarkan album pertama pada 1992 berjudul Roxx. Album itu melahirkan lagu-lagu hit, seperti Gontai, Penguasa, 5 Cm, Gelap Price, dan Rock Bergema.
Bukan hanya tiga band itu yang mampu menaikkan adrenalin penonton. Dua kelompok musik lokal lain, Thrasline dan Fraud, juga tak kalah mengentak. Thrasline mampu membius penonton dengan suguhan khas thrash metal. Sang vokalis, Ndaru, memiliki kemampuan berinteraksi baik dengan metalhead. "Kalau mau menunjukkan kehebatan, bukan di sini tempatnya. Kita di sini berpesta," kata Ndaru, yang disambut histeris dengan salam khas metal.
Mosh pit segera terbentuk, headbanger lantas larut dalam distorsi cabikan gitar dan gebukan drum yang membahana. Band yang digawangi oleh Ndaru (vokal, gitar), Apith (drum), Erik (bas), dan Ibeng (gitar) ini juga menyuguhkan drama panggung yang segar. Dua perempuan beraksi seakan-akan marah kepada mereka. "Kita kayak lihat klip video gitu," ucap Abong Rizal, 27 tahun, penonton dari Jakarta.
Tampil sebagai starting lineup, Fraud-band pengusung aliran hardcore beatdown-sukses menaikkan mood kerumunan. Entakan-entakan drum ketukan rendah menyihir kerumunan. Tak ada penonton yang dapat menolak godaan menggerakkan anggota badan. Lapangan D Senayan yang becek tak menjadi penghalang bagi mereka untuk ber-moshing-ria. "Saya ingin kalian terbagi menjadi dua bagian," ujar gitaris Fraud, Kecenk. Fraud adalah band asal Surabaya yang digawangi Ruli, Kecenk, Solim, dan Edel. Mereka dikenal dengan lagu Faith, Beat You Down, dan FFS. "Terima kasih," ujar sang vokalis saat melihat antusiasme para penonton.
Dini Pramita
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo