Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Seandainya Sumpah Pemuda terlambat diikrarkan delapan puluh tahun, kemungkinan besar yang tertulis bukan lagi: ”Kami putra dan putri Indonesia....” Sumpah itu akan menjadi: ”Kita putra dan putri Indonesia....” Mohon maklum, putra dan putri Indonesia kini tak lagi mengenal kata ”kami”. Mereka hanya mengenal kata ”kita” untuk kata ganti orang pertama jamak. Mereka tak bisa lagi membedakan ”kami” dan ”kita”.
Dengarkan mereka berbicara di film, sinetron, atau saat diwawancarai MTV. ”Kita putus sudah lama,” kata seorang selebriti kepada wartawan infotainmen yang menanyakan hubungan percintaannya dengan seorang penyanyi papan atas. Ia memakai kata ”kita” tatkala berbicara dengan pekerja infotainmen, meski yang bertanya merasa tak pernah berpacaran dengannya. Jadi, daripada ge-er karena dianggap pernah menjadi pacar seorang selebriti, sebaiknya dia memahami ”kita” yang dimaksud sang selebriti sebagai ”saya dan dia” (kami), bukan ”saya dan kamu” (kita).
Kebiasaan ini ternyata tak hanya menjangkiti anak muda, tapi juga sudah merambah ke usia yang lebih dewasa. Contoh, ketika terjadi penembakan oleh seorang polisi, penyelidik yang juga polisi berkata kepada para wartawan: ”Kita sudah menginterogasi tersangka.” Tentu saja para wartawan yang diajak bicara tidak pernah ikut menginterogasi tersangka. Yang ia maksud dengan kita adalah dia dan rekan-rekannya sesama polisi.
Para pejabat, dari polisi di kecamatan hingga presiden, memang kerap membuat kesalahan seperti itu. Tentu saja hal ini tidak dapat dibiarkan, karena konsep kita dan kami adalah kekayaan bahasa Indonesia yang tidak dimiliki bahasa lain. Bahasa dunia seperti Inggris, Prancis, dan Arab, yang selama ini mengklaim memiliki kekayaan kata, pun tidak memiliki keunikan ”kita” dan ”kami”. ”We” dalam bahasa Inggris berarti ”kita” sekaligus ”kami”. Melihat kecenderungan belakangan ini, bukan tak mungkin sekian tahun lagi kekayaan bahasa yang unik itu akan hilang untuk selamanya.
Masalah ”kita” dan ”kami” ini bisa dilihat secara sederhana, yaitu bagaimana memasukkan dan mengeluarkan orang yang diajak bicara dalam kata ganti orang pertama jamak. Tapi masalah ini bisa juga dilihat lebih serius, menjadi sebuah teori sosial yang sedikit rumit. Dan untuk itu Fuad Hassan pada 1974 pernah menerbitkan buku berjudul Kita dan Kami: Suatu Analisa tentang Modus Dasar Kebersamaan.
”Dalam modus mengada-bersama sebagai suatu Kita, maka pribadi-pribadi yang bersangkutan seakan-akan bersetuju untuk saling memelihara keutuhan subyektivitas masing-masing; dari masing-masing pihak tidak ada daya-upaya untuk obyektifikasi atau saling-memanipulasi; di antara mereka yang bersangkutan tak terdapat momen-momen sengketa (conflictmomenten), malahan saling-kehadiran (mutual presence) antara mereka yang bersangkutan itu memberi kesempatan untuk saling-membuka diri (selfunfolding) dengan subyektivitas sepenuhnya.”
”Modus lainnya ialah mengada-bersama sebagai suatu Kami; kalau dalam suasana Kita itu tak ada penghayatan pengasingan, maka Kami justru ditandai oleh adanya pengucilan (exclusion); dalam suasana Kami selalu ada instansi ketiga (ia, mereka, dan sebagainya) yang justru harus dikucil dari kebersamaan sesaat Kami itu menjelma. Menjelmanya kebersamaan dalam modus Kami itu selalu berdasarkan pada penghayatan kebersamaan itu sebagai obyek....
”Dalam ke-Kami-an itu individu-individu yang bersangkutan melebur dalam suatu kebersamaan yang solider demi mengada terhadap instansi ketiga....”
Itulah mengapa para pemuda yang bersumpah pada 1928 memakai kata kami. Mereka mengeluarkan orang yang tak setuju kepada cita-cita Indonesia dari sumpah itu. Ikrar mereka juga suatu tantangan kepada pemerintah Hindia Belanda, bukan sekadar pernyataan internal di antara mereka. Suatu kesadaran untuk meng-Kami.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo