Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TANGAN Medea mengangkat tubuh kedua bayinya tepat di depan dada. Ia membunuh mereka. Keputusan mengerikan itu ia ambil setelah ditinggalkan suaminya, Jason. Ia terhina. Ia merasa tersiksa di negeri orang. Ia merasa terbuang. Medea sebelumnya lari dari negerinya, Colchis, mengikuti Jason, pahlawan Yunani. Ia kasmaran dengan Jason. Ia rela membantu Jason mencuri Bulu Emas milik ayahnya, Raja Aetes. Ia kemudian bersama Jason tinggal di Korintus dan melahirkan dua putra. Tapi Jason kemudian mengkhianatinya. Jason (dengan motivasi politik) mengawini Glace, putri Creon, penguasa Korintus. Creon pun berupaya mengusir Medea dari Korintus. Medea merasa tersakiti.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Adegan dramatis Medea membunuh anak-anaknya sendiri oleh Seoul Factory for the Performing Arts, Ahad, 13 Agustus lalu, di Teater Kecil Taman Ismail Marzuki, Jakarta, disajikan tanpa kebengisan sama sekali. Malam itu, pemeran Medea tidak mengekspresikan gerak-gerik seorang perempuan haus darah, kejam, dan brutal. Alih-alih menampilkan adegan keji, pemeran Medea seperti larut dalam emosi kelam terseret senandung-senandung kesedihan yang dilantunkan dengan suara tipis oleh penyanyi pansori yang duduk bersimpuh di panggung.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Medea adalah sosok perempuan problematik dalam mitologi Yunani. Dalam kajian-kajian dramaturgi tentang karakter Medea, sosok ini menempati posisi yang dilematik. Di satu sisi, ia bisa dianggap sebagai orang yang berwatak impulsif, tak berpikir panjang dengan tindak-tindak kekerasannya, setengah barbar dan sadis (ia juga membunuh saudara laki-lakinya saat saudaranya itu menghalangi dia dan Jason lari dari Colchis menuju Korintus). Medea juga sejatinya turunan penyihir dan memiliki bakat magis menulah orang. Namun, di sisi lain, ia seorang perempuan yang melakukan perlawanan terhadap kultur misoginis.
Pentas berjudul Medea and Its Double oleh Seoul Factory for The Performing Arts, dalam gelaran Djakarta International Teater Platform, di Jakarta, 15 Agustus 2023. Facebook Dewan Kesenian Jakarta
Sebagai ibu dan istri, dia tidak berdaya menghadapi dunia patriarkal Yunani yang menindas dan sewenang-wenang terhadap perempuan. Dalam kultur Yunani saat itu, perkawinan dipahami sebagai sekadar kontrak dan seorang istri bisa disepadankan dengan budak. Seorang perempuan juga saat itu tak punya hak-hak politik. Dalam konteks ini, satu-satunya cara menggoyang kekuasaan Jason dan Creon—agar Jason dan Creon terluka dan rapuh—yang dilakukan Medea adalah membunuh anak Jason sendiri (dan juga menewaskan istri baru Jason yang merupakan putri Creon).
Sutradara Limb Hyoung-taek agaknya sadar dengan kompleksitas kondisi psikologis Medea. Ia menafsirkan naskah Euripides, dramawan Yunani yang mengangkat mitologi Medea ke panggung pertama kali pada 431 sebelum Masehi, secara lain. Ia memunculkan dua karakter Medea: sebagai pengasih yang bertabur emosi cinta dan sebagai seorang ibu. Di panggung, kedua sosok Medea ini ditampilkan tidak terlalu kontras.
Sosok Medea sebagai pengasih cenderung menjadi bagian batin terdalam diri Medea selaku ibu. "Inner Medea” ini membayangi terus dirinya sedari kecil. Ia selalu bergaun putih. Tatkala Medea sebagai ibu, dengan berjubah merah, berada dalam detik-detik keputusan membunuh anaknya sendiri, “Inner Medea” yang bergaun putih tampak berusaha mengintervensi. Kita lalu melihat adegan pembunuhan itu berada di antara kebimbangan mengorbankan dan memproteksi anak sendiri. Pertentangan batin di antara dua Medea ini yang menjadi jantung dramaturgi.
Pentas berjudul Medea and Its Double oleh Seoul Factory for The Performing Arts, dalam gelaran Djakarta International Teater Platform, di Jakarta, 15 Agustus 2023. Facebook Dewan Kesenian Jakarta
Dibanding Sophocles dan Aeschylus, dramawan Yunani kuno lain, Euripides memang tergolong lebih inovatif dalam memodifikasi kisah mitologi Yunani. Euripides sering mengolah mengkombinasikan kisah mitologi Yunani dengan perspektifnya sendiri. Dia sering memberi karakter baru pada seorang tokoh yang sudah dikenal dalam versi tradisional mitologi. Dia disebut sadar betul terhadap aspek situasional dan kontekstual dramanya untuk mengeksplorasi kesadaran penonton. Meskipun sumber utamanya adalah kisah-kisah mitologi, Euripides sering memiliki versi twist sendiri. Twist adalah perubahan mendadak atau tajam arah plot atau cerita. Karena itu, dibanding Sophocles dan Aeschylus, Euripides terasa lebih sadar diri membangun unsur-unsur dramatik dalam naskahnya.
Euripides sering disebut “dark tragedian”. Dalam naskah-naskahnya, ia sering menonjolkan adanya kekerasan dalam sebuah keluarga. Sementara Sophocles dan Aeschylus senantiasa membuat tokoh utama dalam drama mereka mampu menimbulkan unsur emosional seperti simpati atau pathos dalam diri penonton, Euripides tidak demikian. Tokoh-tokoh tragis Euripides justru sering membuat penonton terganggu. Euripides selalu menempatkan tokoh-tokohnya sebagai sosok manusia yang senantiasa dalam batas-batas kemanusiaan mereka. Manusia yang terjebak dalam situasi atau dilema psikologis tertentu. Karakter-karakter yang dalam mitologi sering dilukiskan agung berubah menjadi manusia biasa yang memiliki kelemahan di tangan Euripides.
Dalam naskah Euripides, para pengamat melihat selalu ada tendensi menegasi optimisme. Salah satu subyek favoritnya adalah hubungan antara perempuan dan lelaki. Dia suka mengolah tendensi perempuan untuk menghancurkan laki-laki apabila mereka diberi kesempatan. Dalam konteks ini, dia justru getol menyajikan hal-hal yang dikhawatirkan kultur patriarkal Yunani kuno. Jarang membesarkan capaian-capaian atau tindakan-tindakan heroik tokoh-tokohnya, drama-drama Euripides justru sering menonjolkan penderitaan para tokoh. Banyak tokoh perempuan dalam naskahnya diposisikan sebagai korban. Entah korban perang, korban persekusi, entah korban dewa-dewa. Drama-drama Euripides selalu memuat unsur argumen gagasan dan retorik tokoh-tokohnya, bahkan jika tokoh itu melakukan tindakan di luar dugaan.
Pentas berjudul Medea and Its Double oleh Seoul Factory for The Performing Arts, dalam gelaran Djakarta International Teater Platform, di Jakarta, 15 Agustus 2023. Facebook Dewan Kesenian Jakarta
Ciri-ciri naskah Euripides yang banyak diketengahkan para ahli itulah yang menurut saya hendak ditangkap secara lembut oleh Limb Hyoung-taek. Profesor teater University of Seoul ini berusaha menyelami ambiguitas karakter Medea, meraba-raba perasaannya, dan mengadopsinya ke dunia Timur. Lantunan suara pansori mengingatkan pada chorus atau kor-kor Yunani. Dalam adegan awal, nyanyian-nyanyian bagaikan senandung gaib burung-burung, menjangan, dunia peri, memanggil-manggil Medea. Sebuah dunia arketipe. Gaung dan dengung suara dari singing bowl yang sering digunakan dalam ritual Buddhis menguatkan suasana. Gaya bermain tidak realis. Gerak-geraknya campuran dari tradisi, seni bela diri, dan kontemporer. Set berupa dinding berwarna merah memetaforakan peristiwa Medea adalah peristiwa berdarah. Namun tak ada pisau, tak ada teriakan dan jeritan-jeritan histeris, tak ada musik gemuruh.
Tragedi-tragedi Yunani sesungguhnya adalah sesuatu yang universal. Pertunjukan Seoul Factory for the Performing Arts ini mengingatkan betapa naskah-naskah Yunani kuno cocok ditransfer dalam alam pikiran Timur. Hal yang sama dulu dilakukan W.S. Rendra saat memainkan Oedipus. Naskah Medea and Its Double ini tidak utuh dimainkan di sini karena biaya mendatangkan aktor-aktor lengkap dari Dewan Kesenian Jakarta tidak tersedia. Namun kondisi pertunjukan yang dipadatkan ini cukup dimengerti karena berfokus pada problem pembunuhan bayi. Dari Jakarta, naskah ini secara utuh akan dipentaskan di InlanDimensions International Arts Festival, Polandia.
Menonton pertunjukan ini sendiri, kita ingat bahwa sesungguhnya, sejak 1960-an, naskah Medea karya Euripides ini sudah dialihbahasakan oleh (almarhum) penyair Toto Sudarto Bachtiar (dia juga menerjemahkan naskah Euripides lain: Hyppolytus). Tapi agaknya terjemahan ini sudah terlupakan di sini. Jarang sekali naskahnya dipentaskan, apalagi ditafsirkan sebagaimana yang dilakukan Limb Hyoung-taek.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Pembalasan Dendam Medea"