SEPENGGAL malam yang hangat. Ini bisa direguk di Mercantile Club (MC) Jakarta sampai Rabu pekan silam. Aneka softdrink dan sejumlah "air api" kelas tinggi berbaur dengan telur kaviar dalam perut sejumlah orang berdasi, yang sedang asyik memperbincangkan harga lukisan mulai ratusan sampai ribuan dolar. MC, di Lantai-18 Gedung BCA, Jalan Sudirman, sejak berdiri 1987 memang sebuah arena kaum elite, antara lain, untuk jamuan makan, kepentingan lobi, ceramah, atau pameran lukisan. Berlantai karpet tebal, berhawa sejuk, dan aksesori ruangan yang serba wah, MC tak mudah dijangkau sembarang orang. "Pelukis yang hendak pameran ini mesti anggota atau setidaknya memiliki koneksi dengan anggota klub," kata Nina Sudiono, juru bicara MC. Contohnya, Devi Tana. Ia anggota MC dan Yap Hian Tjay adalah kawannya. Dua pelukis ini pekan lalu menampilkan karyanya di sana. Dengan demikian, pihak pelukis tak perlu repot mencari biaya sewa ruangan eksklusif itu. Berbagai jenis minuman, makanan, dan upacara pada malam pembukaan memang ditanggung MC. Ini dimungkinkan oleh harga keanggotaan yang mahal. Untuk individu US$ 3.500 uang mukanya, untuk corporate atawa atas nama perusahaan US$ 7.000. Iuran per bulan US$ 65. Kalau keanggotaan seumur hidup, yang bebas iuran, 8.000 dolar AS. Selain karena hubungan pertemanan si pelukis dengan anggota, sebuah pameran bisa pula dilangsungkan kalau ada rekomendasi dari anggota klub -- apalagi dari mereka yang disebut Board of Governors seperti Omar Abdalla, William Soeryadjaya, dan Liem Soei Liong. Mereka adalah para senior dunia usaha di Indonesia yang mendirikan klub ini. Pameran lukisan di MC merupakan satu dari scderet kegiatan. Belakangan, pameran semacam ini memang muncul di pelbagai tempat di Ibu Kota, bahkan waktunya sering bersamaan -- seperti dalam bulan ini. Di MC pameran berakhir 11 Oktober silam, sedangkan di Mitra Budaya (MB), Jalan Tanjung, Jakarta, sejak tanggal 11 sampai 17 ini berlangsung pameran Kelompok Empat. Mereka yang tampil itu Sri Robustinah, Poerwoko Raharjo, Abdul Azis, dan Zainal Sutanto. Sebelumnya, di Balai Budaya (BB), Jalan Gereja Theresia, Munadi memamerkan lukisannya. Pada waktu yang bersamaan, di Gedung Asean berlangsung pula pameran dengan tema Profil PelukisPelukis Indonesia Tahun 2000. Di MC yang berpameran tidak dipungut lagi biaya, tapi di BB atau MB ada tarifnya, yaitu Rp 100 ribu/hari. Di BB, Rp 25 ribu/hari -- plus 25% dari hasil penjualan lukisan. Atau, di tempat-tempat yang disebut ini, Rp 35 ribu/hari bagi yang pameran tunggal, atau Rp 50 ribu untuk yang bergerombol. Ini tarif untuk WNI. Sedangkan untuk yang WNA, Rp 100 ribu/hari sendirian atau berkelompok. Tentu semua itu kalau yang ingin berpameran adalah pihak pelukisnya sendiri. Kondisinya memang sudah lain ketimbang beberapa tahun lewat. Ketika itu, kalau pameran di MB dan BB, seleksi terhadap karya masih ketat dari pihak pengelola gedung (yang mirip rumah tinggal) karena merekalah yang mensponsori sekaligus menyelenggarakannya. Menurut Sekretaris Harian MB, Sri Robustinah, 45 tahun, dulu petugas yang menyeleksi estetika karya-karya itu adalah Adji Damais, penasihat ahli Dinas Tata Kota Pemda DKI. Selain itu, Adji bisa menyarankan sekelompok elite Jakarta, sehingga mereka tak sungkan pula membuka cek membayar lukisan. BB, awal 1950-an, berfungsi sebagai ajang pameran karya-karya standar, jauh sebelum ada Pusat Kesenian Jakarta di Taman Ismail Marzuki. Maka, di BB-lah selalu dipamerkan karya dari Affandi, Oesman Effendi, Nashar, Roesli, Zaini, Trisno Soemardjo, dan sejumlah yang lain. "Saat itu Balai Budaya adalah satu-satunya yang menyediakan sarana pameran seni rupa," kata Hamsad Rangkuti, 46 tahun, Ketua Pengurus BB sekarang, yang juga pengasuh majalah sastra Horison. Kini kondisinya lain. Kendati untuk karya bagus tetap bersedia menjadi sponsor, BB melonggarkan syarat bagi pelukis yang belum punya nama untuk tampil, asal bayar sewa. Maka, tidak heran jika dalam sebulan bisa tila kali ada pameran di BB. Bahkan, pelukis harus pesan tempat tiga bulan sebelumnya. Rasanya, bukan melulu karena ada kemudahan di BB, MB, atau MC, sehingga belakangan ini pameran membanjir. Penyebab lainnya, publik penikmat sekarang kelihatan sudah makin luas, sebagian besarnya dari kelas menengah baru yang selama ini sudah jenuh hanya berkutat dalam bisnis. Banyak di antaranya yang serius ingin memahami dan memiliki lukisan, sementara ada juga yang sekedar supaya tidak ketinggalan trend. Yang berorientasi ke bisnis menganggap lukisan adalah investasi bagus. Jangan heran kalau semacam Duta Fine Arts (DFA) dan Edwin's Gallery, keduanya di Kemang, Jakarta Selatan, bisa berkembang. "Banyak yang telah berubah," tutur Didier Hamel, pengelola DFA. Lelaki tinggi besar asli Korsika ini berkata lagi, "Ketika saya mulai di Oets Gallery, 1983, tidak ada satu pun pengunjung. Pasaran mulai bangkit 1986. Dua tahun terakhir ini menggila. Para pelukis berlomba pameran di mana-mana, namun kualitas dan harga tidak ada patokan dari mereka." Harga Rp 300 ribu sampai Rp 7 juta di MC, atau Rp 200 ribu sampai Rp 2 juta di MB atau BB, ternyata ditentukan hanya berdasarkan nyali pelukisnya. Maka, Figaro, mingguan kelas menengah yang terbit di Prancis, dalam edisi 8 September silam menurunkan tulisan tentang situasi kesenian di Jakarta, dengan judul Sebuah Pasar Seni Rupa Internasional Baru. Syukurlah, diam-diam Jakarta mencuat. Mohammad Cholid, Leila S. Chudori, Yudhi Soerjoamodjo
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini