Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Namanya Ahmad Sharif, 7 tahun. Matanya buta, tangannya buntung, separuh kulit pada raut rupanya terkelupas.
”Saat itu saya pulang sekolah, tahu-tahu saya bangun di rumah sakit dan tak bisa melihat.” Ahmad adalah salah satu korban salah bom Amerika di Irak. Sebuah LSM asal Amerika yang bergerak dalam bidang bantuan sosial korban perang ”terketuk hati”-nya, menawarkan pengobatan ke New York. Empat aktivis datang menjemput Ahmad. Sutradara Abdullah Bousari, asal Kuwait, mengikuti perjalanan. Ia menjadi saksi saat mobil sanak-saudara Ahmad yang mengantar sampai perbatasan Irak-Kuwait terkena ranjau darat. Ahmad dan ayahnya selamat. Tapi pamannya tewas.
Bousari terus mengikuti Ahmad sampai ke Amerika. Ia melaporkan bagaimana kemudian nasib Ahmad di sana terkatung-katung. Ia menyajikan fakta bahwa LSM yang berniat menolong Ahmad itu ternyata penuh tipu muslihat. Lantaran proposal-proposal yang mereka sebarkan untuk Ahmad tak menghasilkan uang, mereka menelantarkan Ahmad. Sampai setahun di Amerika, Ahmad sama sekali tak mengalami perawatan. Ahmad pulang, tapi tetap cacat.
Asian Film Festival Yogya bagian Netpac (Network for the Promotion of Asian Cinema) tahun ini mengambil tema diaspora Asia. Ada kemelaratan akibat perang, ada migrasi karena praktek rasisme—baik ke negara Asia lain maupun ke benua lain. Hasil perjalanan yang menyimpan banyak: trauma, duka, kegembiraan, harapan, konflik yang mengorbankan keluarga, anak-anak, perempuan.
Selama lima hari, bertempat di Taman Budaya Yogya, Benteng Vredeburg, festival yang berlogo Hanoman ini banyak memunculkan film dengan tema demikian. Dari yang disajikan, kita bisa membaca bahwa persoalan diaspora di Asia banyak memiliki kesamaan. Kisah Ahmad dalam Losing Ahmad itu, misalnya, bisa saja menimpa seorang anak korban tsunami di Aceh.
Lihatlah jutaan orang yang tumpah di jalan-jalan Beirut, Libanon, tatkala memprotes pembunuhan mantan perdana menteri Rafik Hariri, Februari 2005, dalam film Beirut Diaries karya sutradara asal Palestina, Mai Masri. Itu mengingatkan kita pada demonstrasi akbar di Manila, Tiananmen, atau Jakarta. Mai Masri seorang aktivis yang menggunakan kamera digital. Ia merekam Revolusi Cedar dengan antusias. Ia memperlihatkan bagaimana di Libanon itu semua faksi agama berkumpul: Islam, Katolik, Yahudi. Membawa simbol-simbol bulan sabit dan salib, mereka bergandengan, bernyanyi bersama, meminta tank-tank Suriah hengkang.
”Yang mereka nyanyikan itu lagu Fairuz, penyanyi balada yang sangat terkenal di sana,” kata St. Sunardi, doktor sastra Arab, pengajar studi kebudayaan di Universitas Sanata Dharma, yang juga salah satu anggota dewan juri festival ini. Pada 1990-an, ia berada di perbatasan Suriah-Libanon. Ia ingat lagu Fairuz—penyanyi wanita tradisional yang sangat populer. ”Yang dinyanyikan oleh demonstran di film itu judulnya Al-Quds, menceritakan kecintaan akan Kota Yerusalem sebagai kota sejarah semua agama.”
Tengok film The Other Half, karya Ying Liang, generasi terbaru sutradara Cina. Film ini menampilkan seorang tukang ketik di sebuah firma hukum bernama Xiaofen. Tiap hari ia kedatangan klien rata-rata perempuan dengan aneka keluhan: dari kasus cerai, penyiksaan, sampai kena pencemaran pabrik kimia. ”Saya ingin ke Amerika. Bos Taiwanku punya pabrik di sana,” kata seorang buruh. Film benar-benar ibarat dokumenter. ”Sineas muda Cina kini tidak menampilkan Cina dengan pandangan elok atau moi indie, seperti generasi Zhang Zimou,” kata Garin Nugroho, Presiden Direktur Jogja Asian Film Festival. Sementara kini media memuji keberhasilan ekonomi Cina, kamera Ying Liang justru seolah saksi kesakitan Cina.
Festival ini secara khusus menampilkan film-film Vietnam dan Malaysia. Dari Vietnam, datang kritikus Ngo Phuong Lan. Bukunya, Modernity and Nationality in Vietnamse Cinema, diterbitkan oleh panitia. Ia menjelaskan, ”Sinema Vietnam dimulai dari pencarian identitas nasionalisme.” Akan halnya salah satu daya tarik film Malaysia kini adalah kemampuannya menyajikan keragaman etnis Melayu, India, dan Cina. Film kadang penuh selang-seling bahasa, tergantung latar belakang peran.
Ajang ini juga menjadi forum berkumpulnya komunitas film independen. Dari Kota Purwokerto, Surabaya, Jember, Malang, dan Yogya, semua disediakan penginapan di Guest House UGM. Komunitas Video Battle Yogya, misalnya, menampilkan video-video mbeling karya perupa seperti Eko Nugroho dan fotografer Wimo A. Bayang. ”Festival ini ingin memanjakan komunitas independen,” kata Budi Irawanto, Direktur Jogja Asian Film festival. Ruang untuk film-film pendek juga makin dibuka. Philip Cheah, kurator asal Singapura, membawa film-film pendek terbaik dari Singapura. ”Anda juga harus melihat 20 film pendek sineas Filipina yang dibuat khusus untuk merayakan 20 tahun revolusi Filipina,” katanya.
Di hari terakhir, dewan juri yang terdiri atas Ngo Phuong Lan, Arya Gunawan, Gotot Prakoso, St. Sunardi, dan Putu Fajar Arcana itu menganugerahkan Golden Hanoman Award untuk film Crossing the Dust karya Shawkat Amin Korki dan Silver Hanoman Award untuk Mukhsin karya sutradara perempuan Malaysia, Yasmin Ahmad. Dua film ini menyisihkan Rain Dogs (Ho Yuhang, Hong Kong), Tuli (Auraeus Solito, Filipina), Atheism (Julian Samuel, Pakistan), The Woven Story of the Other (Sherad Sanchez, Filipina), 3 Hari untuk Selamanya (Riri Riza), Kala (Joko Anwar), dan lain-lain.
Crossing the Dust memang sebuah film yang sederhana dan kuat. Setting waktunya adalah Irak, April 2003, hari-hari setelah patung besar Saddam Hussein dihancurkan. Bagdad kacau-balau, penjarahan di mana-mana. Dua orang gerilyawan Peshmerga Kurdi, Azad dan Rashid, memasuki Bagdad—untuk mencari bahan makanan. Saat truk mereka melintasi jalan, mereka menemukan seorang anak Arab Saudi bernama Saddam yang kehilangan orang tuanya. Azad berkeras mengangkutnya karena kasihan.
Perjalanan dengan Saddam itu penuh hal-hal lucu mengenaskan. Truk mereka hilang. Dan kemudian Azad ditembak mati oleh serdadu Irak. Film ini mampu menyajikan bagaimana absurdnya situasi di Irak saat itu lebih dari berita-berita TV. Shawkat, sutradara asal Kurdi, memiliki persepsi sendiri tentang Irak. Kilatan-kilatan kenangan Azad dan Rashid tentang bagaimana tentara Saddam membumihanguskan kampung halaman mereka membayang setiap kali mereka melihat penguburan di jalanan.
Mukhsin juga memiliki kepekaan tersendiri. Film ini bercerita tentang persahabatan dua orang bocah 10 tahun, Orked dan Mukhsin, di pedesaan Kuala Selangor. Orked datang dari keluarga Melayu yang berwawasan modern. Ini sebuah kenangan personal Yasmin Ahmad akan masa kecilnya. Ibu Yasmin keturunan Jepang-Melayu, sedangkan ayahnya keturunan Jawa. Itulah sebabnya film ini dibuat berlatar lagu keroncong ciptaan ayahandanya, Keroncong Hujan.
Ada dua film Yasmin yang diputar di festival ini. Satunya adalah Gubra. Ini berkisah tentang kronik-kronik kehidupan di Malaysia yang multikultural. ”Film ini diprotes oleh ustad-ustad Malaysia,” katanya. Sebab, salah satu adegan menampilkan kehidupan seorang muazin yang bertetangga seorang pelacur. Inspirasi Yasmin padahal berasal dari koran yang memberitakan bahwa di Bangunsari, Surabaya, ada seorang kiai yang hidup di sebelah kompleks pelacuran.
Namun memang Mukhsin lebih kuat dari Gubra. Film ini menang di Festival Film Berlin untuk kategori film anak-anak. Di Malaysia sendiri, ia meraih box-office. Film ini mampu menampilkan kehangatan sebuah keluarga Melayu di pedesaan yang berpandangan modern pada 1970-an, mulai saat memasak di dapur, mengaji, sampai mendengarkan piringan hitam bersama.
Sharifah Aryana, pemeran Orked, memang tampil memikat. Orked dilukiskan tomboi. Daripada bermain pengantin-pengantinan atau masak-masakan, ia lebih suka bermain panjat pohon, layang-layang, dan gobak sodor. ”Kenakalan mereka mengingatkan komik Lat: The Kampung Boy,” komentar Gotot Prakoso, salah satu juri.
Adegan Orked membonceng sepeda Mukhsin menyusuri jalanan tanah yang asri penuh pohon-pohon, dan bagaimana Orked lari menuju rumah Mukhsin setelah tahu Mukhsin pergi dari kampung, dengan iringan lagu Nina Simone Ne Me Quitte Pas (If You Go Away), sangat romantis. Di akhir film setelah credit title, Yasmin menampilkan ayahnya, Pak Atan, bersama ibunya bermain piano dengan semua kru film. Adegan ini makin menekankan bahwa film ini adalah semi-otobiografi dirinya.
Yasmin sendiri, 49 tahun, yang tampak gembira selama di Yogya, menyatakan ingin membuat film dengan setting Indonesia. ”Saya merencanakan membuat film tentang ibu-ibu di pedesaan Jawa yang meminjam uang di koperasi seperti di Bangladesh.”
Seno Joko Suyono (Yogyakarta)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo