Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendidikan

Kalau Insinyur Mesin Mengajar Musik

Priadi Dwi Hardjito, insinyur mesin ITB, mengajar musik di Akademi Seni Tari Indonesia, Bandung. Departemen P dan K tidak akan memberi sanksi, cuma pangkatnya tak bisa naik. Tugas tak sesuai ijazah.

21 Oktober 1989 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

GARA-gara surat Irjen Departemen P dan K yang bocor, nama Priadi Dwi Hardjito, 39 tahun, mendadak mencuat. Lulusan teknik mesin ITB ini dipermasalahkan karena mengajar di Akademi Seni Tari Indonesia (ASTI) Bandung. Surat Irjen P dan K yang ditujukan ke ASTI Bandung itu sebenarnya sudah lama, tertanal 8 Juli tahun ini. Namun, "bocornya" baru awal bulan ini. Isi surat itu cuma mempertanyakan status Priadi sebagai pengajar di ASTI. "Dwi Hardjito sebagai seorang insinyur mesin tamatan ITB dibebani tugas yang tak sesuai dengan ijazahnya," demikian antara lain isi surat itu. Surat Irjen itu dibuat setelah Inspektur Wilayah V Itjen P dan K meneliti ASTI Bandung, Mei 1989. Priadi mengajar di Jurusan Seni Musik sejak tahun 1981. Pimpinan ASTI Bandung kaget. Priadi, yang Lektor Muda Etnomusikologi, Organologi, dan Akustika Nada ASTI, memang tak punya ijazah musik. Tapi tugas akhirnya di ITB, "Analisa Getaran pada Pelarasan Gamelan", membuktikan bahwa ia mempelajari musik dari segi fisika bunyi. Begitu lulus dari ITB, 1979, ia lantas melamar ke ASTI. Sambil mengajar ia teru bereksperimen di bidang musik. Hasil eksperimennya mengagumkan. Di akhir tahun 1987, ia mengujikan temuannya, "Deret Bias Slendro Eksponensial" di forum pertemuan ilmiah tahunan Puslitbang KIM (Kalibrasi, Instrumentasi, dan Metrologi) LIPI. Ia menemukan "kunci" untuk membuka bermacam nada dari berbagai sistem musik. Wujudnya sebuah rumus matematik dalam suatu formula deret. Dengan formula ini interval nada berbagai sistem musik dapat dipolakan . "Secara matematik dapat dibuktikan bahwa laras slendro gamelan Sunda, Jawa, dan Bali ternyata lebih berperan sebagai genesis sistematika akustik interval musik berbagai bangsa," katanya menyebut sebagian isi temuannya itu. Artinya, hipotesa Priadi ini merobohkan anggapan dalam dunia etnomusikologi selama ini, yang lebih memandang pengaruh laras-laras musik Yunani, India, dan Cina pada asal-usul musik bangsa-bangsa. Penemuannya ini mendapat banyak dukungan. Ketua LIPI, Prof. Samaun Samadikun, Mei lalu mengatakan bahwa penelitian Priadi itu "cukup berbobot dan orisinil". Disarankan agar Priadi mengurus hak paten penemuannya itu. Kini, Priadi hanya bisa heran tentang surat Irjen P dan K ini. "Apakah dikira kesenian tak mengandung unsur eksakta," ujarnya. Justru, kata Priadi, para pakar tahu persis sumbangan ilmu eksakta dalam seni musik, khususnya musik bangsa-bangsa (etnomusikologi). "Bagaimana bisa mengetahui asal-usul etnomusikologi kalau tak mampu membuktikan secara obyektif dengan perangkat ilmu-ilmu yang bebas nilai seperti matematika dan fisika bunyi," kata bapak dua anak ini. Justru karena masih kurangnya teropong eksakta dalam musik ini, Priadi ingin menyumbangkan ilmunya. Dan ini sudah dibuktikan dalam Deret Bias Slendro yang disebut tadi. Lalu, apakah keahlian Priadi dianggap sepi oleh P dan K? Ternyata, tidak. "Priadi tak akan dipecat. P dan K tidak akan menjatuhkan sanksi apa-apa kepada dia," kata Soedjoko, Irjen P dan K, kepada TEMPO. Soedjoko merasa tidak pernah mengatakan bahwa Priadi tak layak mengajar seperti yang dimuat di beberapa media nassa. "Saya hanya menemukan adanya kekacauan administrasi dalam status dosennya di ASTI," katanya. Yaitu Priadi tidak memiliki ijazah formal di bidang itu. Ijazah formal yang sesuai dengan ilmu yang diajarkan ternyata memang penting karena menyangkut urusan administrasi jenjang kepegawaian. Dalam kasus Priadi ini akibatnya adalah ia tidak bisa naik pangkat. "Sebab, kalau mau naik pangkat ada peraturan dari BAKN, yaitu mesti memiliki ijazah yang sesuai dengan bidangnya," kata Soedjoko. Kalau Priadi tak ingin naik pangkat dan puas dengan status sekarang ini, "Ya, tidak apa-apa," tambah Soedjoko . Jelaslah, masalahnya bukan pada P dan K, namun BAKN (Badan Administrasi Kepegawaian Negara). Banyak orang yang tak sependapat dengan administrasi yang "kaku"ini. Termasuk Direktur ASTI Bandung Saini K.M. "Kita masih sangat kekurangan tenaga formal yang berijazah di bidang seni untuk bisa mengajar di perguruan tinggi kesenian," ujarnya. Masalah seperti ini sebenarnya bukan hanya ada di ASTI Bandung, tapi di hampir sebap perguruan tinggi yang punya Jurusan kesenian. Di Jurusan Etnomusikologi Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara (USU) Medan, misalnya ada 15 dosen yang tidak memiliki ijazah sarjana kesenian. "Tapi kemampuan mereka sekaliber empu, dan kami sangat membutuhkannnya," kata ketua jurusan itu, Rizaldi Siagian. Contohnya, Marsius Sitohang, pengajar mata kuliah praktek di Jurusan Musik Bangsa-Bangsa USU sejak 1986. Marsius, yang mahir memainkan gondang sabangunan dan taganing ini, "hanya" tamatan kelas III SD. Sebelum jadi dosen ia penarik becak mesin di Medari. Juga Dagar Lubis, pengajar musik Mandailing dan Ankola. yang juga mantan tukang becak (TEMPO, 18 April 1987). Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Departemen P dan K Prof. Dr. Harsya Bachtiar mengusulkan jalan keluar. Dosen-dosen itu disarankan menempuh gelar secara formal di sekolah kesenian. Atau cara lain yaitu mempublikasikan keahliannya, "sedemikian rupa sehingga para ahli mengakui keahliannya," ujar Harsya. Seperti yang dilakukan bekas Rektor PBB, Soedjatmoko, yang pernah kuliah di Sekolah Tinggi Kedokteran, tapi diakui sebagai pakar sosiologi dan kebudayaan lewat sejumlah karyanya. Tapi, bukankah Priadi sudah menemukan "sesuatu" yang canggih dan orisinil? "Penemuan-penemuan baru setiap kali muncul. Kalau itu dijadikan ukuran, berapa orang yang akan memperoleh kemudahan naik pangkat?" kata Harsya. Jadi, masalahnya pangkat, bukan laik tidaknya mengajar. Bunga Surawijaya, Sri Pudyastuti, dan Sigit Haryoto (Bandung)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus