Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
JUDUL lukisan itu Diponegoro Terluka. Sebuah lukisan minyak di atas kanvas besar berukuran 2 x 5 meter yang menampilkan adegan perang kolosal. Puluhan tentara Belanda dan pribumi lengkap dengan kuda tunggangan terlihat tumpang-tindih di atas kanvas itu. Ada kuda meringkik, ada orang menghunus pedang panjang, ada yang tubuhnya ditembus tombak. Di tengah segala kekacauan itu, ada sosok penunggang kuda hitam berjubah biru kehijau-hijauan. Serban khas di kepalanya memberi tahu kita bahwa dialah Diponegoro yang dimaksudkan dalam judul lukisan. Namun hanya itu tandanya karena sosok tersebut tak memiliki wajah. Bagian mukanya hanya diisi dengan cat cokelat polos.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Lukisan bertarikh 1982 itu merupakan satu dari 33 lukisan dan sketsa Hendra Gunawan yang dipamerkan dalam pameran "100 Tahun Hendra Gunawan: Prisoner of Hope" di Ciputra Artpreneur Museum, Jakarta Selatan, pekan pertama Agustus lalu. Semua karya yang dipajang merupakan koleksi pribadi taipan properti Ciputra. Sebagian besar baru dipertunjukkan kepada umum untuk pertama kalinya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Diponegoro Terluka sendiri merupakan salah satu favorit Ciputra. Ini juga salah satu lukisan yang paling susah ia dapatkan dalam perjalanannya memburu karya-karya Hendra. "Awalnya keluarga Hendra ingin mengoleksi sendiri. Tapi belakangan mereka perlu uang untuk hidup. Akhirnya dijual juga," kata Ciputra kepada Tempo.
Karya ini dibuat Hendra sesaat sebelum kematiannya akibat penyakit lambung pada 1983 di Bali. Menurut pengamat seni rupa sekaligus kurator pameran Agus Dermawan, mulai 1980, Hendra sibuk mengerjakan sebuah proyek pribadi, yaitu membuat lukisan untuk dihadiahkan kepada sejumlah provinsi di Indonesia. "Itu bentuk kecintaannya kepada tanah air," ujar Agus.
Untuk Provinsi Bali, Hendra melukis Trunyan dan Perang Buleleng, untuk Jakarta ada lukisan Pangeran Fatahillah. Kemudian ada lukisan Pangeran Sumedang melawan Daendels untuk Provinsi Jawa Barat. Lukisan Pangeran Diponegoro merupakan bagian dari seri ini yang hendak dihadiahkan Hendra kepada Provinsi Jawa Tengah.
Mengapa Diponegoro itu dilukis tanpa wajah?
Nuraeni, istri Hendra Gunawan, mengatakan belum dilukisnya wajah Pangeran Diponegoro disebabkan oleh kebiasaan Hendra. Ia kerap membuat banyak karya dalam satu waktu. Hendra suka menunda menyelesaikan satu lukisan, lalu langsung menggambar lukisan berikutnya. "Wajahnya belum selesai, dia menggambar lagi yang lain," kata Nuraeni. Saat Hendra meninggal, lukisan itu pun tak terselesaikan.
PAMERAN karya Hendra Gunawan koleksi Ciputra ini mengambil tema "Prisoner of Hope" karena sebagian besar lukisan yang dipamerkan adalah yang dibuat Hendra pada masa-masa ia dipenjara di Kebon Waru, Jawa Barat. Hendra salah satu seniman yang dijebloskan ke bui seusai Gerakan 30 September karena keterlibatannya di Lembaga Kebudayaan Rakyat. Kendati begitu, ia tetap aktif melukis selama di tahanan. Karmini, istri pertama Hendra, dan Nuraeni, yang dinikahi Hendra saat dalam penjara, berperan dalam membawa lukisan Hendra keluar untuk dijual.
Meski sebagian besar lukisan diciptakan di dalam penjara, karya-karya Hendra tak lantas bernuansa murung dan kelam. Justru di dalam penjara muncul kemeriahan warna-warni dalam lukisannya. Perubahan ini kentara karena pameran disusun berdasarkan kronologi pembuatan lukisan.
Lukisan bertahun paling awal dalam pameran ini masih bernuansa monokrom kecokelatan layaknya karakter lukisan masa revolusi. Temanya pun tentang realitas kehidupan rakyat yang serba susah pada masa itu. Salah satunya terlihat dalam lukisan Hendra berjudul Cecak tahun 1950 yang memperlihatkan anak-anak membakar dan memakan sate cecak.
Sekitar periode tersebut, pengaruh Tiongkok juga terlihat dalam lukisan Hendra. Banyak lukisannya menampilkan ikan sebagai obyek. "Hendra bersahabat dengan Lee Man Fong," kata kurator pameran Aminudin T.H. Siregar.
Selanjutnya Hendra makin sering melukis tentang perempuan. Cirinya: perempuan dan garis tubuh meliuk. Rata-rata para perempuan ini digambarkan sedang melakukan aktivitas harian biasa, seperti menyusui, mencuci, makan, bermain dengan anak, atau berjualan di pasar. Antara lain ada lukisan Menyisir Sambil Menyusui, Dua Wanita Sedang Makan, Menangkap Kupu-kupu, dan Menyusui II. "Cara Hendra menghadirkan ragam wanita di kanvasnya berbeda dengan Affandi atau Sudjojono," ujar Aminudin. "Hendra melukis kaki wanita dengan betis yang besar cenderung bengkak, membangun persepsi tentang pekerja keras, mandiri, dan terhindar dari subordinasi laki-laki."
Selain tema, karakter lukisan Hendra berkembang. Pada periode awalnya, lukisan Hendra cenderung bernuansa lembut dengan sapuan yang nyaris transparan. "Belum ada sapuan kuas yang tajam dan mencolok," ucap Aminudin. Menurut Agus Dermawan, Hendra mulai menggunakan warna-warni semarak di atas kanvas di penjara setelah bertemu dengan Nuraeni, yang kala itu juga ditahan.
Nuraeni, yang kelak diperistri Hendra, awalnya diajak menjadi murid Hendra untuk belajar melukis. Lukisan-lukisan Nuraeni pada mulanya terpengaruh karakter lukisan Hendra, tapi lama-lama ia menemukan karakter sendiri. Ciri lukisan Nuraeni adalah warna-warna tropikal cerah yang ia dapat karena, saat di Bandung, sering bergaul dengan keluarga pemilik toko tekstil NV Tan Tjwie Gien dan melihat ratusan ragam corak serta warna kain. "Karena Hendra jatuh cinta kepada Nuraeni, muncul pula warna-warna yang biasa dipakai Nuraeni dalam lukisan Hendra," kata Agus.
Hal ini dibenarkan oleh Nuraeni. Menurut Nuraeni, Hendra pernah memuji kemampuan melukisnya dan preferensinya atas warna. "Kalau Bapak kan warnanya gelap transparan, kalau saya meledak-ledak," tuturnya. Hendra sempat khawatir kelak Nuraeni yang akan dikira meniru warna karyanya, bukan sebaliknya. Maka, dalam beberapa kesempatan, Hendra menyatakan terbuka kepada publik tentang hal ini, seperti di Pasar Seni Ancol, dan kepada wartawan. "Bapak bilang nanti Nur akan susah menghindari tudingan pengamat. Saya cuek saja waktu itu, enggak ngerti apa-apa," ujar Nuraeni.
Lukisan yang dibuat Hendra selama di dalam penjara sering disebut kalangan seni sebagai Periode Kebonwaru. Selain perkembangan dalam hal warna, periode ini ditandai oleh bergesernya tema lukisan Hendra dari tema perjuangan kemerdekaan dan paham politik menjadi keluarga dan kehidupan sehari-hari. Salah satunya dapat terlihat pada lukisan Bunga Muara, yang dilukis Hendra pada 1979. Lukisan ini penuh keceriaan, menggambarkan suasana di sebuah pantai yang sedang ramai dikunjungi keluarga. Anak kecil bermain riang atau menyusu nyaman kepada ibunya.
Kendati demikian, Hendra pun sempat melukis pengalaman pribadinya selama berada di penjara. Dua lukisan menjadi penanda kegetiran Hendra hidup dalam tahanan, yaitu Aku dan Isteriku di Lonceng Kedua Hari Bezoek serta Dua Belas Tahun Tak Mandi.
Dalam lukisan Dua Belas Tahun Tak Mandi, Hendra membuat potret dirinya sendiri dengan rambut gondrong kusut masai sedang bersila di dalam sel penjara. Satu tangannya terangkat tinggi, menawarkan seekor cecak kepada kucing belang yang bermain-main di kakinya.
Menurut Agus Dermawan, lima tahun pertama sejak masuk bui pada 1965, kondisi Hendra sangat menderita. Lukisan ini pun ia jadikan refleksi gambaran tahun-tahun tersebut. Kalimat "12 tahun tak mandi" digunakan Hendra sebagai analogi situasinya yang dipenjara 12 tahun tanpa melalui proses pengadilan. "Dia merasa dibiarkan kotor dan tak pernah dimandikan oleh kebenaran hukum," demikian tertulis dalam katalog pameran.
Adapun lukisan Aku dan Isteriku di Lonceng Kedua Hari Bezoek lebih unik. Lukisan bernuansa merah jambu ini memperlihatkan seorang pria dan seorang perempuan berpelukan mesra. Si lelaki mendekap tubuh perempuan berkebaya dari belakang. Satu tangan di pinggang, tangan lain menggenggam dadanya. Mereka adalah Hendra dan Karmini, istri pertama Hendra.
Dalam catatan kuratorial disebutkan adegan dalam lukisan ini merupakan peristiwa nyata yang terjadi di penjara saat Karmini mengunjungi Hendra. Untuk menandai waktu berkunjung, sipir penjara biasa membunyikan lonceng. Bunyi lonceng pertama menandai 10 menit terakhir waktu kunjungan, lalu suara lonceng kedua pada lima menit terakhir. Pada bunyi lonceng kedua inilah Hendra dan Karmini berpelukan erat untuk menuntaskan rindu sebelum sipir menyuruh Karmini segera pulang.
Lukisan ini sempat berbalut kontroversi. Selain lukisan yang menjadi koleksi Ciputra, ada lukisan berjudul mirip, yakni Aku dan Istriku Karmini di Lonceng Kedua, yang dimiliki Dewan Kesenian Jakarta (DKJ). Lukisan koleksi Ciputra bertahun 1973, sementara milik DKJ diciptakan pada 1976.
CIPUTRA disebut-sebut sebagai kolektor terbesar lukisan Hendra Gunawan. Kepada Tempo, Rina Ciputra, anak Ciputra, menyebutkan koleksi mereka berjumlah 130, yang terdiri atas 90 lukisan dan 40 sketsa. Ciputra mulai mengoleksi karya Hendra sejak pelukis itu masih dipenjara di Kebonwaru. Perantaranya adalah Nuraeni.
Nuraeni, yang ditemui di Bandung, bercerita ia sendiri yang awalnya menghubungi Ciputra. Ia mendengar Ciputra tertarik pada lukisan Hendra sejak masih di dalam penjara. Saat Nuraeni dibebaskan pada 1972, enam tahun sebelum Hendra, ia mulai menawarkan lukisan-lukisan Hendra kepada Ciputra. Nuraeni mengambil lukisan saat jam kunjungan dengan cara digulung lewat sipir penjara. Hampir seminggu sekali Nurani ke Jakarta untuk menjajakan lukisan Hendra. "Dulu harganya Rp 15-25 juta. (Sekali jalan) saya bawa dua-tiga lukisan," kata Nuraeni.
Awalnya Nuraeni menawarkan lukisan Hendra kepada Ciputra lewat seseorang di Pasar Seni Ancol. Dia biasa menunggu sejak pagi sampai sore karena Ciputra sering rapat atau ke luar kota. Akhirnya Ciputra menyarankan Nuraeni untuk langsung datang saja ke kantornya. "Jadi kami ketemu langsung," ujar Nuraeni.
Menurut Nuraeni, Ciputra tak pernah menolak tawaran lukisan Hendra. Dia selalu membayar dengan kontan. "Cuma Pak Ci suka menawar karena saya menjual dengan harga tinggi. Katanya, jangan mahal-mahal," ucap Nuraeni.
Pada 15 Mei 1978, Hendra Gunawan bebas dari penjara. Beberapa bulan setelah keluar, tepatnya bulan Oktober, ia terlibat dalam pameran bersama dengan Affandi, Sudarso, Barli, dan Wahdi di Taman Ismail Marzuki (TIM), Jakarta. Setelah itu, pada 3-14 Juli 1979, untuk pertama kalinya ia berpameran tunggal di TIM. Yang membuka pamerannya adalah wakil presiden saat itu, Adam Malik. Hendra memamerkan 21 lukisannya, di antaranya berjudul Arjuna Menyusui, Banjir Rob, Pangeran Kornel, dan Antri Mandi. Tidak ada satu pun yang laku saat itu. Cap Hendra sebagai mantan tahanan politik masih sangat sensitif. Hendra kemudian atas inisiatifnya sendiri membawa empat lukisannya-dua di antaranya berukuran 3 meter-kepada Jusuf Wanandi, Direktur Centre for Strategic and International Studies (CSIS). Empat lukisan itu dijual Hendra kepada Jusuf dengan harga hanya Rp 10 juta.
Pada periode itu, Hendra dan Ciputra sering berkabar dan bertukar surat. Dalam suratnya pada Februari 1983, Hendra menulis:
Pak Cip Yth,
Walau Pak Cip sudah mahir berenang di baja pijar atau baja dingin, tapi yang tetap kami nilai dari pribadi Pak Cip bukan dollarnya, melainkan manusia Seni Budaya....
Pada 8 Maret 1983, Ciputra menjawab:
Bapak Hendra yang terhormat,
Mohon maaf, kalau saya pernah keliru dalam sikap saya menanggapi harga lukisan Bapak. Yang saya maksudkan, untuk saya terlalu mahal, tetapi untuk orang lain atau apalagi dunia internasional, harga tersebut tidak mahal. Di rumah saya sekarang ada 5 (lima) buah lukisan karya Bapak, dan saya masih terus ingin menambah koleksi saya ini. Saya ingin membeli suatu karya seni lalu mengembalikannya kepada suatu badan yang patut menerimanya, tetapi sayang saat ini belum waktunya saya mampu berbuat demikian. Mudah mudahan di masa y.a.d keinginan saya ini dapat terlaksana, Betapapun besarnya kekaguman saya terhadap karya-karya Bapak , namun untuk membayar sebuah lukisan dengan harga Rp.20 atau Rp.30 juta saya tidak sanggup....
Pada 13 Juli 1983, Ciputra menjenguk Hendra Gunawan di rumahnya di Ubud, Bali. Hendra terbaring lemah. Sepulang dari Ubud, Ciputra menulis sebuah catatan pribadi:
Aku telah mendengar dari Ibu Nur Hendra bahwa Pak Hendra sedang sakit, tetapi di luar dugaan sakitnya demikian parah. Muka yang bengkak, pucat, tuli, tak dapat berbicara, dan terutama tanpa tenaga. Benar-benar bukan Pak Hendra yang aku kenal dulu.
Dalam catatan itu juga Ciputra menulis begitu terkesima melihat lukisan Diponegoro karya Hendra yang belum selesai.
Aku berdiri cukup lama memandang lukisan Diponegoro yang belum selesai. Dalam surat beliau kepadaku telah diceritakan tentang lukisan tersebut dan rencananya, tapi aku tidak sangka demikian indah. Lihatlah bentuk kuda dengan sikap yang sedemikian perkasa dan sikap Diponegoro berperang. Walaupun lukisan tersebut belum selesai, tetapi aku mempunyai pengertian-pengertian tersendiri untuk muka Diponegoro yang belum selesai tersebut, karena buatku muka Diponegoro yang belum mempunyai mata dan mulut tersebut seperti perjuangan beliau yang belum selesai tetapi dapat diteruskan oleh teman-teman beliau sehingga bangsa Indonesia dapat merdeka.
Pada 17 Juli 1983, Hendra wafat di Rumah Sakit Sanglah, Denpasar. Pada 1996, lukisan Antri Mandi-yang dalam pameran tahun 1979 di TIM dipatok Hendra dengan harga Rp 4 juta-pada lelang Oktober Sotheby Singapura terjual dengan harga Sin$ 245.750 atau setara dengan Rp 2,3 miliar.
Sejak saat itu, lukisan Hendra meroket dan dihargai miliaran rupiah sampai sekarang. Sejak saat itu pula lukisan palsu Hendra mulai banyak beredar. Berbagai sindikat dengan sejumlah strategi berusaha menjual lukisan palsu Hendra kepada kolektor. Sungguh beruntung para kolektor yang memiliki lukisan asli Hendra Gunawan tatkala Hendra menjualnya dengan harga murah.
Moyang Kasih Dewimerdeka, Seno Joko Suyono (Jakarta), Anwar Siswadi (Bandung)
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo