Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
NAMA saya Anton, Bastian, Candra... Zakarias.... Jose Rizal Manua mencerocoskan nama yang demikian panjang. Aktor senior ini memerankan tokoh Mas Joko, bujangan berumur 50 tahun yang ngebet kawin.
Ia mengenakan jas dan topi pet merah. Sebuah koper putih berisi bunga plastik merah-putih diseretnya ke mana-mana. Kepada penonton, seraya membeberkan ukuran beha istri-istri muda sahabat-sahabatnya, ia bercerita bermaksud memberikan bunga kepada seorang wanita di apartemen.
Inilah salah satu dari tiga naskah Remy Sylado, yang ditampilkan di Gedung Kesenian Jakarta, pekan lalu. Naskah lain Jalan Tamblong dan Sekuntum Melati Buat Rima. Semua adalah naskah tahun 1969-1980-an yang pernah dimainkan Remy sendiri.
Naskah memang khas Remy. Bertolak dari jalanan Bandung, kemudian dialog bertaburan kalimat cerdas dari soal linguistik sampai agama. Kalimat campur aduk bahasa Sunda, Jawa, Prancis. Wawasan Remy yang seluas kamus seolah dituangkan semua. Akibatnya seperti melantur ke mana-mana.
Tengok Sekuntum Melati. Ini kisah seorang lelaki umur 20-an (dimainkan Anang Dasoel), yang mencari alamat seorang mojang geulis bernama Rima yang ditemuinya di kereta. Sang lelaki tak sadar bahwa alamat yang diberikan adalah rumah seorang nenek (Renny Djajoesman) yang memiliki seekor anjing bernama Rima.
Duet panggung Renny dan Anang interaktif. Mereka secara encer mampu menghidupkan ”kegokilan” naskah Remy. Yang jadi soal, set sama sekali tidak mendukung. Di panggung hanya ada latar ornamentik yang mengesankan pintu. Sementara mereka mengandaikan duduk di halaman tapi properti kursi yang mereka pakai lebih cocok untuk ruang tamu.
Renny sesungguhnya bisa menjelma menjadi seorang sepuh yang ringkih. Seorang uzur yang bertabiat keparis-parisan. Justru kontras anak muda 20-an dan nenek itu bisa melahirkan komedi situasi. Kita, misalnya, bisa membandingkan dengan adegan sepasang suami-istri sepuh dalam drama Kursi-kursi karya Ionesco yang pernah dimainkan Rendra dan Ken Zuraida secara menakjubkan. Sepanjang pertunjukan perbedaan umur itu tak terasa. Vokal Renny cenderung selalu bernada tinggi, medhok Suroboyoan untuk melucu.
Persoalan melucu dari gerak-gerik bukan dari situasi yang disediakan naskah juga muncul pada Sammy Patti dan Herlina ketika memainkan Jalan Tamblong. Jalan ini adalah jalan terkenal di Bandung dari perempatan Asia Afrika-Lengkong sampai Sumatra-Lembong.
Drama Remy menceritakan seorang aktris teater yang malam hari bertemu dengan tukang pos di Jalan Tamblong. Ia membuktikan dirinya bukan pelacur. Ia hanya ingin mengambil surat salah koma yang telanjur dimasukkannya ke teromol pos.
Sang aktris kenes, mendemonstrasikan pengetahuannya tentang karakter-karakter tokoh Bernard Shaw, Eugene O’Neill, sampai Bertold Brecht. Sementara tukang pos mendedahkan wawasannya tentang camilan Bandung tempo doeloe sampai lagu The Beatles.
Setting untuk Jalan Tamblong juga terlalu bersahaja. Hanya geber bergambar perspektif sebuah jalan. Dan kemudian sebuah kotak pos. Terkesan asal-asalan, bukan minimalis. Bagaimanapun ujung tontonan cukup membuat tertawa.
”Hanya koma?” tukang pos itu heran.
”Ya,” jawab Rita. Ia menerangkan ingin mengajak pacarnya ke kebun binatang tapi menulisnya begini: Mari kita ke kebun, Binatang.
Malam itu Remy ingin menghadirkan sebuah tontonan musikal. Para aktor—dengan play back—menyanyikan lagu yang diciptakan dan dinyanyikan Remy, seperti Aku Ingin Tidur di Sebuah Dusta, Jika Aku Mati Muda, Serenade. Namun, karena bukan suara aktor sendiri, itu justru mengganggu. Juga saat adegan menyanyi itu penari-penari masuk memberikan ilustrasi. Penari-penari itu malah mirip operet kabaret perpisahan anak sekolah menengah atas.
Mungkin pada masanya, tahun 1970-an, naskah ini memang menggedor. Ugal-ugalan, binal, liar, sedikit-sedikit porno, tapi jujur. Penyiasatan panggung yang klise menjadikan mbeling itu kini tak sampai.
Seno Joko Suyono
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo