Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Bogasari, mesin pembiak usaha kelompok Salim, sedang ditawarkan. Sejumlah investor memperebutkannya. Tapi mengapa Salim melepas cikal bakalnya?
Bogasari bukan mesin sulap. Tapi, bagi pengusaha Liem Sioe Liong, Bogasari bagaikan dewi kesuburan. Melalui Bogasari, konglomerasi Salim terus memompa diri: membengkak, menjadi besar, lalu menggurita. Berkat Bogasari juga seluruh rantai bisnis makanan berbahan baku terigu dapat dikuasai Salim dari hilir sampai hulu (lihat boks: Perjalanan Bayi Ajaib Itu).
Kini industri penggiling gandum bernama Bogasari itu berumur sudah. Hampir tiga puluh tahun usianya. Sebagai industri yang padat kapital, Bogasari mestinya tinggal dirawat dan dipetik hasilnya. Tapi, di luar dugaan, yang direncanakan Salim justru sebaliknya. Konglomerasi terbesar Indonesia itu bukannya memelihara kebun yang tinggal dipanen, tapi justru akan menjualnya.
Hingga hari ini transaksi memang belum terjadi. Tapi sejumlah pinangan telah terkirim. Kans paling besar dipegang Pepsi Co. Raksasa industri minuman ringan Amerika Serikat ini sudah lama berkongsi dengan Grup Salim. Melalui Frito-Lay, Pepsi berpatungan dengan Salim memproduksi makanan ringan dan memasarkan minuman berkarbonasi. Selain Pepsi, sedikitnya ada lima calon lain: Cargill, Unilever, Australian Wheat Board Limited (AWBL), Goodman Fielder Food Limited (GFFL), dan Nissin Foods Co. Limited.
Tapi persoalannya, mengapa Grup Salim ingin melepas mesin uangnya. Benarkah hanya karena Bogasari tak subur lagi?
Bogasari Flour Mills merupakan salah satu industri penggiling gandum terbesar di dunia. Kapasitas gilingnya mencapai empat juta ton per tahun. Rezeki terbesar yang dinikmati Bogasari sebenarnya bukan berasal dari ongkos giling atau ekspor dedak gandum seperti yang selama ini dikenal orang.
Menurut para analis, keuntungan terbesar Bogasari justru berawal dari sebuah aturan main ini: Bulog--badan pemerintah yang berfungsi sebagai pengendali pasokan dan penyangga harga bahan makanan pokok--memonopoli impor gandum (bahan baku terigu). Bogasari kemudian menjadi tukang giling tunggal.
Dengan tujuan menekan harga jual terigu di dalam negeri, pemerintah menyubsidi harga terigu. Berapa besar subsidi dan siapa yang menikmatinya, hingga kini memang tak terungkap gamblang. Empat tahun lalu Indef, sebuah lembaga kajian ekonomi, melaporkan bahwa Bogasari melahap subsidi Rp 760 miliar. Itu disimpulkan dari perhitungan harga impor gandum Rp 418 per kilogram. Padahal Bogasari membeli gandum dari Bulog dengan harga Rp 141 per kilogram. Artinya, ada subsidi Rp 277 per kilogram gandum.
Repotnya, subsidi itu tak dinikmati rakyat secara langsung. Injeksi uang pemerintah ini justru menggemukkan Indofood, sebagai konsumen terbesar tepung terigu hasil gilingan Bogasari. Melalui rantai bisnis dari hulu ke hilir, produk makanan berbahan baku terigu versi Indofood bisa dijual murah.
Ceritanya memang jadi lain setelah perusahaan induk ini telanjur meraksasa. Bogasari tampaknya tak jadi terlampau penting bagi Indofood. Apalagi beberapa anak perusahaan Indofood yang lain, terutama perkebunan sawit dan pabrik minyak goreng Bimoli, telah menjelma menjadi mesin uang baru.
Akhirnya, mesin tua Bogasari makin "keriput" setelah monopoli terigu dihapuskan. Subsidi terigu dicabut dan keran impor dibuka lebar September lalu. Dengan pencabutan itu perang menjadi terbuka. Kalau mau bertahan hidup, Bogasari harus lebih efisien dari penggiling gandum di luar negeri. Boleh jadi, hilangnya hak monopoli sekaligus "beking politik" inilah yang membuat Salim rela melepaskan Bogasari.
Seperti kebetulan pula, induk Bogasari, yakni PT Indofood Sukses Makmur, sedang kepepet. Utang jangka pendek yang harus dibayar Indofood tahun ini mencapai US$ 1,078 miliar atau setara dengan Rp 9 triliun. Menutup utang itu dengan hasil operasi tentu saja tak mungkin. Laba tahunan Indofood tak lebih dari Rp 1 triliun. Berharap kepada pemegang saham untuk memasok modal baru sama saja mustahilnya. Satu-satunya cara, ya menjual aset. Dan salah satu aset Indofood yang bakal laku dengan harga mahal, ya, Bogasari.
Selain karena kepepet beban utang, kerajaan bisnis Indofood juga akan terhadang UU Antimonopoli, yang kabarnya bakal segera diterbitkan. Konon, undang-undang baru ini akan menebas penguasaan industri dari hulu ke hilir. Artinya, Indofood harus merombak, termasuk memutus sejumlah rantai usahanya kalau tak mau ditebas aturan baru itu.
Hanya, rupanya tak mudah bagi Salim untuk segera melempar Bogasari. Masalahnya pada harga. Investor, kabarnya, cuma menghargai US$ 360 juta. Padahal harga yang diminta Indofood US$ 805 juta. Erwan Teguh Teh, analis dari SocGen Global Equities, menilai harga yang diminta Indofood terlampau tinggi. Soalnya keuntungan Bogasari dalam beberapa tahun mendatang tidak terlampau menarik.
Riset yang dilakukan Heriyanto Irawan, analis HSBC Securities, juga menunjukkan penurunan laba Bogasari hingga tujuh tahun ke depan. Sebelum krisis, laba kotor bisa di atas 20 persen per tahun. Tapi lima tahun ke depan proyeksi laba Bogasari rata-rata tinggal 14 persen tiap tahun.
Maklum, kendati biaya tetapnya menyusut, biaya operasi Bogasari terus membesar. Akibatnya, margin (tingkat laba) makin tipis. Apalagi jika persaingan industri terigu yang makin terbuka akan melindas Bogasari.
Mardiyah Chamim dan Dewi Rina Cahyani
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo