Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Hendro Wiyanto
DI belantara Jakarta yang kasar dan kumuh, Marida Nasution, 48 tahun, masih menemukan sisa warna biru yang sayup, puitis, luas tanpa batas. Ia mengangkat tema warna itu untuk merambah pemaknaan bagi karya grafis dan instalasinya. Sejak 1994, lulusan seni grafis Institut Kesenian Jakarta (1981) ini berupaya memadukan dua medium artistik itu untuk meluaskan tafsir karyanya.
Pameran tunggalnya kelima di Museum Nasional Jakarta, Opera Biru/Renjana (6-13 Februari), menampilkan sekitar 30 karya grafis (1991-2004) dan satu karya instalasi terbaru. Bersama sedikit perupa—Setiawan Sabana, F.X. Harsono, juga Tisna Sanjaya, misalnya—Marida menempatkan diri pada kemungkinan penjelajahan medium artistik seni grafis (dwimatra) ke penjelajahan tematik ruang instalasi (trimatra).
Marida tertarik pada wajah orang-orang kecil. Perhatiannya terhadap kekerasan hidup mereka sudah kentara sedini karya cetak saringnya, Yang Terlupakan (1991). Ia memindahkan foto sudut kota: rumah-rumah sederhana beratap genting yang muram, dengan seraut "jendela" kehidupan anak-anak di antara timbunan sampah. Langit biru kelam menaungi pemandangan itu.
Marida bekerja dengan bermacam teknis grafis—cetak saring, etsa, akuatin—yang menghasilkan efek torehan, warna, dan barik berbeda. Yang paling ditekuninya: cetak saring berwarna. Teknik ini mulai muncul pada karya seniman pop Amerika dekade 1960. Inilah tanda peralihan dari wacana "produksi" menjadi "reproduksi" dalam seni rupa.
Melalui cetak saring, masuklah unsur foto dan gambar ke seni lukis; pada saat itu "aura" seni pun dianggap terpental keluar. Teknik ini mengubah bidang lukisan yang ilusif menjadi mirip hasil cetakan yang datar (flatbed). Contohnya adalah karya-karya cetak saring Robert Rauschenberg. Dalam pameran ini tampak satu karya grafis Marida—entah dengan alasan apa—bertema perempuan bersolek memindahkan seutuhnya ide karya Rauschenberg, Persimmon (1964).
Melalui teknik reproduksi dalam seni grafis, Marida memindahkan citra dalam foto setelah mempelajari kedalaman emosi subyek-subyek karyanya. Marida bekerja dengan empati subyektifnya. Karya cetak saringnya, Mimpi II (2004), menandai kecenderungan itu. Karya ini menampilkan raut wajah keramikus (alm.) Hilda Sidharta di sebuah bidang berlatar pemandangan alam serta retakan-retakan kotor di latar depan.
Mengikuti dorongan empatinya terhadap sosok manusia, Marida menampilkan tema kategori dan warna emosi dalam karya instalasi ruang, Opera Biru/Renjana. Karya ini tampak berupaya menyusuri hubungan maknawi yang lebih kompleks antara kehidupan emosi dan struktur kedalaman ruang yang dapat dibayangkan oleh karya seni. Perubahan emosi yang tak terduga pada manusia disebutnya mirip "opera".
Empat patung realis (gabungan badan manekin dan kepala patung yang dibuatnya sendiri) dengan empat kategori emosi menunjukkan Marida ingin melampaui sebuah citraan dengan representasi yang dekat dengan kehidupan dalam ruang. Inilah perkembangan yang masih menarik pada karyanya. Tiga patung menampilkan mimik sedih, cinta, dan gembira terus berputar di atas kursi. Pada level tertinggi, Marida menempatkan patung laki-laki, sedikit terpiuh—tanpa berputar—dalam ekspresi marah.
Tirai-tirai kain kelambu biru sepanjang 4,5 meter yang dipasang berlapis dari atas ke bawah mengesankan nuansa mimpi. Kualitas mimpi inilah bobot paling menarik hampir pada semua karya Marida. Susunan rampak yang lembut ini bertaut dengan citra air atau biru langit yang terhampar dari bawah, tergambar pada kotak-kotak terbungkus seng yang berfungsi sebagai alas panggung yang rendah, menuntun kita ke bagian belakang, tempat sepasang panel papan berlapis seng berukuran masing-masing empat meter membaurkan berbagai ekspresi wajah orang kecil. Di sini kita seakan menemukan realitas emosi yang tidak lagi tunggal, tapi silih berganti dan berbaur.
Upaya pemerian makna pada unsur warna adalah sesuatu yang lazim dilakukan perupa. Tapi menampilkannya dalam hubungan antara kehidupan psikis dan identitas ruang tentunya mencuatkan problem representasi maupun estetik yang lebih rumit. Apakah Marida menganggap tekanan ruang di sekitar kitalah yang menjadikan seakan-akan kita cuma memiliki sebuah warna dominan emosi tertentu? Atau kehidupan emosi yang banal adalah residu dari impian-impian estetis kita yang kian jauh?
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo