Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ibarat pasien yang koma, perekonomian Indonesia kini sudah bisa menggerakkan mata. Setelah setahun lebih jungkir balik digempur keliaran dolar, akhirnya sinyal pulihnya perekonomian Indonesia mulai tampak. Dalam dua bulan terakhir semua indikator ekonomi, mulai dari nilai tukar rupiah, suku bunga, tingkat inflasi, hingga harga saham, menunjukkan tanda-tanda membaik.
Mata uang rupiah, misalnya, cenderung terus menguat. Harga dolar dalam dua bulan terakhir menjadi 32 persen lebih murah. Untuk pertama kalinya dalam delapan bulan terakhir, harga dolar sempat mampir di bawah Rp 7.000. Pekan lalu, sepekan menjelang Sidang Istimewa MPR, harga dolar memang membal lagi di atas Rp 9.000. Tapi, menurut perhitungan sejumlah analis, kalau SI MPR berjalan mulus, harga dolar akan tetap anteng di bawah Rp 10.000 (lihat boks: Satu Dolar Lima Belas Ribu?).
Selain dolar yang mulai bisa dijinakkan, kegilaan suku bunga bank juga mulai dapat diredakan. Dalam sebulan terakhir selama Oktober tingkat suku bunga sertifikat Bank Indonesia (SBI) terus ditekan turun dari 70 persen menjadi cuma 59 persen. Bahkan memasuki pekan kedua November ini suku bunga SBI hanya 54 persen.
Penurunan suku bunga SBI memang tak selalu langsung diikuti dengan penurunan suku bunga kredit. Tapi itu juga sudah lumayan. Soalnya, suku bunga SBI tak lagi semata-mata ditentukan oleh Bank Indonesia, tapi hasil pelelangan di pasar uang. Artinya, turunnya tingkat suku bunga SBI juga bisa menjadi indikasi melonggarnya likuiditas dalam perekonomian.
Apalagi, tren penurunan suku bunga ini agaknya tak akan berhenti sampai 50 persen. Sjahril Sabirin sendiri, sebagai gubernur bank sentral, yakin bahwa kebijakan moneter bisa terus dilonggarkan dalam bulan-bulan mendatang sehingga suku bunga bisa terus turun.
Sinyal pemulihan ekonomi juga terlihat dari besarnya animo investor di pasar modal. Selama Oktober harga saham-saham di bursa Jakarta terus menanjak. Indeks harga saham gabungan (indikator yang mencerminkan pergerakan harga saham) atau biasa disebut IHSG naik 9 persen. Akibatnya nilai perusahaan di bursa Jakarta terus melonjak.
Menurut hitungan Departemen Riset Pentasena Securities, dalam satu bulan terakhir nilai kapitalisasi pasar bursa Jakarta meningkat hampir 51 persen dalam hitungan dolar. Sejumlah lembaga investasi raksasa dari Amerika dikabarkan ramai-ramai memborong sejumlah saham unggulan--kendati dengan seleksi yang amat ketat.
Dan di atas nilai tukar, suku bunga, dan kegairahan pasar saham, tingkat inflasi yang mulai menurun kelihatan amat menjanjikan. Harga barang-barang, yang biasanya terus membubung, untuk pertama kalinya sejak kesetrum krisis setahun terakhir, bisa direm, bahkan dipaksa turun. Menurut catatan Biro Pusat Statistik, inflasi selama Oktober minus 0,27 persen. Bandingkan dengan inflasi bulan September yang melejit lebih dari 3 persen dan Agustus yang di atas 6 persen.
Menurut seorang direktur dari sebuah konglomerat bisnis raksasa Indonesia, semua indikator itu menunjukkan bahwa perekonomian Indonesia sedang berada di tikungan, di titik belok, dari semula merosot, kini pelan-pelan kembali naik. "Ini sebuah keajaiban, a miracle," katanya. Ia sadar, ada banyak alasan untuk pesimistis. Tapi ia amat yakin, tingkat kepercayaan publik pada perekonomian sudah mulai kembali.
Keyakinan seperti itu sedikit banyak agaknya juga hinggap pada Michel Camdessus. Untuk pertama kalinya Direktur Pelaksana Dana Moneter Internasional (IMF) ini secara khusus menaruh harapan pada pemulihan perekonomian Indonesia. Dalam sebuah sidang ekonomi di Philadelphia, Kamis lalu, ia mengatakan, "Bahkan Indonesia pun memperlihatkan sinyal yang menjanjikan." Biasanya, harapan seperti itu hanya disampaikan Camdessus untuk Thailand dan Korea Selatan.
Memang benar, Camdessus mengakui, sinyal penyembuhan itu bukan cuma karena kepatuhan Indonesia kepada IMF. Ia mencatat peran negara-negara industri yang ikut menurunkan suku bunga telah menghindarkan dunia dari resesi global. Penurunan suku bunga dolar sedikitnya akan membelokkan sasaran investasi lembaga keuangan Amerika ke Eropa maupun Asia.
Tapi persoalannya, benarkah sinyal ini akan bertahan lama. Apakah gelagat pemulihan ekonomi itu bukan sebuah gejala jangka pendek yang gampang hilang? Benarkah perekonomian kita tak akan lebih buruk lagi?
David Chang, Kepala Riset Trimegah Securities, menilai masih terlalu pagi untuk mengatakan bahwa keadaan tak akan merosot lagi. Sebelum ini juga pernah terlihat gelagat perekonomian mulai membaik. Tapi tiba-tiba mata uang rupiah tersengat lagi, harga dolar melonjak dan seluruh harapan musnah tiba-tiba. Untuk memastikan bahwa perekonomian mulai pulih, kata Chang, "Kita perlu bukti lebih banyak."
Chang agaknya benar. Soalnya, kalau mau membongkar indikator lain, akan segera terlihat bahwa perekonomian Indonesia masih sangat goyah. Ini tampak, misalnya, dari sebaran deposito yang terkonsentrasi pada simpanan satu bulanan. Berdasarkan data Bank Indonesia (per Agustus) hampir 50 persen dari deposito di perbankan dimiliki oleh individu. Dan dari jumlah itu 70 persen tersimpan dalam deposito satu bulan.
Konsentrasi simpanan publik pada deposito sebulan ini bisa menunjukkan dua hal. Satu, tingkat kepercayaan publik terhadap rupiah masih kurang. Mereka memilih deposito berjangka pendek agar lebih gampang lari, "Kalau ada apa-apa." Atau yang kedua, ini mencerminkan keyakinan masyarakat bahwa suku bunga tak akan turun dengan cepat. Menurut Pentasena, paling banter dalam tiga bulan ke muka tingkat suku bunga cuma akan turun sampai 47 persen sampai 54 persen per tahun.
Selain soal kepercayaan publik yang gampang guncang, ada satu faktor yang punya potensi untuk menyeret perekonomian kembali ke dasar. Menurut Neil Saker, ahli ekonomi regional dari SocGen Securities di Singapura, ujian paling berat adalah Sidang Istimewa MPR. Jika jalannya perhelatan ini tidak mulus, rupiah akan kembali terpesorok dan perekonomian kembali terbanting ke dasar.
Itu dalam jangka pendek. Dalam tempo tiga sampai enam bulan ke depan, ada pula sejumlah ancaman yang akan terus mengganggu upaya penyehatan perekonomian. Menurut Riset Pentasena Securities, salah satu ancaman paling besar akan datang dari inflasi. Menurut Pentasena, dalam sembilan bulan pertama tahun ini, belanja pemerintah susut 11,9 persen. Kalau mengikuti kesepakatan dengan IMF, anggaran kita tahun ini akan mengalami defisit. Artinya, pencairan belanja pemerintah selama ini terlalu lamban. Riset Pentasena menduga, pemerintah akan ngebut menghabiskan anggaran pada paruh kedua tahun anggaran ini.
Persoalannya, injeksi uang besar-besaran dalam likuiditas perekonomian ini akan menghadirkan masalah baru: kenaikan harga. Apalagi sasaran belanja itu adalah produk domestik. Sedangkan uangnya berasal dari pencairan utang luar negeri. Jika tambahan pasokan uang ini tak segera diikuti dengan kenaikan produksi, harga barang akan melonjak. Jika itu terjadi, pemulihan perekonomian hanya tinggal mimpi.
Ancaman yang lain berasal dari miskinnya tingkat permintaan domestik. Menurut Ippei Yamazawa, Presiden Institut Ekonomi Pembangunan--sebuah lembaga kajian ekonomi independen di Jepang--mata uang negara-negara Asia boleh saja mulai membaik, tapi perekonomian mereka masih akan terus merosot. Soalnya, permintaan domestik sulit ditumbuhkan, bahkan bisa dikatakan gagal. Daya beli masyarakat tetap rendah.
Sebenarnya soal ini bisa didorong dengan menggenjot investasi. Tapi, repotnya, di negara-negara yang terkena krisis, juga di Indonesia, minat investasi praktis mandek. Kredit bank tidak lagi mengucur. Boro-boro memberi kredit, untuk menutup modalnya yang sudah minus pun, bank-bank ini sudah tak mampu lagi.
Khusus untuk Indonesia soal terus melemahnya tingkat permintaan domestik ini juga dicatat oleh Riset Pentasena. Hingga September tingkat investasi dan konsumsi merosot masing-masing 43 persen dan 8 persen. Tingkat investasi dipangkas oleh tiadanya kredit, begitu juga tingkat konsumsi untuk barang tahan lama (durable goods).
Satu-satunya harapan sebenarnya bertumpu pada investasi dari luar negeri. Tapi masuk-tidaknya investasi asing membutuhkan banyak syarat. Bukan cuma prospek perekonomian, lebih penting dari itu: stabilitas politik dan jaminan kepastian hukum. Kedua syarat tersebut agaknya belum bisa dipenuhi Indonesia. Ini terlihat dari sepinya investasi (baik lokal maupun asing) yang masuk ke Badan Koordinasi Penanaman Modal. Hingga pertengahan Oktober persetujuan investasi tahun ini cuma US$ 12,7 miliar atau separuh dari periode yang sama tahun lalu.
Menurut sejumlah analis pasar modal, arus masuk investasi asing juga akan sangat bergantung pada kemampuan swasta Indonesia membayar utang luar negeri. Gara-gara krismon, utang luar negeri swasta Indonesia yang berjumlah US$ 80 miliar membengkak nilainya (dalam hitungan rupiah) lebih dari tiga kali lipat. Dengan pembengkakan luar biasa itu, tak banyak pengusaha Indonesia yang bisa membayar utang. Satu-satunya pilihan: mengonversi utang menjadi saham atau memberikan diskon bagi debitur Indonesia.
Dengan pelbagai belitan masalah itu, pemulihan perekonomian Indonesia bukan soal gampang. Singkat kata, menurut William Belchere, Kepala Riset Ekonomi di Merrill Lynch, Singapura, perekonomian Indonesia masih jauh dari pulih. "Ini proses turun mesin yang amat panjang," katanya kepada Reuters.
Karena itu, jangan keburu senang. Bersiap-siaplah menghadapi keadaan yang lebih sulit.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo