Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Buku

Membela Sekularisme, Menyelamatkan Syariah

Buku yang ingin merehabilitasi nama buruk sekularisme di kalangan umat Islam. Sekularisme, kata pengarangnya, paham yang netral agama, bukan benci agama.

6 Agustus 2007 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Islam dan Negara Sekular: Menegosiasikan Masa Depan Syari’ah Pengarang: Abdullahi Ahmed An-Na`im Penerbit: Mizan Tebal: 506 halaman

Hari-hari ini Abdullahi Ahmed An-Na`im, pengarang buku ini, guru besar hukum di Universitas Emory, Amerika Serikat, berada di Indonesia. Ia sedang mengkampanyekan proyeknya yang ambisius—yang disebutnya ”Menegosiasikan Masa Depan Syariah”—proyek besar yang berkisar pada rumusan mengenai hubungan antara syariah dan politik di negara modern. Sebelum dibukukan, bahan-bahan proyek ini sudah ditayangkan di website-nya, dalam beragam bahasa.

Mengingat rekam jejak kesarjanaan dan aktivismenya, tesis An-Na`im penting didengar dan dibincangkan. Dalam bukunya sebelumnya, Toward an Islamic Reformation (1990), ia sudah menyerukan reformasi Islam, dengan menegaskan kompatibilitas syariah dengan prinsip-prinsip universal hak asasi manusia. Inilah yang mendorongnya bergiat sebagai wakil Human Rights Watch di Afrika. Ia didorong pengalaman traumatis. Mahmud Muhammad Thaha, guru yang amat dihormatinya, digantung rezim pemerintah Islam Sudan karena dianggap mengajarkan paham Islam yang salah. Sejak itu, ia menjadi pelarian politik di AS.

Dalam Islam dan Negara Sekular: Menegosiasikan Masa Depan Syari’ah, An-Na`im menyuarakan kembali pandangan lamanya tentang mudarat yang pasti diderita umat Islam jika negara diberi hak mengelola syariah. Syariah terbuka kepada beragam penafsiran, padahal penerapannya oleh negara mengharuskan penunggalan penafsirannya. Formalisasi syariah juga berarti pemaksaannya. Ini bertentangan dengan ajaran Islam yang menyerukan umatnya untuk menjalankan syariah secara sukarela. Bukankah nanti, di akhirat, kita ditimbang menurut apa yang kita sendiri lakukan?

Maka An-Na`im tegas menyatakan bahwa negara sekuler institusi terbaik yang bisa menampung gairah umat Islam akan syariah. Karena itu, ia membela sekularisme, sekaligus merehabilitasi nama buruknya di mata banyak kaum muslim. Baginya, sekularisme adalah paham yang netral agama, bukan benci agama. Dan ia menunjukkan bahwa rumusan ”pemisahan agama dan negara” ini diterapkan secara berbeda-beda di banyak negara, sesuai dengan kondisi dan latar belakangnya.

Mengikuti jejak para pemikir seperti John Rawls dan Habermas, An-Na`im lalu berbicara mengenai pentingnya nalar publik (public reason) sebagai satu-satunya prasyarat agar pesan syariah bisa didesakkan ke ruang publik. Di sini seorang muslim tampil sebagai seorang warga negara yang hendak memperjuangkan kesalehan personalnya ke ruang publik. Dus, butir-butir syariah diterima atau ditolak publik bukan karena ia berasal Tuhan, melainkan karena ia secara demokratis dianggap baik oleh publik.

Rumusan menjanjikan An-Na`im ini akan memperoleh reaksi keras dari kaum muslim yang paternalistik, yang beranggapan bahwa penerapan syariah harus dikontrol lembaga tertentu. Di sini, kewajiban menjalankan syariah dipahami sebagai kewajiban negara atau ulama mengontrol penerapannya oleh kaum muslim. Ada jurang lebar antara doktrin Islam yang menegaskan pentingnya individu dan realitas aktual banyak kaum muslim yang terus bersikap paternalistik. Oleh mereka yang diuntungkan sikap ini, An-Na`im akan dituduh melanggar doktrin Islam tentang kewajiban syariah.

Rumusan An-Na`im tentang sekularisme juga akan ditentang oleh mereka yang membaca sekularisme sebagai paham yang memang ingin menyingkirkan agama. Itulah yang mencirikan sejarah sekularisme modern di Prancis. Itu pulalah yang kita lihat akhir-akhir ini di Turki, tempat seorang politikus dihambat kariernya hanya karena istrinya berjilbab.

Sekalipun ambisius, proyek An-Na`im patut didukung. Kita boleh berbeda pendapat dengannya soal detail, tapi secara garis besar proyeknya mencerahkan. Kaum muslim perlu memperbarui diri, menafsirkan kembali syariah agar sesuai dengan kebutuhan kiwari mereka. Tapi itu hanya mungkin jika wadah penerapannya, negara sekuler modern, juga berbenah diri.

Ihsan Ali-Fauzi, Direktur Program Yayasan Wakaf Paramadina

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus