Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
IKA Natassa telah menulis sejak usia belia. Menurut dia, menulis adalah pekerjaan yang paling adil karena tak mensyaratkan apa pun, baik pendidikan, penampilan fisik, kesehatan, kelengkapan indra, suku, maupun agama. "Kami murni dinilai dari karya dan kreativitas," kata penulis novel Critical Eleven ini, Selasa pekan lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Namun anggapan ini buyar sejak novelnya populer dan namanya dikenal. Berulang kali fisiknya dikritik. Pada 2014, misalnya, seseorang berkomentar bahwa foto Ika yang disertakan dalam profil penulis merusak imajinasinya. Pengkritik berakun anonim itu sebelumnya membayangkan Ika sama seperti tokoh utama novelnya, yang cantik dan langsing. Seseorang juga pernah mencela giginya. "Body shaming itu terselip dalam komentar di media sosial, bahkan review buku," ujar Ika.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Meira Anastasia punya pengalaman serupa. Istri aktor dan sutradara Ernest Prakasa ini sering dicela di media sosial. Meira, yang berambut pendek, dinilai kurang perempuan. Ia juga dianggap tak cukup cantik sebagai pasangan artis. "Macam-macam komentarnya, dari lengan yang besar, perut buncit, kulit cokelat, enggak pakai makeup," katanya.
Gara-gara komentar miring itu, penulis skenario film Susah Sinyal tersebut merasa rendah diri. Tapi, setelah ia berdamai dengan diri sendiri, celaan itu justru menginspirasinya menulis buku Imperfect. Buku yang dirilis pada Mei lalu ini berisi kegalauannya dan caranya bangkit melawan komentar negatif tersebut.
Media sosial ikut menyuburkan body shaming. Media sosial membuat orang bisa mengomentari apa pun kepada siapa pun, termasuk mencela penampilan fisik atau body shaming. Siapa pun bisa mendapat celaan, bukan hanya orang terkenal.
Body shaming tak hanya terjadi di dunia maya, tapi juga diucapkan secara langsung kepada korbannya. "Saat bertemu dengan teman lama lalu berkomentar, ’Kamu gendutan, ya?’, itu termasuk body shaming," tutur psikolog Roslina Verauli.
Menurut psikolog Efnie Indrianie, ada tiga bentuk body shaming: mengkritik diri sendiri, mengkritik orang lain di hadapan orang tersebut, dan mengkritik orang lain di belakang orang itu. "Bisa berupa komentar tentang berat badan, bentuk tubuh, bentuk wajah, rambut, dan warna kulit," katanya.
Efek komentar soal fisik ini, menurut Efnie, beragam. Di antaranya menurunkan rasa percaya diri; kelainan pola makan, seperti anoreksia dan bulimia, demi mendapatkan citra tubuh ideal; dan depresi. "Efek jangka panjang depresi yang tidak dipulihkan bisa berujung pada bunuh diri," ujarnya.
Studi yang dilakukan para peneliti dari University of Pennsylvania, Philadelphia, Amerika Serikat, yang dipublikasikan tahun lalu, juga menyimpulkan bahwa mencela berat badan orang gemuk justru akan membuat mereka menghindari olahraga dan makan lebih banyak untuk mengatasi stres karena celaan tersebut. Hal itu dapat mengundang penyakit kardiovaskular, seperti penyakit jantung.
MENCELA penampilan fisik sudah lama dilakukan orang, umumnya perempuan. Komentar negatif ini muncul lantaran zaman dulu perempuan dianggap sebagai warga kelas dua. Wanita tak bisa melakukan berbagai hal sebebas laki-laki, seperti bekerja, bersekolah, dan berpendapat. Perempuan hanya dianggap sebagai aksesori bagi laki-laki. "Sehingga yang diandalkan perempuan adalah tubuhnya," tutur Vera-sapaan akrab Roslina Verauli. Dari sini, muncullah pakem citra tubuh ideal.
Adapun definisi tubuh ideal berbeda-beda sepanjang zaman. Patung prasejarah Venus of Willendorf yang ditemukan di Austria pada 1908, misalnya, menggambarkan perempuan berpayudara, berpinggul, dan berperut besar. Sedangkan pada era Dinasti Sui (581-618) sampai Dinasti Song (960-1279) di Cina, para perempuan membebat kakinya untuk mendapatkan "kaki lotus"-kaki berukuran kecil. Makin mungil kakinya, makin cantik perempuan itu menurut anggapan orang.
Lain lagi pada 1970-1980-an, ketika banyak perempuan berkiblat kepada Twiggy, supermodel dari Inggris yang berbadan kecil. "Definisi cantik selalu berubah sesuai dengan eranya, bangsanya, atau budayanya," ucap Vera. Ketika tubuh perempuan tak sesuai dengan standar itu, ia dianggap tak cantik dan dikomentari perempuan lain.
Setelah gerakan feminisme populer pada pertengahan abad ke-19, perempuan mulai dianggap sederajat dengan pria. Penyetaraan gender itu membuat perempuan tak lagi berfokus pada tubuhnya dan mulai muncul gerakan body positivity, mencintai tubuh bagaimanapun bentuknya. Namun body shaming tidak lantas hilang. Menurut Efnie Indrianie, standar cantik terus ada dan meluas karena dipaparkan media.
Penerimaan tiap orang terhadap celaan fisik berbeda. Ada yang menanggapinya dengan santai, ada juga yang jadi depresi. Menurut Vera, penerimaan itu antara lain bergantung pada profil diri masing-masing. Profil diri tak hanya ditentukan oleh anggapan terhadap tubuh sendiri, tapi juga dipengaruhi oleh, antara lain, pandangan mengenai kecerdasan dan kemampuan diri.
Kalau pandangan seseorang lebih dominan pada urusan tubuh, celaan orang terhadap penampilan fisik akan sangat berpengaruh. Lain halnya jika orang itu merasa percaya diri dalam hal apa pun. Kritik terhadap tubuh biasanya ditanggapi dengan santai. "Makin dia nyaman dengan dirinya, percaya diri, merasa dirinya kompeten, makin ia tak terpengaruh oleh penilaian orang lain," tuturnya.
Vera menyarankan agar mereka yang merasa rendah diri atas penampilan diri melihat sisi lain pribadinya, seperti kompetensi, hobi, ketertarikan, dan prestasi. "Perhatiannya harus dialihkan agar enggak cuma ke badan, tapi ke hal-hal yang positif."
Meira Anastasia pun mengalihkan perhatiannya pada hal-hal yang ia sukai, seperti olahraga. Selain membuatnya melupakan celaan, olahraga memacu endorfin, senyawa kimia tubuh yang memunculkan perasaan bahagia. "Jadi lebih positif, bahagia, dan sehat," ucapnya.
Jika masih ada orang yang mencela penampilan fisik, ujar Vera, sebaiknya diabaikan. Mereka yang melakukan body shaming, dia menambahkan, sebenarnya menilai diri sendiri negatif. Mereka berusaha mengangkat penilaian itu dengan cara instan, yakni merendahkan orang lain.
Untuk sesaat, cara ini memang membuat orang itu merasa lebih baik. Namun, kemudian, penilaian tersebut akan jatuh karena sebenarnya mereka tak memperbaiki masalahnya. "Mereka yang julid atau berkomentar negatif itu sebenarnya sedang membicarakan diri sendiri.  Menggambarkan apa yang dia anggap penting tapi sebetulnya dia enggak punya," ucapnya.
Ika Natassa pun memilih tak mengacuhkan berbagai olok-olok tentang fisiknya dan tetap menulis. "Yang seperti itu ada di mana-mana, kebanyakan dari orang asing yang mencari perhatian, dan saya memilih tak termakan hal seperti itu," katanya.
Nur Alfiyah
Survei yang dilakukan Yahoo! terhadap 2.000 responden berusia 13-64 tahun di Amerika Serikat menunjukkan mayoritas perempuan tak percaya diri atas penampilannya.
94% Remaja perempuan pernah dicela karena penampilan fisik mereka. 
64% Remaja laki-laki pernah dicela karna penampilan fisik mereka.
66% Remaja Perempuan memandang tubuh mereka dengan negatif atau ambivalen (cinta tapi juga benci pada tubuh sendiri).
13% Perempuan mencapai puncak tubuh positif antara usia 35 dan 54-tetapi itu hanya terjadi pada 13 persen perempuan.
3,5 kali remaja laki-laki lebih memandang tubuhnya secara positif ketimbang remaja perempuan.
70% Laki-laki memandang tubuh mereka secara positif atau netral.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo