Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SPOTLIGHT
Sutradara: Tom McCarthy
Skenario: Josh Singer dan Tom McCarthy
Pemain: Michael Keaton, Mark Ruffalo, Rachel McAdams, Liev Schreiber, Stanley Tucci
Rumah Tuhan seharusnya menjadi tempat paling aman di muka bumi.
Ternyata di Boston, dan di pojok mana pun di dunia, rumah itu justru menjadi tempat yang berbahaya untuk anak-anak dan, "Kita harus berbuat sesuatu!" demikian menurut Mike Rezendes.
Rezendes (Mark Ruffalo), salah satu wartawan investigasi harian Boston Globe, memuntahkan pendapatnya dengan berapi-api. Mungkin ini satu-satunya adegan emosional dari seluruh film yang berdurasi 128 menit itu. Bukan berarti film yang diangkat berdasarkan kisah nyata ini adalah film yang hening. Sebagai sebuah film tentang tim wartawan investigasi Boston Globe yang mengungkap skandal di gereja Katolik (yang kemudian diikuti pengungkapan skandal di gereja Katolik lain di berbagai negara), film ini berusaha keras menghindar dari adegan emosional dan eksploitatif.
Dimulai dari tahun 2001, ketika ekonomi sedang melorot dan terjadi pemutusan hubungan kerja di berbagai perusahaan, Boston Globe baru saja kedatangan pemimpin redaksi baru dari Miami, Marty Baron (Liev Schreiber). Pemimpin baru ini tak mau banyak cincong dan langsung mempertanyakan rubrik Spotlight, rubrik investigasi Boston Globe yang diasuh beberapa wartawan yang dipimpin oleh Walter Robinson (Michael Keaton). Tim ini lazim mengerjakan satu kasus hingga berbulan-bulan—bahkan bisa sampai satu tahun. Baron menantang tim Spotlight untuk mengendus tuduhan pastor gereja Boston yang melakukan pelecehan seksual kepada salah satu putra altar. Tantangan ini semula ditanggapi dengan enggan oleh tim Spotlight—karena mengkritik gereja di Boston adalah sesuatu yang mustahil—tapi akhirnya mereka terima sambil tetap mengerjakan investigasi kasus reguler. Namun tim ini—terdiri atas Mike Rezendes, Sacha Pfeiffer (Rachel McAdams), dan Matt Carroll (Brian d'Arcy James)—segera menyadari bahwa polisi dan jaksa pun berusaha menutup kasus-kasus pelecehan seksual yang selama ini terjadi. Perlahan mereka menemukan fakta dari para penyintas: ternyata kasus pelecehan itu mencapai angka 90 selama beberapa tahun terakhir. Ini membuat para pemimpin harian Boston Globe merasa dilematis: apa yang harus mereka lakukan? Apakah mereka akan meneruskan investigasi dan mulai menulis serial laporan mereka yang bakal sangat memojokkan gereja, yang akan berakibat fatal bagi seluruh Boston?
Pemimpin Redaksi Baron menekankan, "Kita akan menghajar sistem. Sebab, setiap kali ada kasus, pastor itu hanya direlokasi, tidak dihukum, apalagi dituntut pidana."
Kisah yang kini sudah menjadi pengetahuan umum ini—terungkapnya skandal pastor di Boston, yang kemudian berlanjut dengan investigasi sejumlah pastor di berbagai negara bagian Amerika, bahkan dunia—sebetulnya sudah kita ketahui akhirnya. Namun yang menarik adalah sutradara Tom McCarthy tetap mempertahankan gaya penggarapan yang konvensional: tiap wartawan mengendus, mencari, menyusuri, mewawancarai, dan mengejar sumber berita. Mereka akan melapor, menggelar rapat, dan berdebat sembari membandingkan perolehan bahan serta berkelahi soal prioritas, yang berujung pada rasa frustrasi, untuk kemudian meneruskan pengendusan dan menguak skandal. Meski saat itu sudah ada Internet dan telepon seluler, McCarthy sengaja tidak mengeksploitasi kehebatan teknologi itu. Dia memfokuskan kameranya pada para wartawan dan bagaimana reaksi mereka sebagai manusia biasa yang harus menahan emosi ketika salah satu (bekas) pastor menjawab pertanyaan wartawan dengan enteng, "Itu bukan pemerkosaan."
Tentu saja tak mudah membandingkan penggarapan film ini dengan gaya duo wartawan Washington Post dalam film All the President's Men. Ritme yang cepat, prosedural, menekan emosi sekuat-kuatnya, dan sutradara hanya mengizinkan satu adegan ledakan emosi dari Mike Rezendes, yang akhirnya tak tahan melihat para atasannya yang dianggap kurang cekatan memutuskan kapan berita itu diturunkan. Jika film ini dimasukkan sebagai nomine film terbaik Academy Awards tahun ini, saya kira bukan hanya karena sentimen perjuangan melawan kekuatan yang begitu besar, justru karena McCarthy berhasil merenggut perhatian dunia pada persoalan kronis ini.
Film ini kemudian diakhiri dengan informasi—untuk menunjukkan betapa nyatanya kisah ini—bahwa harian Boston Globe membuat 600 berita dari skandal 249 pastor atau romo di gereja-gereja di Boston. Para penyintas, yang jumlahnya lebih dari seribu orang, sebagian besar berani maju dan bersaksi kepada media atau kepada jaksa. Keberanian untuk membuka kasus seperti ini kemudian menjalar tak hanya di banyak kota di Amerika, tapi juga di berbagai negara Eropa Barat.
Dalam tokoh Mike Rezendes terasa ada suara sutradara McCarthy, dengan emosi yang tertahan menyatakan rumah Tuhan seharusnya menjadi tempat paling aman.
Leila S. Chudori
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo