Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Penduduk setempat menjuluki Jalan Raya Siliwangi alias Jalan Narogong sebagai "jalur tengkorak". Sepanjang tahun lalu saja di jalan penghubung Kota Bekasi dengan Kabupaten Bogor ini terjadi 68 kecelakaan, yang merenggut 12 nyawa. "Ayah jadi korban di jalan yang saban hari saya lewati," kata Maeda Yoppy, 36 tahun, warga Cileungsi, Bogor, Kamis pekan lalu.
Ponti Kadron Nainggolan, ayah Maeda, meninggal setelah jatuh dari sepeda motor pada 8 Februari 2014. Kala itu Ponti hendak membeli material untuk merenovasi rumah. Sewaktu memasuki Pangkalan IV Kota Bekasi, sepeda motor Ponti terperosok ke lubang sedalam 20 sentimeter. Dia terpental ke jalur sebelah. Dari arah berlawanan, sebuah truk menyambar tubuhnya. Kritis, Ponti dibawa ke Rumah Sakit Thamrin, Cileungsi. Dua jam kemudian ia meninggal.
Pekan lalu, Tempo menyusuri jalur ini dari arah Bekasi. Lubang aneka ukuran menganga nyaris di sepanjang jalan. Drainase pun amat buruk. Diguyur hujan sebentar saja jalan langsung terendam air. Sepanjang hari, truk jumbo dan kontainer hilir-mudik melintas, berebut dengan aneka kendaraan yang lebih kecil.
Di lokasi kecelakaan Ponti hanya terpasang papan peringatan seukuran buku pelajaran. Menempel pada pohon di pinggir jalan, tripleks berlapis kertas itu bertulisan "Hati-hati jalan berlubang". Ada logo Pemerintah Kota Bekasi di tepi sudut atasnya.
Papan peringatan itu rupanya belum lama terpasang. "Ketika kecelakaan terjadi, papan itu tak ada," ujar Maeda. Karena itu, ia beranggapan pemerintah punya andil besar dalam kecelakaan yang merenggut jiwa ayahnya. Maeda pun mengadu ke Lembaga Bantuan Hukum Jakarta.
Awalnya Maeda disarankan menempuh gugatan bersama (class action). Dia lalu mencari-cari keluarga korban lain. Namun beberapa keluarga yang ia temui tak mau repot maju ke pengadilan. "Mereka menganggap itu takdir," kata Maeda.
Maeda akhirnya memutuskan menggugat pemerintah secara perdata. Dasar gugatannya Pasal 24 ayat 1 Undang-Undang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan. Pasal itu mewajibkan pemerintah memperbaiki jalan rusak untuk mencegah kecelakaan.
Pengacara LBH, Nelson Nikodemus Simamora, juga merujuk pada Pasal 31 Peraturan Pemerintah tentang Jaringan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan. Pasal itu menegaskan, di setiap jalan rusak, pemerintah wajib memberi tanda peringatan.
Karena Jalan Siliwangi tergolong jalan provinsi, Maeda membidik Gubernur dan Kepala Dinas Bina Marga Jawa Barat sebagai tergugat pertama dan kedua.
Tergugat lain adalah Wali Kota dan Kepala Dinas Perhubungan Kota Bekasi. Kedua pejabat itu dianggap mengabaikan Pasal 19 Peraturan Menteri Perhubungan tentang Rambu-rambu Lintas. Pasal itu menyebutkan wali kota bertanggung jawab atas pemasangan rambu jalan provinsi di wilayahnya.
Di Pengadilan Negeri Kota Bekasi, Maeda kini menuntut ganti rugi Rp 309 juta. Itu dihitung dari potensi penghasilan mendiang Ponti hingga batas usia produktifnya. Maeda juga menuntut pemerintah meminta maaf di media massa.
Wali Kota Bekasi Rahmat Effendi menyatakan siap menghadapi gugatan. Dia pun mengklaim sudah memberi tahu Gubernur Jawa Barat ihwal kerusakan jalan provinsi itu. "Kami tak diperkenankan memakai anggaran kota karena bisa dianggap menyimpang," kata Rahmat.
Adapun Gubernur Ahmad Heryawan memilih irit bicara soal gugatan dengan dalih belum mengetahui kronologi kecelakaan. Berbeda dengan Wali Kota, sang Gubernur justru menyatakan perbaikan "jalur tengkorak" merupakan tanggung jawab Pemerintah Kota Bekasi. "Bukan tanggung jawab saya," ujar Heryawan.
Meski pejabat yang digugat saling lempar tanggung jawab, Maeda berharap majelis hakim masih akan memberi dia "keadilan".
Wayan Agus Purnomo, Ivansyah, Adi Warsono (bekasi)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo