PARA penerbit buku semakin resah. Dua minggu lalu, mereka
berbondong-bondong ke Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta mengadukan
masalah pembajakan buku-buku mereka. Menurut Rozali Usman, S.H.,
ketua Ikapi (Ikatan Penerbit Indonesia) Pusat, paling tidak
sekitar 15 penerbit menjadi korban pembajakan buku.
Buku-buku yang dibajak cukup banyak ragamnya. Mulai dari buku
pelajaran umum, seperti PMP (Pendidikan Moral Pancasila),
Matematika, IPS (Ilmu Pengetahuan Sosial), hingga buku
pengetahuan ilmiah populer. Bahkan ada pula buku agama.
Buku-buku itu ternyata sempat beredar pula di Malaysia dan
Singapura.
Pusat pembajakan buku, menurut Adisubrata, direktur PT Gramedia,
berada di Medan. "Ada sekitar 250 judul buku yang dibajak di
kota itu, dan semuanya buku yang telah mengalami cetak ulang
beberapa kali," katanya. Ia juga mengeluh karena buku-buku
terbitannya dibajak di Medan sejak dua tahun lalu. "Ada tiga
judul buku Gramedia yang dibajak. Semuanya sudah mengalami cetak
ulang lima sampai tujuh kali," kata Adisubrata tanpa menyebutkan
judul buku itu.
Beberapa kota lainnya, seperti Bandung,Solo, dan Surabaya,
ternyata juga menjadi pusat pembajakan. Buku Piramida Kurban
Manusia dan Dasar-dasar Akuntansi terbitan LP3ES, misalnya,
dibajak di Bandung. Bahkan pihak Balai Pustaka, penerbit tunggal
beberapa macam buku pelajaran umum memperkirakan 530.000 eks
buku PMP "liar" sempat beredar di Jawa Tengah dan Jawa Timur.
Bahkan mereka, pertengahan bulan lalu, sempat menggerebek sebuah
percetakan di Solo. Maka, Adisubrata menganggap, "masalah
pembajakan buku adalah masalah nasional, perusahaan-perusahaan
penerbitan buku bisa bangkrut karenanya."
Untuk mencetak buku bajakan memang tidak rumit. Terutama dengan
hadirnya sistem pencetakan offset. Dengan cara ini, baik gambar
maupun huruf mudah dijiplak. Tidak mengherankan kalau percetakan
mau menerima order buku bajakan. "Apalagi sekarang, zamannya
susah cari order," ujar Rozali Usman, yang juga menangani
penerbitan CV Remaja Karya.
Cara para pembajak memasarkan bukubuku itu lihai. "Seperti
Mafia," kata Adisubrata. Biasanya, mereka mencari toko buku
kecil. Di sana, mereka menawarkan buku-buku itu dengan harga
yang menggiurkan. "Bayankan," kata Adisubrata, "harga buku
bajakan bisa lebih murah 50%. Mereka 'kan tidak perlu
mengeluarkan biaya untuk pengarang, setting, dan pajak."
Sementara itu, membayangkan keuntungan besar, toko-toko buku mau
saja membeli buku bajakan itu. Sedang untuk menghilangkan jejak,
para pembajak memakai sistem pembayaran kontan tanpa kuitansi.
Selain itu, para pembajak tidak segan-segan menyalurkan hasil
"karya" mereka langsung lewat sekolah. Terutama buat buku
pelajaran umum. Juga dengan harga yang murah. "Guru-guru itu
mungkin tidak tahu bahwa buku tersebut palsu," kata Rozali
Usman. Buku-buku bajakan itu bentuknya persis sama. Hanya
mutunya berbeda karena mereka tidak ragu-ragu menggunakan kertas
koran untuk menggantikan kertas HVO atau HVS. Lagi pula,
"penjilidannya tidak rapi dan warnanya kurang tajam," kata
Adisubrata menambahkan.
Pembajakan buku ternyata dimungkinkan pula karena keterlambatan
para penerbit mengatasi kelangkaan buku-buku mereka yang
beredar. Misalnya, seperti yang dialami penerbit Balai Pustaka.
Sumber TEMPO di sana mengatakan bahwa pencetakan buku sangat
tergantung pada anggaran pemerintah. Sedang anggaran turun
bertahap. Sehingga, manakala persediaan buku habis dan anggaran
pemerintah belum tiba, masuklah para pembajak mengisi
kekosongan.
Kasus pembajakan yang sudah berlangsung 10 tahun ini tampaknya
sulit dihindari walau sekarang sudah ada UU nomor 6 tahun 1982
tentang hak cipta. Hukuman terberat atas setiap kasus pembajakan
adalah kurungan dan denda paling banyak Rp 5 juta. "Padahal,
keuntungan penerbit gelap itu bisa mencapai Rp 50 juta," kata
Rozali Usman mereka-reka. "Kalau terkena denda Rp 5 juta, ya
bayar saja. Toh masih ada untung Rp 4 juta ."
Sementara itu, kesulitan lain masih membayang. Para pembajak
ini, konon, sudah berbentuk sindikat. Lengkap dengan
backing-nya. Sehingga tak mengherankan lagi, kalau buku bajakan,
seperti kata Adisubrata, "beredar pula di Jakarta." Aswab
Mahasin, wakil direktur LP3ES, malah mensinyalir sindikat
pembajak juga meliputi percetakan dan pengedar.
Maka, ia pun lantas mengajukan usul untuk mengatasi masalah
pembajakan ini. "Perlu kesatuan penerbit dalam Ikapi," kata
Aswab, karena tindakan pemberantasan yang ada baru terbatas pada
"tuntutan penerbit individual, bukan aksi bersama." Sementara
itu, menurut Adisubrata, para penerbit tampaknya sepakat
membentuk "satgas (satuan tugas) yang melacak para pembajak."
Untuk itulah Ikapi, menurut Rozali Usman, bersama unsur
pengarang, ilustrator, dan toko buku, membentuk panitia
persiapan "Satuan Tugas Penanggulangan Pembajakan Buku". Mungkin
satgas ini nantinya bisa mengusir kekhawatiran Rozali Usman,
yang mengatakan, "Ada oknum yang sengaja melakukan subversi
lewat buku bajakan." Caranya, katanya, dengan "menyelipkan
kalimat-kalimat yang salah, misalnya dalam buku PMP."
Yang sudah terjadi adalah justru pengarangan. China: Tradition
and Transformation, karya John K. Fairbank dan Edwin Reischauer,
hanya dibajak sampai halaman 472. Padahal, buku aslinya jauh
lebih panjang (TEMPO, 21 November 1981).
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini