MEREKA datang menyusuri Mahakam dari Longpahangai, Barongtongkok, Gunungbayan, juga Samarinda. Di Tenggarong, kota kerajaan Kutai di Kalimantan Timur, kapal mereka berlabuh. T-shirt dan jeans ditanggalkan. Lalu, Bluko berhiaskan bulu burung enggang dipasang di kepala. Mandau diikat di pinggang. Manik warisan kembali dililit di tubuh. Mereka menari bersama matahari. Panasnya, sehangat keringat penari Hudok yang dientak tubun dan gong. Merahnya merah darah babi yang dihirup pahlawan di atas tengkorak lawan. Namun, cahaya kegembiraan itu hanya bertahan sampai matahari jatuh di barat. Saat para pejabat pulang ke Jakarta dan spanduk Festival Erau VIY 1991 digulung adalah saat menghitung uang jasa dua ribu perak dan menelan pedih. "Kami risi harus meragakan upacara suci di hadapan orang asing. Tapi kami diimbau," tutur seorang Dayak. Bulu-bulu beterbangan dan jatuh. Di kuping Kahang, suaranya bak nyanyian lama: tentang hutan tempat berladang dan berlindung. Tentang sungai yang suci. "Kini hanya mesin gergaji yang mengiang tanpa henti," ujarnya. Keturunannya bergincu dan mengenakan jam tangan, tapi mereka tak lagi mengenal nama burung dan tanaman. Ke mana mereka melangkah, ke sana jalan menuju pertambangan atau kota. Ketuklah lamin, rumah panjang, dan dengarkan sunyi di dalamnya. Ketuklah hati manusia Benua, Bahau, Modang, Tunjung, Kenyah: dengarkan kematian bangsa yang dipaksa menjadi pemain sirkus "kebudayaan". "Ndik perlu ditonjolkan bahwa etam, kami, masih primitif," ujar seorang guru yang ikut pesta Erau. Zaman memang berubah. Berladang tebang bakar dilarang dengan alasan merusak hutan. Padahal, jumlah yang dibabat perusahaan kayu lebih besar. Akibatnya, kehidupan komunal tergusur. Juga jati diri. Di Pusat Kesehatan, Dayak tua merengek agar cuping telinganya yang panjang dipapas. Tato di tangan, menurut kepercayaan dapat menerangi di alam kubur, malah membawa malu. Inilah wajah sebuah kebudayaan yang sebentar lagi punah atas nama pembangunan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini