Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Buku

Membuka Kotak Pandora

Dua buah buku tentang bisnis ABRI terbit hampir bersamaan. Keterlibatan ABRI, yang semula untuk dana operasional, belakangan menimbulkan pola ekonomi rente.

9 November 1998 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hari-hari ini mungkin adalah hari ketika orang mulai berani bicara tentang hal yang dulunya "ditabukan". Kita punya daftar panjang tentang ini. Salah satunya: bisnis ABRI. Entah kebetulan atau tidak, ketika peran ABRI begitu disorot, terbit dua buku tentang bisnis ABRI. Yang pertama, Bila ABRI Berbisnis, yang ditulis oleh Dr. Indria Samego dkk., dan kedua, Bisnis Militer Orde Baru, yang ditulis oleh Iswandi.

Sebenarnya, topik ini bukanlah hal baru dalam wacana ekonomi politik di Indonesia. Tapi selama ini sayangnya sebagian besar studi didominasi oleh peneliti asing. Sebut saja Richard Robison, yang telah menjadi rujukan klasik. "Miskinnya" kontribusi peneliti Indonesia dalam wacana ini mungkin bisa menunjukkan betapa besarnya "biaya" yang telah ditimbulkan oleh suatu rezim yang represif. Ia tidak hanya memberangus lawan politik, tetapi juga membunuh ide atau pemikiran. Itu sebabnya dua buah buku ini menjadi penting untuk dikaji. Sebab, di samping berupaya memperkaya wawasan teoretis, ia juga mencoba memperbarui data dari penelitian sebelumnya sampai paruh 1990.

Dalam bukunya, Samego dkk. menulis bahwa pada mulanya keterlibatan ABRI dalam bisnis hanyalah sebuah upaya untuk memenuhi kebutuhan dana operasional yang tak terdukung dengan layak. Tapi, dalam perkembangannya, "kebutuhan" ini menjadi semakin besar dan menimbulkan pola ekonomi rente. Mereka yang berkuasa, termasuk militer, mempunyai andil dalam hubungan yang kolutif ini. Lahirnya pengusaha kroni, menurut buku ini, disebabkan oleh pemihakan sistematik penguasa terhadap pemilik aset produksi.

Dengan cermat, Samego dkk. membagi keterlibatan ABRI dalam bisnis dengan kategori institusional (militer terlibat secara institusi seperti koperasi, yayasan, dan keterlibatan dalam BUMN seperti Pertamina) dan non-institusional, yakni yang bisnisnya dilakukan oleh mantan anggota, keluarga anggota, atau anggota ABRI di luar jalur resmi. Dalam kategori institusional kita kenal nama seperti Yayasan Kartika Eka Paksi, Yayasan Kesejahteraan Korps Baret Merah, Induk Koperasi Angkatan Darat, atau PT Bank Artha Graha. Sedangkan dalam kategori non-institusional disebut, antara lain, kelompok usaha Nugra Santana, yang didirikan oleh Letjen (Purn.) Ibnu Sutowo, atau kelompok usaha Batara Indra, yang kerap diidentikkan dengan Jenderal (Purn.) Benny Moerdani.

Hal senada, dan dengan data yang cukup detail, juga disampaikan oleh Iswandi dalam bukunya. Tampaknya, kedua buku ini kemudian berujung kepada suatu kesimpulan: dalam perkembangannya, keterlibatan ABRI dalam bisnis justru menumbuhkan kapitalis semu dan korporatisme negara.

Dari segi data dan deskripsi, buku ini amat menarik untuk diikuti. Tapi mungkin ada satu hal penting dalam wilayah teoretis yang perlu dikaji lebih dalam: kaitan akumulasi kapital dan kekuasaan. Salah satu keunikan Indonesia dibandingkan dengan negara lain seperti Eropa adalah relasi antara akumulasi kapital dan kekuasaan. Dalam konsep yang konvensional, hubungan kausal antara akumulasi kapital dan kekuasaan lebih dipahami dari arah di mana akumulasi kapital bisa mempengaruhi kekuasaan atau kebijakan. Kelompok bisnis yang besar, misalnya, memiliki kekuatan lobi untuk meminta proteksi. Tapi, dalam kasus ABRI, akumulasi kapital justru terjadi karena mereka memiliki kekuasaan. Surat keputusan dan lisensi dapat menjadi modal utama berjalannya suatu bisnis.

Yang menarik mungkin, dalam era deregulasi, ruang dari ekonomi rente akan semakin terbatas. Karena itu, proses pasang naik bisnis ABRI tentunya juga tidak bisa dilepaskan dari konteks tawar-menawar antara kekuatan pro-pasar dan ekonomi rente yang kerap menggunakan selubung konstitusi atau rakyat. Di sini masih terbuka ruang untuk kajian teoretis lebih jauh. Agaknya wacana ini memang perlu terus diperkaya. Bukan untuk "sekadar mencari popularitas murahan" seperti yang juga disinggung oleh Samego dalam pengantarnya, tetapi untuk membantu kita mengerti tentang pelbagai hal yang selama ini terkubur dalam kontak pandora. Dan kemudian dipercaya sebagai takhayul.

Muhammad Chatib Basri
Dosen Fakultas Ekonomi UI

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus