LEBIH dari seratus orang mengguncang daun pintu sel tahanan
polisi di RS Pirngadi, Medan, 8 November lalu. Rombongan yang
sedang marah itu berteriak-teriak, "Serahkan pembunuh itu . . .
biar kami bunuh!" Dua anggota polisi yang berjaga di sana hampir
menyerah andai kata tidak segera mendapat bantuan satu truk
polisi bersenjata.
Yang mereka sebut sebagai pembunuh, Tengku Tarmizi, 24,
diturunkan dari lantai dua rumah sakit itu dengan penjagaan
ketat. Dia dipindahkan ke RS Brimob, tak jauh dari rumah sakit
sebelumnya. Di tempat yang terakhir ini, pengawalan tak pernah
kendur. "Demi pengamanan saja. Kami khawatir Tarmizi dirajam
orang," kata komandan reserse kepolisian Medan, Mayor Drs.
Paimin A.B. kepada TEMPO.
Tengku Tarmizi alias Nonek dibekuk Tekab Medan, 7 November, dari
rumah pacarnya di Kualabekiun, 40 km dari Medan. Enam butir
peluru mendekam di paha kirinya, menghentikan perlawanannya.
Polisi memang sudah tiga hari melacak lajang kelahiran
Kualasimpang, Aceh Utara, itu dengan tuduhan berat: menumpas
sebuah keluarga. Sabtu, subuh 5 November lalu, Safii dan
istrinya, Siti Aminah (sedang hamil), serta satu-satunya anak
mereka, Juliani, 2, ditemukan mati dalam keadaan menyedihkan di
rumah mereka di Kelurahan Denai Pasar IV, Medan.
Ketiga mayat itu ditemukan bersimbah darah, tergeletak di tempat
tidur, dan tubuh mereka penuh bacokan. Leher Safii hampir putus.
Mulut Siti Aminah, 24, sobek sampai ke rahang dan giginya yang
rompal berserakan di tilam. Leher Juliani tercekik ikatan sarung
bantal - kepalanya juga penuh bacokan. Polisi menuduh Tarmizi
yang bertanggung jawab terhadap malapetaka yang menimpa keluarga
Safii itu.
Polisi memang punya cerita. Malam itu beberapa tetangganya
menonton televisi di rumah Safii, 24, yang pendiam dan selalu
membuka pintu rumahnya bagi siapa saja yang ingin menonton
televisinya. Setelah penonton lain pulang, begitu hasil
pengusutan polisi, Tarmizi masih ngobrol ke sana kemari dengan
tuan rumah.
Sampai Safii naik ke tempat tidur, Tarmizi tak beranjak dari
ruang tamu. Ia malah membeli minuman keras murahan dan
mereguknya sampai tandas. Puntung rokok yang memenuhi asbak
membuat polisi berkesimpulan, Tarmizi resah memikirkan apa yang
hendak dilakukannya.
Dan inilah yang dilakukannya, menurut penuturan polisi: Safii
dibangunkan dari tidurnya. Lalu, dengan mengamangkan golok,
Tarmizi meminta Safii agar menyerahkan surat sepeda motor Honda.
Begitu Safii menolak, Tarmizi menetak leher korbannya. Erang
Safii tak tertelan oleh ribut hujan deras di luar. Siti Aminah,
yang sedang hamil tiga bulan, terbangun. Tapi nyonya muda ini
malah tak sempat mengerang - mulutnya keburu kena hantam golok
Tarmizi. Juliani tak luput dari kekejaman Tarmizi.
"Dia menghabisi saksi-saksi sampai tuntas," ujar Mayor Paimin.
Untuk apa? Selesai menjagal, Tarmizi membongkar lemari, lalu
kabur dari sana membawa kendaraan yang diincar, lengkap dengan
surat-suratnya. Paginya, ia langsung menjual kendaraan itu
seharga Rp 300 ribu. Dengan uang itulah ia merencanakan
pernikahan dengan Marni.
Sudah lama Tarmizi berteman dengan Safii. Dalam sebulan
belakangan telah beberapa kali Tarmizi mengunjungi dan menginap
di rumah Safii. Maksudnya, cari kerja sebagai tukang perabot.
Safii sudah mengusahakan, tapi tak berhasil. Lalu Tarmizi
memesan tempat tidur, katanya sebagai persiapan kawin, yang akan
dibayarnya secara angsuran. Urusan jual beli itu gagal karena
Tarmizi ternyata tak mampu membayar sepeser pun.
Selama menginap di rumah temannya, Tarmizi menunjukkan perangai
yang aneh. Suatu ketika Safii memergoki tamunya itu menarik
kolor Siti Aminah. Memang tak sampai terjadi keributan karena
Safii memaafkan tingkah aneh temannya itu. Kepada polisi Tarmizi
mengaku, memang punya kebiasaan buruk: bila teler, karena
terlalu banyak menenggak minuman keras, ia suka menarik kolor
istri temannya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini