Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
"Kesederhanaan" membuat cerita-cerita pendek Hamsad Rangkuti terasa istimewa. Berpulang dalam sunyi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
BILA diminta menyebutkan sepuluh penulis cerita pendek Indonesia terbaik, nama Hamsad Rangkuti akan masuk daftar itu. Dan bila diminta menyusun "100 Cerpen Terbaik Indonesia", cerpen Sukri Membawa Pisau Belati karya Hamsad akan ada di dalamnya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dua pernyataan di atas adalah pengakuan atas "posisi penting" penulis kelahiran Titikuning, Medan, 7 Mei 1943, itu, bersama sederet nama penulis cerpen lain, seperti Idrus, Iwan Simatupang, Danarto, Umar Kayam, A.A. Navis, Budi Darma, Ahmad Tohari, dan Korrie Layun Rampan.
Bang Hamsad-begitu ia akrab disapa- memang menulis novel Ketika Lampu Berwarna Merah, salah satu pemenang Sayembara Penulisan Roman Dewan Kesenian Jakarta 1980. Tapi ia "lebih menjulang" karena cerita-cerita pendeknya. Selain Sukri Membawa Pisau Belati, cerpen Hamsad yang tak boleh dilupakan adalah Rencong, Lagu di Atas Bus, Muntah, dan tentu saja Maukah Kau Menghapus Bekas Bibirnya di Bibirku dengan Bibirmu? yang populer. Judul cerpen itu bahkan menginspirasi band pop Samantha dalam lagu berjudul Bibir. Hal ini, setidaknya, membuktikan kepopuleran cerpen Hamsad itu melewati batas dunia sastra.
"SAYA tergolong penulis berbakat alam," demikian pengakuan Hamsad. Pengakuan itu, setidaknya, membuat kita bisa memahami proses kreatifnya, yang lebih menekankan pada intuisi atau kepekaannya. Bagi pengarang "berbakat alami" seperti dia, apa yang dilihat, didengar, atau dialami langsung mula-mula datang sebagai suatu impuls yang memantik imajinasi. Itulah yang kemudian, sebagaimana pengakuannya juga, membuat Hamsad menjadi "pelamun yang parah". Cerita-ceritanya adalah hasil lamunannya.
Ia bukan penulis yang terobsesi melakukan eksplorasi teknik atau pembaharuan bentuk. Ia bukan penulis "avant-gardist", pembaharu. Sukri Membawa Pisau Belati boleh dibilang "menjadi satu-satunya" cerpen Hamsad yang memperlihatkan permainan teknik bercerita: struktur ceritanya dibangun lewat gaya penceritaan yang repetitif dan membuat efek surealis. Bila menyimak cerita-cerita pendek Hamsad yang terhimpun dalam buku kumpulan cerpennya, Lukisan Perkawinan (1982), Cemara (1982), Sampah Bulan Desember (2000), dan Bibir dalam Pispot (2013), kita akan menemukan cerpen yang cenderung setia pada gaya realisme, yang menangkap momen estetis dari satu peristiwa kemudian menuliskannya dengan pemerian yang detail.
Dengan kata lain, sebagaimana kecenderungan para penulis realis, cerita-cerita pendek Hamsad cenderung "merekonstruksi ulang" pengalaman empirisnya. Bila dibandingkan dengan cerpen kontemporer Indonesia yang ditulis generasi setelahnya, misalnya Eka Kurniawan, Linda Christanty, A.S. Laksana, dan Leila S. Chudori, cerpen-cerpen Hamsad yang tak memuja teknik penulisan itu menjadi terasa "oldies" dan tampak sangat sederhana.
Tapi, setelah selesai membacanya, kita akan tahu justru "kesederhanaan" itulah yang membuat cerpen-cerpen Hamsad terasa istimewa.
CERITA pendek Hamsad yang sederhana menjadi terasa istimewa karena ia mampu menggali "peristiwa yang tampak sederhana" menjadi sesuatu yang tak terduga dan kadang mengejutkan. Ia menuliskan nasib orang-orang kecil yang tersingkir, yang kalah dalam perubahan sosial, tapi ia mampu melihatnya dari sisi yang unik (kadang ironis) sehingga ceritanya tidak jatuh menjadi kisah melodrama. Ia tak melakukan eksperimentasi teknik penceritaan, tapi lebih berupaya mendalami tema dan karakter para tokohnya. Ceritanya tak bergerak di permukaan, melainkan menyelusup ke kedalaman, dengan imajinasi liar, yang membuat ceritanya menjadi orisinal.
Bagi Hamsad, sastra mencerminkan dunia sederhana dan bersahaja yang menyimpan banyak ironi dan keganjilan. Tampak tenang di permukaan, tapi menyimpan kejutan di dalam. Cerpen Muntah adalah contoh baik untuk itu, berkisah tentang tokoh aku dan Wien, kekasihnya, yang selalu muntah. "Aku" menampung muntahan itu dengan tangannya. Ada ironi dan tragedi. Itulah dunia yang dihidupi Hamsad.
Di tengah keriuhan politik sastra, Si Pelamun yang Parah itu memilih dunia sunyi. Bila kau melihat kerumunan sastrawan dalam acara sastra dan ada seseorang yang memilih menyendiri di pojok, itulah Hamsad Rangkuti. Seperti itulah rasanya ketika pada 26 Agustus lalu jenazahnya dikuburkan. Tak banyak sejawatnya yang mengantar, hanya sekitar 25 orang. Sungguh tak sebanding dengan nama besarnya di dunia sastra, yang pernah mendapatkan Penghargaan Sastra Pusat Bahasa (2001), Khatulistiwa Literary Award (2003), Southeast Asian Writers Award (2008), serta Penghargaan Anugerah Kebudayaan dan Maestro Seni (2014). Berita kematiannya pun nyaris senyap di tengah gempita pemberitaan seputar pemilihan presiden dan Asian Games.
Di kuburnya yang sunyi itu, ia barangkali tengah melamun.
Agus Noor, Penulis
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo