Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Buku

Menangkap kebenaran ruh islami

Pengarang : karel a. steenbrink yogyakarta : iain sunan kalijaga, 1989 resensi oleh : julizar kasiri.

21 Oktober 1989 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

MENCARI TUHAN DENGAN KACAMATA BARAT Oleh: Dr. Karel A. Steenbrink Penerbit: IAIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta, 1989, 321 halaman ANDAI kata orientalis Belanda, Christiaan Snouck Hurgronje, masih hidup, dan menyaksikan kegairahan kaum muda Islam Indonesia terhadap agamanya, mungkin yang pertama teringat olehnya ialah pendapat yang pernah dilontarkannya pada 1911. "Melalui pendidikan Barat, anak-anak Indonesia akan terjauhkan dari kebudayaannya, termasuk agama Islam, dan berkiblat ke Barat". Pendapat tersebut jelas mewakili kepentingan pemerintah kolonial Hindia Belanda. Ketika itu, bahkan sampai tahun 1950-an, memang ada sebagian kecil orang Indonesia yang berpikir dan bertingkah laku kebarat-baratan. Lebih dari itu, usaha pembaratan generasi muda itu, 14 tahun kemudian, menunjukkan kegagalannya. Salah satu contoh yang mencolok, misalnya, Haji Agus Salim. The grand old man yang dengan prestasi luar biasa banyak menghirup pendidikan Barat ini mestinya sudah jadi "orang Barat". Tapi sebaliknya, keberadaan tokoh ini justru membuyarkan impian Snouck. Atas dorongan Agus Salimlah, pada 1925 itu, lahir organisasi Jong Islamieten Bond yang beranggotakan para pemuda muslim yang umumnya berpendidikan Barat. Antara lain Mohammad Natsir dan Mohamad Roem, yang belakangan tampil sebagai negarawan. Sasaran Snouck pada hakikatnya berusaha menjauhkan ajaran Islam dari penganutnya demi kelestarian kekuasaan Belanda di Indonesia. Snouck berusaha "membunuh Islam" di negeri ini dan kemudian menjadikan penganutnya seiring sejalan dengan Belanda. Tapi ada satu hal yang ia lupakan, yaitu kefitrian agama, yang oleh penemu atom, Albert Einstein, disebut sebagai "perasaan keagamaan yang melekat pada wujud semesta". Perasaan ini sulit dihapus dari lubuk hati manusia, seperti sulitnya melepas ikatan perkawinan yang pernah dicoba di Uni Soviet. Perasaan religi seperti itu bahkan diakui oleh Will Durant. "Agama memiliki seratus jiwa. Segala sesuatu yang dibunuh akan mati selama-lamanya, kecuali agama. Begitu dibunuh seratus kali, agama akan hidup lagi," katanya. Anehnya, Durant justru dikenal sebagai ahli sejarah peradaban dunia yang tidak percaya kepada agama. Sebagai orang yang mengaku beragama (Islam), tentu Snouck menyadari hal ini. Tapi ternyata ia dikalahkan oleh ambisinya. Dan baginya, Islam hanyalah "karier", yang mengantarkannya ke tangga kemasyhuran. Begitu pula orientalis lain seperti Julien Benda atau Clifford Geert. Meskipun niat mereka semata-mata demi kepentingan ilmu pengetahuan, pada dasarnya mereka tidak pernah mencari kebenaran Islam. Karena itu, tentu mereka juga tidak bakal menemukan Tuhan. Yang mereka lakukan adalah mencari kebenaran empiris yang bersifat sepotong-sepotong, yang sangat bergantung pada pendekatan ilmiah. Kesalahan serupa ternyata juga muncul di kalangan cendekiawan muslim. Bedanya, para orientalis melakukan pendekatan terhadap Islam hanya dengan metodologi ilmiah, tapi sebaliknya, para ulama Islam hanya menggunakan metode doktriner dengan pendekatan yang terpilah-pilah. Seorang fukaha (ulama ahli hukum Islam) cenderung melihat Islam dari segi fikih, atau seorang sufi hanya merenungi Islam dari segi tasawuf. Maka, terjadilah kepincangan dalam mempelajari Islam, sehingga wujud agama ini tidak pernah tergambarkan. Di mana letak kesalahannya? Mungkin pada pendekatannya. Islam bukanlah agama monodimensi, yang hanya menampilkan hubungan manusia dengan Tuhan. Tapi ia adalah agama multidimensi. Di dalamnya tercakup hubungan manusia dengan Tuhan, manusia sebagai makhluk di bumi, manusia sebagai anggota masyarakat. Wujud Islam seperti ini tentu memerlukan berbagai pendekatan, Dr. Mukti Ali pernah menyarankan agar hal itu dilakukan dengan penggabungan metodologi ilmiah (sejarah, sosiologi, antropologi, dan sebagainya) dengan metode doktriner. Nah, metode gabungan seperti disarankan oleh bekas menteri agama ini ternyata tidak tercakup dalam buku Mencari Tuhan dengan Kacamata Barat ini. Buku Steenbrink ini hanya menvaiikan salah satu metode, yakni metodoiogi ilmiah yang pernahdigunakan para sarjana Barat, untuk meneliti Islam di Indonesia, yang biasanya terlalu mementingkan sejarah dan dokumen-dokumen sastra. Dalam buku ini kita temukan berbagai resensi atas berbagai manuskrip, antara lain berupa hikayat atau syair-syair. Maka, tidaklah heran bila kita mudah menduga, tentu hasilnya sama sekali tidak cocok dengan apa yang kita harapkan dari judulnya, Mencari Tuhan dengan Kacamata Barat. Penulis buku ini, Steenbrink, menyebut dirinya sebagai orientalis meski tidak sealiran dan tidak sehebat Snouck. Namun, ada satu hal setidaknya bisa dicatat bahwa pengabdiannya selama delapan tahun (1981-1988) di Indonesia sebagai dosen di IAIN Jakarta dan Yogyakarta, sedikit banyak, mungkin dapat mengubah kecurigaan terhadap kelompok orientalis. Kecurigaan umat Islam terhadap mereka sesungguhnya bersumber dari sikap para orientalis sendiri, yang selalu merasa superior terhadap bangsa Timur umumnya, Islam pada khususnya, sehingga mereka sulit menangkap kebenaran ruh Islami. Julizar Kasiri

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus