Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sosok

Mayor bedjo, si pujakesuma

Kisah perjuangan brigjen (purn) bedjo, yang di masa perang kemerdekaan terkenal sebagai salah seorang pemimpin pasukan yang gigih melawan belanda di hutan-hutan sumatra. (tk)

19 November 1983 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

INILAH Bedjo, yang pernah menyandang julukan "Macan Perang". Lelaki ini, dengan gurat otot kekar dan berkulit hitam legam, di masa perang kemerdekaan terkenal sebagai salah seorang pemimpin pasukan yang amat gigih melawan Belanda di hutan-hutan Sumatera. Ketika ia diduga telah mati tertembak, ternyata peluru hanya merobek pakaiannya. Ketika pejuang lain meneriakkan yel merdeka atau mati, si "Macan Perang" ini memerintahkan anak buahnya memekikkan: merdeka dan menang. Tokoh ini oleh Almarhum Bung Hatta disejajarkan dengan tokoh gerilyawan Italia, Garibaldi. Dan Sastrawan Sitor Situmorang pernah mengungkapkan keberanian Bedjo lewat tokoh utama dalam novel pendek yang telah dibukukan, "Pertempuran dan Salju di Paris". Kini pensiunan dengan pangkat brigadir jenderal itu hidup sebagai peternak ayam aduan. Di rumahnya, Jalan Rajawali, Jakarta Pusat, ayam jantan yang biasa disebt ayam bangkok ditaruh berjejer di halaman, di dalam kurungan. "Ayam adalah lambang kejantanan. Karena naluri perang saya masih ada," katanya. Tapi sekarang naluri itu disalurkan dengan menonton film perang atau silat di video, di kamar tamunya yang sederhana. Dengan semangat yang tetap menyala, Bedjo, 64, menonton pertandingan sepak bola PSMS melawan Persib kan lalu. Di stadion yang gegap gempita itu, ia berteriak-teriak mendukung pemain Medan. "Kalau tidak di sana, mana bisa saya berteriak-teriak sekeras-kerasnya," katanya. Kisah perjuangannya tidak sependek namanya. Laki-laki kelahiran Desa Tanjung Mulia, Pulau Berayan, Medan, ini.mempunyai kakek dan nenek yang berasal dari Kutoarjo Jawa Tengah. "Saya ini orang pujakesuma," katanya berkelakar. Maksudnya, putra Jawa kelahiran Sumatera. Di Desa Tanjung Mulia ia menamatkan sekolah dasar (HIS). Kemudian meneruskan di sekolah teknik pertama di Medan. Selesai di sekolah teknik, Bedjo kembali ke desanya, belajar agama Islam di sebuah pesantren kecil. Belum sampai setahun di pesantren, anak bungsu dari lima bersaudara ini mendapat pekerjaan di perkebunan kelapa sawit Labuan Bilik. "Saya bekerja sebagai tukang kikir," katanya - sesuai dengan sekolahnya. Bedjo mengakhiri masa lajangnya dengan mempersunting Saniyem, April 1942. Pernikahan ini ditandai dengan berita akan masuknya Jepang ke Sumatera. Belanda memerintahkan para pemuda mengadakan perlawanan. Bedjo termasuk yang menolak perintah Belanda itu. Tapi, bersama kawan-kawannya, ia memindahkan bengkel mobil tempat mereka bekerja dari Medan ke Pematangsiantar. Maksudnya, agar tidak dirampas Jepang. Dalam perjalanan memindahkan bengkel ini, Bedjo bentrok dengan seorang tentara Belanda. Ia melawan dan tentara Belanda itu kalah berkelahi. Bedjo merampas senjata Mauser yang dibawa Belanda itu. Itulah pertama kali Bedjo mengenal senjata api. Ketika Jepang berkuasa, Bedjo semakin dekat dengan senjata. Apalagi kemudian ia sempat bekerja di bengkel kendaraan Jepang di Medan yang juga menerima perbaikan senjata. "Di sini saya banyak belajar tentang persenjataan," ujarnya. Jepang menaruh perhatian besar pada keterampilan Bedjo. Bahkan ia diberi nama Jepang, Jito Saicho Kojo. Bedjo sendiri tak tahu arti nama pemberian itu. Sewaktu belum menikah, Bedjo memang sudah menghimpunkan beberapa pemuda. Maka, setelah proklamasi kemerdekaan, ia sudah berada dalam posisi pimpinan. Sudah terhimpun tak kurang dari 500 pemuda yang tinggal menunggu perintah. "Pada saat proklamasi di Jakarta, anak pertama saya lahir, Sumiati namanya," katanya. Belanda datang, kembali menguasai Medan. Bersama Hokman Sitompul dan Achmad Tahir (kini Menteri Pariwisata, Pos, dan Telekomunikasi), Bedjo membulatkan tekad perjuangannya. "Hokman dan Achmad Tahir kembali ke BKR, sedang saya tetap di BPRI (Barisan Pemuda RI), yang akhirnya berganti nama menjadi Napindo," ujar Bedjo. Pertengahan 1946, Bedjo dipanggil panglima Komandan Sumatera. "Saya dibujuk untuk menjadi tentara. Tapi waktu itu saya tak bisa memberi jawaban. Saya belum berunding dengan kawan seperjuangan di Napindo," tuturnya mengenan. Ia kembali ke barisan pemuda pejuang. Tahun 1947 Bedjo dipanggil lagi ke markas TRI Divisi 10 di Jambi menemui Mayor Jenderal Sutopo. Dengan menyebut sebagai perintah Panglima Besar Soedirman dan direstui Bung Karno, Sutopo berhasil membujuk Bedjo menjadi tentara. "Setelah saya menerima tawaran itu saya langsung diberi pangkat mayor," tuturnya. Kawasan Sumatera kemudian dibagi menjadi dua STB (Stoot Tropen Brigade). "Saya diberi kepercayaan memimpin STB B dengan wilayah Andalas (Sumatera) Utara," katanya. Mulai tahun 1947 itu, dengan pangkat mayor, Bedjo memimpin perlawanan secara legendaris. Ia bergerak di hutan-hutan, menerobos kota yang dikuasai Belanda secara tiba-tiba. Anak buahnya begitu tercengang ketika di bukit antara Pematangsiantar dan Parapat, tempat Mayor Bedjo diperkirakan sudah tewas, tokoh ini muncul. Bajunya jelas tertembus peluru, tetapi tubuhnya tak terluka sedikit pun. Kebalkah dia? "Saya selalu berserah diri pada kekuasaan Tuhan. Kalau Allah menghendaki saya hidup, saya tetap hidup, meski diberondong peluru," katanya dengan nada rendah. "Atas kebesaran Allah juga, saya banyak menolong anak buah yang hanyut di sungai, padahal sampai sekarang saya tak bisa berenang," tuturnya. Dalam keadaan kritis di pertempuran, Mayor Bedjo selalu berdoa. "Janganlah kamu berlindung di balik batu atau kayu, tetapi berlindunglah atas nama Tuhanmu. Ini prinsip yang saya pegang," ceritanya. Sampai sekarang, ada sebuah bukit antara Pematangsiantar dan Parapat yang diberi nama Bukit Bedjo. Saat paling berkesan bagi Bedjo adalah ketika ia ikut menandatangani genjatan senjata sebagai realisasi Perjanjian Renville. Dan yang membahagiakannya, hampir dalam tiap pertempuran istrinya, Saniyem, ikut serta. Saniyem pernah ditangkap dan disiksa Belanda dalam usaha mematahkan perlawanan Bedjo. Tapi, sampai saat dibebaskan, wanita ini tidak pernah mengkhianati perjuangan. Karena itu, Saniyem - yang sampai sekarang tetap setia mendampingi suaminya - kini berstatus pensiunan letnan. Jabatan terakhir Mayor Bedjo di Sumatera adalah komandan Sektor I Subteritorium VII yang membawahkan 13 batalyon, pada 1949. Pada 1950 Mayor Bedjo ditarik ke Jakarta, di MBAD. Tak lama nongkrong di staf, ia kembali dikirim berperang, menumpas DI/TII di wilayah Cirebon. Pada 1957 sekali lagi ia harus mengangkat senjata menumpas gerombolan PRRI di Pakanbaru. Sebelum ia terjun, pangkatnya dinaikkan menjadi letnan kolonel. Pulang dari menumpas PRRI, tahun 1959, Letnan Kolonel Bedjo mengikuti sekolah staf dan komando di Bandung. Setahun kemudian ia menjadi kolonel. Terakhir ia Asisten Sekretaris Militer Presiden sampai dipensiunkan tahun 1969 dengan pangkat brigadir jenderal. Hari tuanya sekarang diisi dengan berbagai kegiatan, antara lain aktif di Kosgoro. Untuk menambah uang pensiun ia beternak ayam bangkok. Setiap hari puluhan ayam bangkok jantan ia elus satu per satu. Sesekali, penggemar ayam aduan datang membeli. Ayah sembilan anak (lima putri & empat putra) dan kakek 19 cucu ini hidup sederhana. Rumahnya jauh dari kesan mewah. "Waktu perang dulu, Bapak pernah berjanji, jika perang selesai akan membangun rumah bagus. Jika saya mengingatkan janji itu, kami akhirnya sama-sama ketawa," kata Nyonya Bedjo sambil tersenyum.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus