Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Teknologi & Inovasi

Jatuhnya Stasiun Antariksa Cina

Tak ada yang bisa mengira secara pasti kapan dan di mana stasiun antariksa Cina, Tiangong-1, jatuh di bumi. Indonesia selalu berpotensi bahaya kejatuhan benda antariksa.

1 April 2018 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

AKHIR pekan lalu mungkin menjadi beberapa hari paling menyibukkan bagi para astronom dan peneliti keantariksaan di banyak negara. Sebuah modul dari stasiun ruang angkasa milik Cina, Tiangong-1, yang seukuran bus sekolah, sedang jatuh mengarah ke bumi.

Masalahnya, benda antariksa berbobot 8,5 ton itu telah setahun putus kontak, sehingga tak bisa dikendalikan oleh badan antariksa Cina. Tak ada pula yang bisa mengira secara pasti kapan dan di mana Tiangong-1 akan menghantam permukaan bumi.

Sejauh ini, para peneliti baru dapat memprediksi waktu dan lokasi benda antariksa buatan itu masuk kembali ke atmosfer bumi (atmospheric re-entry). Namun tingkat akurasi prediksi ini terbilang rendah. Abdul Rachman, peneliti di Penelitian Orbit Benda Antariksa pada Pusat Sains Antariksa Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan), mengatakan akurasi waktu hingga kurang atau lebih dua menit dapat diperoleh dua jam sebelum re-entry. "Dengan laju benda mencapai 7 kilometer/detik, berarti ada rentang ketidakpastian kira-kira 1.700 kilometer dari lokasi re-entry," ujar Rachman.

Lapan juga membuat prediksi re-entry Tiangong-1 seperti yang dilakukan Tiar Dani dan kolega di Pusat Sains Antariksa menggunakan program komputer Track-It. Menurut dia, Track-It dirancang khusus untuk memantau benda antariksa yang melintasi wilayah Indonesia pada ketinggian di bawah 200 kilometer.

Track-It menggunakan data lintasan orbit semua benda buatan yang mengorbit bumi, yang diunduh dari Space-track.org milik Joint Space Operations Center (JSpOC), Departemen Pertahanan Amerika Serikat. "Data dari JSpOC (dulu North American Aerospace Defense Command/Norad) sebagai data primer memantau sampah antariksa," ucap Dani.

Kerja sama dengan badan antariksa asing itu, menurut Dani, dilakukan untuk menutupi kekurangan Lapan dalam peralatan pemantau sampah antariksa dan peneliti. Ia mengatakan Lapan mengembangkan sistem pengamatan sampah antariksa menggunakan teleskop, tapi masih jauh dari ideal karena terbatasnya ruang pengamatan dan luasnya wilayah. "Penggunaan radar juga masih dalam pengkajian," kata Dani, seraya menambahkan Indonesia juga masih kekurangan peneliti dengan keahlian sampah antariksa.

Untuk menambal kekurangan, Lapan mengirim penelitinya ke luar negeri. Salah satunya Abdul Rachman, yang mengambil program doktoral terkait dengan upaya mitigasi sampah antariksa di Astronomical Institute University of Bern, Swiss. Menurut Rachman, para peneliti astronomi di Swiss, yang tergabung dalam Badan Antariksa Eropa (ESA), memantau Tiangong-1 menggunakan teleskop optis. "Dibangunnya Observatorium Nasional di Gunung Timau, Kupang, Nusa Tenggara Timur, yang salah satu fasilitasnya bisa menjadi sistem pengamatan yang beroperasi rutin, diharapkan memperbaiki kondisi Indonesia," ujar Rachman.

Menurut Dani, ukuran Tiangong-1 yang besar membuat peristiwa jatuhnya sampah antariksa itu mendapat perhatian luas. Makin besar ukuran benda yang jatuh, makin besar pula peluang bagi pecahannya tetap utuh saat menerobos atmosfer hingga ke permukaan bumi. Selain itu, Tiangong-1 sudah tidak dapat dikontrol. "Jika masih ada kendali, Tiangong-1 bisa diatur kapan re-entry dan dijatuhkan di lautan atau daerah yang tidak berpenduduk," ucap Dani. Contoh re-entry terkendali adalah stasiun antariksa Amerika, Skylab, pada 1979 dan stasiun antariksa Rusia, Mir, pada 2001.

Rachman berpendapat berbeda. Menurut dia, besarnya perhatian terhadap Tiangong-1 bukan karena potensi risiko yang dikandungnya, melainkan karena jenisnya adalah stasiun ruang angkasa ditambah dengan majunya teknologi informasi, sehingga makin banyak orang mengikuti peristiwa ini. "Satelit UARS, ROSAT, dan Phobos-Grunt yang jatuh sebelumnya mempunyai bobot kurang-lebih sama dengan Tiangong-1 ini," tuturnya.

Menurut perhitungan para peneliti di Space Debris Office ESA di Darmstadt, Jerman, potensi orang tertabrak serpihan Tiangong-1 pun sangat kecil. "Peluangnya 1 dalam 300 triliun atau 10 juta kali lebih kecil dari peluang orang tersambar petir dalam setahun," demikian tertulis dalam Rocket Science Blog ESA.

Sejarah mencatat satu-satunya orang yang tertabrak serpihan sampah antariksa adalah Lottie Williams dari Tulsa, Oklahoma, Amerika Serikat. Insiden itu terjadi pada Januari 1997, saat bahu Williams tersambar pecahan benda antariksa yang kemudian diketahui berasal dari roket Delta II. Williams tak menderita cedera parah.

Adapun kasus jatuhnya benda antariksa di dekat permukiman di Indonesia, menurut Rachman, adalah di Sumenep, Madura, Jawa Timur, pada 26 September 2016; di Tanjung Raya, Kabupaten Agam, Sumatera Barat, pada 18 Juli 2017; dan di Gunuang Omeh, Kabupaten Limapuluh Kota, Sumatera Barat, pada 19 Juli 2017. Tidak ada korban jiwa dalam ketiga kejadian itu.

Dani mengatakan Indonesia memang akan selalu memiliki potensi bahaya dari kejatuhan sampah atau benda antariksa buatan. "Hampir semua lintasan orbit sampah antariksa dan satelit, baik low earth orbit, medium earth orbit, maupun geostationary earth orbit, akan melewati wilayah Indonesia yang terletak di ekuator dengan panjang garis bujur yang cukup lebar," kata Dani. Pada 5 Juli 2016, United States Strategic Command melacak ada 17.852 benda antariksa buatan yang mengorbit bumi.

Dody Hidayat (lapan.go.id, Esa.int, Space.com)


Tiangong-1
Bobot: 8,5 ton
Panjang: 10,5 meter
Dimensi: 3,4 meter
Panel surya: 2 x (7 x 3 meter)
Bahan bakar: methylhydrazine dan dinitrogen tetroxide
Diluncurkan: 30 September 2011
Inklinasi orbit: 43 Lintang Utara hingga 43 Lintang Selatan
Juni 2013: masa operasi Tiangong-1 selesai
16 Maret 2016: Tiangong-1 mengalami kerusakan, tidak dapat dikendalikan.
4 Mei 2017: Badan Antariksa Cina melapor ke Komite Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Penggunaan Antariksa untuk Maksud Damai (UNCOPUOS) bahwa Tiangong akan melakukan re-entry.

Taingong pertama diprediksi akan re-entry pada Desember 2017-Januari 2018.
Pertengahan Januari 2018: Teleskop milik tim Deimos Sky Survey di Observatorium Puerta de Niefla (di selatan Madrid, Spanyol, menangkap Tiangong-1 pada ketinggian 280 kilometer).
28 Maret 2018: Prediksi waktu jatuh Tiangong-1 adalah 1 April 2018, pukul 08.57 WIB (19 jam lebih atau kurang), pada ketinggian 10 kilometer di atas permukaan bumi berada di Cina tenggara.
Re-entry: Sebagian besar badan Tiangong-1 terbakar saat bergesekan dengan atmosfer, pecah menjadi serpihan yang menyebar di area seukuran 2.000 x 70 kilometer (140 ribu kilometer persegi).
Potensi tabrakan fatal: Total area permukaan bumi mencapai 510 juta kilometer persegi dan 70 persen di antaranya berupa lautan.

Graphicnews | Space.com | Lapan.go.id | Esa.int

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus