ADA yang berubah dalam susunan redaksi majalah ini. Di belakang nama Fikri Jufri, pemimpin umum, ada tambahan kata ”non-aktif”. Ada apa dengan FJ (begitu pendiri TEMPO ini biasa disapa)? Tak ada apa-apa. FJ tidak kurang suatu apa jua dan bahkan pada waktu mendatang ini akan lebih sering bepergian ke daerah. FJ dicalonkan oleh Partai Perhimpunan Indonesia Baru (PIB) untuk menjadi anggota parlemen RI dari wilayah Jawa Tengah Satu (Semarang, Salatiga, dan sekitarnya). Wartawan sejak 1967 ini—dia pernah bekerja di Harian KAMI, Pedoman, dan majalah Ekspres—dikenal luas pergaulannya. Jebolan Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia ini sampai sekarang masih tercatat sebagai salah satu Ketua Forum Komunikasi Kesatuan Bangsa—forum yang memperjuangkan persatuan antar-etnis. Mungkin karena itulah PIB ”melamar”-nya.
Yang juga ”non-aktif” adalah Wahyu Muryadi, redaktur pelaksana. Jebolan Fakultas Ekonomi Universitas Airlangga itu dicalonkan Partai Kebangkitan Bangsa sebagai calon anggota legislatif untuk wilayah Banten Satu (Banten, Serang, Lebak, Pandeglang, Cilegon). Sebenarnya, dua pekan sebelum menjadi calon anggota parlemen, Wahyu, arek Suroboyo berusia 40 tahun, kepala protokol Istana zaman Presiden Abdurrahman Wahid ini, kami promosikan sebagai Redaktur Eksekutif Tempo Newsroom dan Tempo Interaktif.
Kenapa harus non-aktif? Bagi kami, urusan calon anggota legislatif ini memang dilematis. Di satu sisi, kami ingin menyumbangkan tenaga-tenaga terbaik untuk mengisi pos yang menentukan sebagian jalannya demokrasi kita itu—ketimbang dijejali oleh para politikus ”busuk”. Tapi di sisi lain kami juga sadar bahwa independensi majalah ini juga merupakan sesuatu yang tidak bisa ditawar-tawar. Kami yakin kedua wartawan TEMPO itu tidak akan memakai majalah ini untuk mengkampanyekan partainya, seraya menohok partai lawannya. Tapi, demi menjaga kemandirian pemberitaan, termasuk terhadap Partai Perhimpunan Indonesia Baru dan Partai Kebangkitan Bangsa, kami sepakat membebaskan keduanya dari segala pekerjaan yang bersangkut paut dengan pemberitaan.
Wahyu Muryadi, selama masa menunggu kepastian jadi masuk Senayan atau tidak, akan diberi tugas sebagai Kepala Pusat Data dan Analisa Tempo—mengurusi proyek non-berita, seperti menyiapkan buku panduan masuk perguruan tinggi. Sedangkan FJ kami bebaskan dari kewajiban memberikan evaluasi atas pemberitaan di grup TEMPO.
Jika kelak keduanya benar-benar memenangi kursi parlemen, kami merelakan keduanya seratus persen bertugas di Senayan.
Yang juga berubah adalah posisi Redaktur Eksekutif. Pos yang sebelumnya dijabat Leila S. Chudori itu kini dijabat oleh S. Malela Mahargasarie, yang sebelumnya menjabat Redaktur Eksekutif Koran Tempo. Leila mendapat tugas penting sebagai redaktur senior: membimbing para wartawan yang bersiap menjadi redaktur dan redaktur utama, sekaligus melakukan evaluasi terhadap tulisan para calon redaktur itu.
S. Malela, lulusan Seni Rupa ITB, selain menyiapkan isi majalah ini setiap pekan, juga ditugasi ”mempercantik” penampilan desain dan visual majalah ini. Posisi S. Malela di Koran Tempo digantikan oleh Diah Purnomowati, lulusan Institut Pertanian Bogor, yang menjadi redaktur eksekutif perempuan yang pertama di Koran Tempo.
Dengan rotasi yang rutin, dan dengan kesadaran menjaga kemandirian ini, kami mencoba terus mempertahankan semboyan ”enak dibaca dan perlu”.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini