Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Tisna Sanjaya: Alasan itu Sangat Naif

22 Februari 2004 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PERUPA Tisna Sanjaya, 46 tahun, berlari-lari di halaman bekas rumah makan Babakan Siliwangi, Bandung, Rabu sore pekan lalu. Mengenakan celana pendek hitam, kaus hitam bertulisan "Viking Persib Club", dan diselubungi jaket blue jeans, seniman berambut gondrong itu terlihat terampil menggojek bola. Belum lama bermain, ponselnya berdering. Ayah empat anak itu segera meninggalkan lapangan.

Selama sekitar 10 menit, ia terdengar ber-cas-cis-cus dengan lawan bicaranya. Tak jelas apa yang dibicarakan. "Saya butuh refreshing," ujarnya kepada Dwi Wiyana dari TEMPO, usai menutup telepon. Ditemui di sebuah rumah panggung di sekitar lokasi, dosen Fakultas Seni Rupa dan Desain ITB itu memberikan keterangan seputar pembakaran karyanya, Special Prayer for the Death.

Bagaimana perasaan Anda dengan pembakaran ini?

Saya sedih sekali. Sebab, proses pembuatan karya tersebut sangat panjang. Meski idenya dari saya, pembuatannya melibatkan keluarga, teman, dan tetangga. Bahkan istri dan anak saya sangat akrab dan senang melihat perahu tersebut. Kami membuat karya itu di rumah, di Jalan Sersan Bajuri, Ledeng, Bandung Utara. Bahannya dari anyaman bambu yang diraut. Kemudian ada doa tahlil untuk orang mati tujuh hari tujuh malam, dan sebagainya.

Berapa lama waktu yang Anda butuhkan untuk merampungkan karya itu?

Sebenarnya itu ada beberapa karya. Saya membuatnya sejak 1998, dan terus berproses. Saya menemukan ini, dipadu dengan itu, dan seterusnya. Bahannya dari benda-benda yang akrab (dengan keseharian). Misalnya, selain ada bambu yang dianyam, saya menemukan kecrik (jala—Red.) dan bilik, lalu saya pasang. Jadi, ini seni instalasi kehidupan sehari-hari.

Lalu kapan karya tersebut selesai dan utuh?

Tahun 2003, saat dipamerkan di Galeri Lontar, Jakarta. Utuh itu artinya ada perahu, ada orang yang terbalik, ada doa-doanya, ada screen dari fiberglass (tanpa teks). Secara keseluruhan, maknanya adalah sebuah doa. Perahu ini doa untuk korban kekerasan, perang, dan sebagainya. Sebab itu judulnya Special Prayer for the Death.

Ketika perahu dibakar, Anda di mana?

Saya dikasih tahu lewat telepon oleh teman Aji, sekitar pukul tujuh malam. Saat itu saya sedang berkumpul dengan keluarga di rumah. Begitu tahu, ya, saya langsung ke sini (Babakan Siliwangi—Red.) dan melihat semuanya sudah menjadi abu. Saya sedih sekali, kok karya seni yang dibikin serius tiba-tiba dibakar hangus.

Karya itu sudah dipamerkan di mana saja?

Sejak 1998, selain di Indonesia, karya itu sudah dipamerkan keliling, seperti di Australia, Jepang, Belanda, dan Jerman. Di Jerman bahkan dipamerkan di Museum Ludwig, Aachen, sebuah museum yang sangat prestisius. Saya diundang ke sana selama satu setengah bulan khusus untuk karya itu….

Omong-omong, karya seni apa saja yang mendampingi perahu yang dibakar?

Semuanya ada tujuh karya, yakni satu perahu, orang yang terbalik, ada patung kepala dari bambu yang besar, lesung, teks dua buah, lalu di bawahnya ada lukisan besar 7 x 14 meter. Lukisan kain kanvas bercampur plastik itu merespons puisi yang dibacakan saat Harry Roesli main musik, teman-teman penyair baca puisi, dan saya melukis di sini.

Kabarnya, ada yang tersinggung oleh teks pada karya itu. Apa, sih, isinya?

Lengkapnya begini: (Tisna menggambar di balik sehelai foto) ada dua anyaman bambu berdiri, warnanya putih, dengan pigura kuning, ukurannya 2 x 1 meter. Satu bertulisan "Toilet for Interfet: kencing US$ 250, berak US$ 300", dan seterusnya. Nah, teks satunya berbunyi "WC untuk ABRI: kencing Rp 250, berak Rp 300", dan seterusnya.

Bisa dijelaskan makna simbolis karya itu?

Saya melihat bahwa militer, baik di Indonesia maupun internasional, selalu saja menghabiskan dana untuk perang dan kekerasan. Bayangkan, kalau uang sekian banyak itu dibikin toilet, dapat berapa? Nah, kenapa dipilih Interfet, ya, karena dibikinnya saat agresi di Timor Timur.

Kenapa karya itu bisa dipamerkan di Taman Babakan Siliwangi?

Saya diundang oleh Rahmat Jabaril dari Komunitas Gerbong Bawah Tanah, yang sedang membikin refleksi akhir tahun, pada 26 Desember 2003 lalu, di sini.

Menurut Satpol PP, karya Anda dianggap sampah….

Itu alasan yang sangat naif. Sebab, dari bentuknya saja kelihatan bahwa itu karya seni. Sedangkan di sini banyak sekali sampah betulan, tapi tak diapa-apakan. n

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus