INILAH Bedjo, yang pernah menyandang julukan "Macan Perang".
Lelaki ini, dengan gurat otot kekar dan berkulit hitam legam, di
masa perang kemerdekaan terkenal sebagai salah seorang pemimpin
pasukan yang amat gigih melawan Belanda di hutan-hutan Sumatera.
Ketika ia diduga telah mati tertembak, ternyata peluru hanya
merobek pakaiannya. Ketika pejuang lain meneriakkan yel merdeka
atau mati, si "Macan Perang" ini memerintahkan anak buahnya
memekikkan: merdeka dan menang.
Tokoh ini oleh Almarhum Bung Hatta disejajarkan dengan tokoh
gerilyawan Italia, Garibaldi. Dan Sastrawan Sitor Situmorang
pernah mengungkapkan keberanian Bedjo lewat tokoh utama dalam
novel pendek yang telah dibukukan, "Pertempuran dan Salju di
Paris". Kini pensiunan dengan pangkat brigadir jenderal itu
hidup sebagai peternak ayam aduan. Di rumahnya, Jalan Rajawali,
Jakarta Pusat, ayam jantan yang biasa disebt ayam bangkok
ditaruh berjejer di halaman, di dalam kurungan. "Ayam adalah
lambang kejantanan. Karena naluri perang saya masih ada,"
katanya. Tapi sekarang naluri itu disalurkan dengan menonton
film perang atau silat di video, di kamar tamunya yang
sederhana. Dengan semangat yang tetap menyala, Bedjo, 64,
menonton pertandingan sepak bola PSMS melawan Persib kan lalu.
Di stadion yang gegap gempita itu, ia berteriak-teriak mendukung
pemain Medan. "Kalau tidak di sana, mana bisa saya
berteriak-teriak sekeras-kerasnya," katanya.
Kisah perjuangannya tidak sependek namanya. Laki-laki kelahiran
Desa Tanjung Mulia, Pulau Berayan, Medan, ini.mempunyai kakek
dan nenek yang berasal dari Kutoarjo Jawa Tengah. "Saya ini
orang pujakesuma," katanya berkelakar. Maksudnya, putra Jawa
kelahiran Sumatera. Di Desa Tanjung Mulia ia menamatkan sekolah
dasar (HIS). Kemudian meneruskan di sekolah teknik pertama di
Medan. Selesai di sekolah teknik, Bedjo kembali ke desanya,
belajar agama Islam di sebuah pesantren kecil. Belum sampai
setahun di pesantren, anak bungsu dari lima bersaudara ini
mendapat pekerjaan di perkebunan kelapa sawit Labuan Bilik.
"Saya bekerja sebagai tukang kikir," katanya - sesuai dengan
sekolahnya.
Bedjo mengakhiri masa lajangnya dengan mempersunting Saniyem,
April 1942. Pernikahan ini ditandai dengan berita akan masuknya
Jepang ke Sumatera. Belanda memerintahkan para pemuda mengadakan
perlawanan. Bedjo termasuk yang menolak perintah Belanda itu.
Tapi, bersama kawan-kawannya, ia memindahkan bengkel mobil
tempat mereka bekerja dari Medan ke Pematangsiantar. Maksudnya,
agar tidak dirampas Jepang. Dalam perjalanan memindahkan bengkel
ini, Bedjo bentrok dengan seorang tentara Belanda. Ia melawan
dan tentara Belanda itu kalah berkelahi. Bedjo merampas senjata
Mauser yang dibawa Belanda itu. Itulah pertama kali Bedjo
mengenal senjata api.
Ketika Jepang berkuasa, Bedjo semakin dekat dengan senjata.
Apalagi kemudian ia sempat bekerja di bengkel kendaraan Jepang
di Medan yang juga menerima perbaikan senjata. "Di sini saya
banyak belajar tentang persenjataan," ujarnya. Jepang menaruh
perhatian besar pada keterampilan Bedjo. Bahkan ia diberi nama
Jepang, Jito Saicho Kojo. Bedjo sendiri tak tahu arti nama
pemberian itu.
Sewaktu belum menikah, Bedjo memang sudah menghimpunkan beberapa
pemuda. Maka, setelah proklamasi kemerdekaan, ia sudah berada
dalam posisi pimpinan. Sudah terhimpun tak kurang dari 500
pemuda yang tinggal menunggu perintah. "Pada saat proklamasi di
Jakarta, anak pertama saya lahir, Sumiati namanya," katanya.
Belanda datang, kembali menguasai Medan. Bersama Hokman Sitompul
dan Achmad Tahir (kini Menteri Pariwisata, Pos, dan
Telekomunikasi), Bedjo membulatkan tekad perjuangannya. "Hokman
dan Achmad Tahir kembali ke BKR, sedang saya tetap di BPRI
(Barisan Pemuda RI), yang akhirnya berganti nama menjadi
Napindo," ujar Bedjo.
Pertengahan 1946, Bedjo dipanggil panglima Komandan Sumatera.
"Saya dibujuk untuk menjadi tentara. Tapi waktu itu saya tak
bisa memberi jawaban. Saya belum berunding dengan kawan
seperjuangan di Napindo," tuturnya mengenan. Ia kembali ke
barisan pemuda pejuang. Tahun 1947 Bedjo dipanggil lagi ke
markas TRI Divisi 10 di Jambi menemui Mayor Jenderal Sutopo.
Dengan menyebut sebagai perintah Panglima Besar Soedirman dan
direstui Bung Karno, Sutopo berhasil membujuk Bedjo menjadi
tentara. "Setelah saya menerima tawaran itu saya langsung diberi
pangkat mayor," tuturnya. Kawasan Sumatera kemudian dibagi
menjadi dua STB (Stoot Tropen Brigade). "Saya diberi kepercayaan
memimpin STB B dengan wilayah Andalas (Sumatera) Utara,"
katanya.
Mulai tahun 1947 itu, dengan pangkat mayor, Bedjo memimpin
perlawanan secara legendaris. Ia bergerak di hutan-hutan,
menerobos kota yang dikuasai Belanda secara tiba-tiba. Anak
buahnya begitu tercengang ketika di bukit antara Pematangsiantar
dan Parapat, tempat Mayor Bedjo diperkirakan sudah tewas, tokoh
ini muncul. Bajunya jelas tertembus peluru, tetapi tubuhnya tak
terluka sedikit pun. Kebalkah dia?
"Saya selalu berserah diri pada kekuasaan Tuhan. Kalau Allah
menghendaki saya hidup, saya tetap hidup, meski diberondong
peluru," katanya dengan nada rendah. "Atas kebesaran Allah juga,
saya banyak menolong anak buah yang hanyut di sungai, padahal
sampai sekarang saya tak bisa berenang," tuturnya. Dalam keadaan
kritis di pertempuran, Mayor Bedjo selalu berdoa. "Janganlah
kamu berlindung di balik batu atau kayu, tetapi berlindunglah
atas nama Tuhanmu. Ini prinsip yang saya pegang," ceritanya.
Sampai sekarang, ada sebuah bukit antara Pematangsiantar dan
Parapat yang diberi nama Bukit Bedjo.
Saat paling berkesan bagi Bedjo adalah ketika ia ikut
menandatangani genjatan senjata sebagai realisasi Perjanjian
Renville. Dan yang membahagiakannya, hampir dalam tiap
pertempuran istrinya, Saniyem, ikut serta. Saniyem pernah
ditangkap dan disiksa Belanda dalam usaha mematahkan perlawanan
Bedjo. Tapi, sampai saat dibebaskan, wanita ini tidak pernah
mengkhianati perjuangan. Karena itu, Saniyem - yang sampai
sekarang tetap setia mendampingi suaminya - kini berstatus
pensiunan letnan.
Jabatan terakhir Mayor Bedjo di Sumatera adalah komandan Sektor
I Subteritorium VII yang membawahkan 13 batalyon, pada 1949.
Pada 1950 Mayor Bedjo ditarik ke Jakarta, di MBAD. Tak lama
nongkrong di staf, ia kembali dikirim berperang, menumpas DI/TII
di wilayah Cirebon. Pada 1957 sekali lagi ia harus mengangkat
senjata menumpas gerombolan PRRI di Pakanbaru. Sebelum ia
terjun, pangkatnya dinaikkan menjadi letnan kolonel.
Pulang dari menumpas PRRI, tahun 1959, Letnan Kolonel Bedjo
mengikuti sekolah staf dan komando di Bandung. Setahun kemudian
ia menjadi kolonel. Terakhir ia Asisten Sekretaris Militer
Presiden sampai dipensiunkan tahun 1969 dengan pangkat brigadir
jenderal.
Hari tuanya sekarang diisi dengan berbagai kegiatan, antara lain
aktif di Kosgoro. Untuk menambah uang pensiun ia beternak ayam
bangkok. Setiap hari puluhan ayam bangkok jantan ia elus satu
per satu. Sesekali, penggemar ayam aduan datang membeli.
Ayah sembilan anak (lima putri & empat putra) dan kakek 19 cucu
ini hidup sederhana. Rumahnya jauh dari kesan mewah. "Waktu
perang dulu, Bapak pernah berjanji, jika perang selesai akan
membangun rumah bagus. Jika saya mengingatkan janji itu, kami
akhirnya sama-sama ketawa," kata Nyonya Bedjo sambil tersenyum.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini