Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PERAHU dari anyaman bambu kuning-kecokelatan itu "berlayar" menyusuri jalanan aspal sekitar lima meter. Bukan dikayuh dayung, melainkan diseret tangan-tangan kukuh lebih dari sepuluh anggota Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) Kota Bandung. Di dalam perahu mereka menaruh beberapa barang seperti patung orang dan patung kepala berbahan dasar anyaman bambu, lesung kayu tua, dan lukisan di atas kanvas berukuran 7 x 14 meter.
Setelah perahu berhenti, tak berapa lama, wuss , terlihat lidah api menjulur dan melumat semua barang di situ. Panas api membakar keteduhan Taman Babakan Siliwangi, Bandung, Kamis pagi dua pekan lalu. Hingga sore, semuanya adem ayem. Protes baru muncul setelah si empunya perahu, seniman kondang asal Bandung, Tisna Sanjaya, mendapat telepon dari karibnya soal pembakaran itu, sekitar pukul tujuh malam. Ia segera meluncur ke lokasi dari rumahnya di kawasan Ledeng, Bandung Utara.
Sampai di Babakan Siliwangi, mata dosen Fakultas Seni Rupa dan Desain ITB itu menatap nanar karyanya bertajuk Special Prayer for the Death (Doa Khusus bagi Si Mati) yang tinggal kerangka besi. "Saya sedih sekali," kata Tisna, mengenang karya yang sudah dipamerkan ke berbagai belahan dunia itu. Keesokan harinya, tak pelak, kalangan seniman di Bandung geger. Protes pun bertaburan.
Sebenarnya pembakaran itu tak perlu terjadi kalau saja anggota Satpol PP mendengarkan keterangan Nyonya Atty W. Ardi, istri Yana M. Purakusumah, pengelola Bandung Art Project, yang bermarkas di sekitar situ. Atty meminta agar karya itu "Jangan diapa-apain. Ada yang punya!" Cuma, permintaan itu tak digubris. Rupanya satuan berseragam cokelat itu menganggap perahu dan seisinya sampah belaka....
Kepala Seksi Operasi Satpol PP, Syarief Hakim, menyatakan kondisi benda-benda tersebut sudah hancur dan tidak terawat. Bahkan ada kardus-kardus bekas segala. Akhirnya kata putus pun diambil: semuanya harus dibakar. Yana, suami Atty, memotret pembakaran itu. "Supaya tak ada tuduhan, kami yang membakarnya," kata Yana.
Protes kalangan seniman Bandung diungkapkan, antara lain, dengan memasang sejumlah spanduk di sekitar bangkai perahu. Di satu sisi perahu, misalnya, tampak serentang kain hijau bertulisan "Inna lillahi wa inna ilaihi roji'un" dalam aksara Arab. Bagi Tisna, ini preseden buruk bagi pengembangan kreativitas seniman. Dalam hal ini, penguasa seolah ingin menunjukkan kekuatan dan kekuasannya. Jika seniman membuat karya yang tak sesuai dengan hati penguasa, nasibnya akan sama dengan perahu Tisna.
Itu terlihat, kata Tisna, dari pembakaran yang dilakukan secara terbuka dan dipertontonkan di tengah jalan sehingga menebar ketakutan. Mestinya, kalau karya itu dianggap sampah, ya, cukup diangkut saja. Tisna menduga, pembakaran itu berkait dengan dua karyanya yang dipajang melengkapi perahu. Karya itu berupa anyaman bambu 2 x 1 meter. Satu anyaman bertulisan "Toilet for Interfet: kencing US$ 250, berak US$ 300..." Nah, teks satunya berbunyi "WC untuk ABRI: kencing Rp 250, berak Rp 300...".
Aksi pembakaran ini mengingatkan orang pada tipologi penguasa Orde Baru sebelum reformasi bergulir. Pengekangan kreativitas seni ditunjukkan dengan pelarangan dan pembatalan sepihak dari aparat keamanan terhadap sejumlah pementasan teater, baca puisi, atau sekadar orang yang mau bernyanyi. N. Riantiarno dan Teater Koma-nya kenyang betul dengan penelikungan penguasa seperti itu. Hal yang sama dialami W.S. Rendra, Iwan Fals, dan banyak lagi seniman yang berani mengkritik kekuasaan.
Pada zaman reformasi ini, Tisna mencoba menawar pengekangan itu dengan melaporkan pembakaran karyanya ke polisi, Selasa pekan lalu. Ia menyerahkan sepenuhnya ke polisi untuk mengusut siapa pelaku dan pihak yang ada di belakangnya. Semua harus diusut tuntas, "Agar ada pembelajaran dari situ," kata Tisna.
Dwi Wiyana, Rana Akbari, Bobby Gunawan (Bandung)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo