Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Bukan untuk Sunatan Massal

Pemerintah sedang menggodok peraturan tentang tanggung jawab sosial korporasi. Selama ini kegiatannya sering salah kaprah.

6 Agustus 2007 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PALING lambat beleid ini bakal diluncurkan akhir tahun ini. Kendati relatif masih lama, toh tetap saja peraturan itu membuat jantung para pengusaha berdegup-degup. Itulah peraturan pemerintah (PP) tentang tanggung jawab sosial dan lingkungan atau lebih ngetop disebut CSR (corporate social responsibi­lity). ”Kami sedang secepatnya menyelesaikan peraturan itu,” kata Direktur Harmonisasi Perundang-undangan Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia, Wicipto Setiadi.

CSR adalah satu dari sejumlah hal baru dalam Undang-Undang Perseroan Terbatas, yang juga baru, yang disahkan DPR 20 Juli lalu. Aturan baru lainnya, misalnya, kebijakan merger yang harus mendapat persetujuan karyawan serta prosedur pengajuan izin perseroan yang lebih dipersingkat. Dibanding undang-undang yang lawas, UU No. 1/1995, UU PT baru ini ”lebih tebal”. Jika yang lama 129 pasal, undang-undang baru terdiri 161 pasal.

Masuknya CSR ke undang-undang ini memang mendapat sorotan khusus dari kalangan pengusaha. Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia, Sofyan Wanandi, menilai aturan ini bakal mengerek bia­ya pengeluaran yang harus ditanggung perseroan. ”Selain menimbulkan biaya ekonomi tinggi, besar alokasi CSR yang berubah-ubah sesuai dengan keinginan pemerintah hanya akan menimbulkan ketidakpastian,” katanya. Asosiasi Peng­usaha Indonesia bahkan mulai ”pasang kuda-kuda” untuk melakukan uji materi terhadap undang-undang yang baru seumur jagung itu.

Pada Undang-Undang, ketentuan CSR tertuang pada Pasal 74. Pasal tersebut menyatakan, perseroan yang menja­lankan usahanya di bidang dan atau ber­kaitan dengan sumber daya alam wajib melaksanakan tanggung jawab sosial dan lingkungan. Pelanggarnya bakal men­dapat sanksi.

Para pengusaha sempat terhenyak saat tahu pasal CSR itu masuk dalam undang-undang. Soalnya, dalam draf RUU yang disodorkan pemerintah, ketentuan CSR tak disinggung sama sekali. Menurut Wicipto, semangat pemerintah kala itu, memang, berharap dunia usaha melakukan CSR dengan kesadar­an sendiri, tak perlu diatur undang-undang. ”Masak, sudah mengeruk sumber daya alam, tak peduli lingkungan dan masyarakat sekitarnya.” Apa hendak­ dikata, lain pemerintah, lain pula ke­inginan para wakil rakyat.

Menurut anggota Panitia Khusus (Pansus) RUU Perseroan Terbatas, Refrizal, pasal CSR masuk setelah anggota Dewan melihat parahnya kerusakan lingkungan yang disebabkan industri pertambangan, seperti terjadi di Papua dan daerah lain di Indonesia. ”Ide ini disetujui Pansus. Pemerintah juga setuju,” kata Refrizal. Menurut dia, pemerintah menerima ide itu karena sadar bahwa ada juga pengusaha yang tak peduli. ”Jadi, pasal ini bisa menjadi dorongan.”

Kalangan DPR dan pemerintah menampik kekhawatiran para pengusaha yang menyebut bakal terjadi ekonomi biaya tinggi lantaran adanya CSR. Menurut Wicipto, CSR sebenarnya sudah menjadi praktek lazim perusahaan pertambangan. ”Undang-undang hanya me­lembagakan saja,” kata dia. Refrizal menilai kekhawatiran para pengusaha itu juga tak beralasan. Adanya CSR, kata­nya, akan mengurangi beban pajak yang harus dibayar pengusaha. ”Karena keuntungannya dikurangi biaya CSR, otomatis nilai pajaknya juga berkurang,” kata Refrizal.

Soal jenis perusahaan yang wajib melakukan CSR juga menjadi perdebatan dalam rapat Pansus. Awalnya, ketentuan ini diwajibkan untuk semua perseroan. Pertimbangannya: semua perusahaan pasti membawa dampak lingkungan. Tapi, pemerintah tak sependapat. Dalam rapat, misalnya, dimunculkan contoh sejumlah industri jasa yang tak berdampak langsung pada lingkungan, seperti perusahaan biro perjalanan yang pegawainya bisa jadi hanya dua orang. Anggota Pansus ”menyerah”. ”Akhirnya, disepakati, perusahaan yang bergerak di bidang sumber daya alam saja yang diwajibkan melaksanakan CSR,” kata Refrizal.

Perdebatan panas lainnya mengenai besarnya persentase CSR yang wajib disediakan. Ada yang meminta langsung diatur dalam undang-undang. Ada berpendapat lebih baik dalam peraturan pemerintah (PP). Karena menyangkut hal teknis, diputuskan dilempar ke dalam PP. ”Termasuk sanksi dan mekanismenya, semua akan diatur lewat peraturan pemerintah,” kata Ketua Panitia Khusus RUU Perseroan Terbatas, Akil Mochtar.

Menurut Refrizal, besarnya CSR ini juga tak mungkin diserahkan begitu saja kepada pengusaha. ”Di negara maju bisa saja bersifat sukarela, tapi tidak di negara berkembang,” katanya. ”Ditulis dalam aturan saja masih dicari celahnya, apalagi tidak ditulis.” Yang pasti, masuknya CSR sebagai kewajiban perusahaan disambut gembira kalangan aktivis lingkungan. ”Perusahaan harus ditekan untuk peduli dengan rehabilitasi lingkungan,” kata koordinator Jaringan Advokasi Tambang, Maimunah.

Namun, aktivis Lingkaran Studi CSR, Jalal, memperingatkan sejumlah hal ber­kaitan dengan masuknya CSR dalam un­dang-undang. ”Jangan terpaku pada isi Pasal 74. Lihat penjelasannya,” katanya. Menurut Jalal, berbeda dengan isi Pasal 74, dalam penjelasan disebutkan, CSR ditujukan kepada semua perusahaan yang berdampak pada fungsi sumber daya alam. ”Jadi, semua perusahaan bisa terkena aturan ini, karena nyaris tak ada perusahaan yang tak berhubung­an dengan sumber daya alam,” katanya.

Menurut Jalal, bentuk CSR sebuah perusahaan seharusnya berkaitan inti dengan bisnis perusahaan itu. Pertam­-bang­an,­ misalnya, kegiatan utama CSR-nya pemulihan lingkungan. Jika perbankan, misalnya, tak menyalurkan kre­dit kepada perusahaan perusak lingkungan. Yang terjadi selama ini, menurut Jalal, banyak perusahaan yang lebih sering melaksanakan CSR dengan mengucurkan beasiswa, membangun jembatan, atau membuat program khitanan massal. ”Kadang tak ada hubungannya dengan kegiatan perusahaan itu,” katanya. ”Belum lagi ada dana CSR yang dipakai untuk biaya perjalanan dinas para pejabat,” katanya.

Di lapangan, sejumlah perusahaan tambang memang sudah melakukan kegiatan yang disebutkan CSR tersebut. PT Newmont Nusatenggara, yang melakukan kegiatan penambangan tembaga, emas, dan perak di Kabupaten Sumbawa Barat sejak 2000, misalnya, menerapkan CSR dengan melakukan pengembangan komunitas masyarakat di sekitar areal pertambangan. Tahun ini, Newmont mengalokasikan sekitar Rp 22 miliar un­tuk membangun sejumlah sekolah sekaligus sarana dan prasarananya, termasuk jalan-jalan di sekitarnya. ”Tapi, saya berharap nilainya dinaikkan dua kali lipat karena daerah ini memerlukan banyak infrastruktur,” kata Bupati Sumbawa Barat, Zulkifli Muhadly, kepada Supriyanto Khafid dari Tempo.

Pemerintah hingga kini belum bisa memastikan secara persis apa saja yang akan diatur dalam peraturan peme­rintah itu. Menurut Wicipto Setiadi, pi­hak­nya dalam pekan-pekan ini akan menggelar pertemuan lagi dengan Departemen Energi dan Sumber Daya Mi­neral, Departemen Perindustrian, De­partemen Perdagangan, dan Departemen Lingkungan Hidup. Pemerintah ingin semua detail CSR tercakup dalam PP tersebut. Pengusaha, kata Wicipto, juga akan didengar masukannya. ”Buat apa ada aturan kalau tak diterima masyarakat, termasuk pengusaha?” kata Wicipto.

Abdul Manan, Agus Supriyanto, RR Ariyani

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus