Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Serigala yang Menghantui Ruang

Pameran bersama Entang Wiharso dan Sally Smart di Galeri Nasional Jakarta. Karya yang berbeda watak dipaksa bertemu.

25 Januari 2016 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seekor "serigala" tergeletak. Dari hidungnya muncul darah. Binatang itu terlihat kesakitan. Ususnya terburai. Usus itu memanjang bagaikan sebuah tali putih. Satu keluarga mengenakan pakaian hitam-hitam terdiri atas ibu, ayah, dan dua anak, duduk bersimpuh takzim membelakangi penonton, menggenggam usus serigala yang molor itu dengan tangan kanan masing-masing di punggung. Posisi mereka menghadap sepetak rumpun bambu. Di rumpun bambu itu ada tempelan adegan sepasang lelaki-perempuan tengah bercinta kasih. Keluarga itu seolah-olah berikrar.

Begitu masuk ke ruang utama Galeri Nasional (Galnas), karya instalasi "usus serigala" karya Entang Wiharso berjudul Reclaim Paradise-Paradise Lost 2 ini secara visual menyodok. Tapi tak mudah untuk mencerna maksud Entang. Ia seolah-olah memverbalkan suatu situasi surealis. Ia menghadirkan suasana aneh yang menarik secara bentuk tapi membiarkan penonton kebingungan. Baru saat membaca katalog, kita bisa tahu Entang bertolak dari sebuah ungkapan Jawa: dowo ususe (panjang ususnya). Usus panjang adalah kata kiasan di Jawa untuk orang yang memiliki kesabaran.

Karya usus itu kira-kira berbicara tentang daya tahan sebuah keluarga dalam menghadapi persoalan. Lebih mudah memahami karya instalasinya yang diletakkan di ruang pameran paling belakang. Seekor ikan koi raksasa tergeletak di meja. Hanya kepala dan ekor yang masih utuh. Badannya sudah dilahap habis, tinggal rongga-rongga duri. Di depan sisa ikan itu, duduk dua manusia cyborg dengan slang-slang kabel di kepalanya. Tanpa perlu penjelasan, karya ini langsung bisa ditangkap bertema keserakahan.

Bersama Sally Smart, seniman asal Australia, Entang Wiharso menggelar "Conversation: Endless Acts in Human History". Pada 2012, mereka bertemu di Melbourne. Lalu mereka berencana melakukan pameran berdua. Pada September dan Oktober 2015, Sally tinggal berkarya di studio Entang di kawan Prambanan, Yogyakarta. Mereka intens melakukan diskusi: dari tema arus imigrasi di Eropa sampai kondisi sosial mutakhir. Dikuratori oleh Suwarno Wisetrotomo dan Natalie King, karya-karya di Galnas ini adalah hasil percakapan ide kedua seniman.

Tapi meleset mengandaikan pameran ini menyajikan suatu keutuhan bersama. Entang dan Sally terasa menampilkan dua watak berbeda. Entang, sebagaimana dua karya di atas, selalu berusaha mewujudkan imaji-imajinya "yang muskil" secara wadag dengan bahan keras, seperti aluminium dan kayu. Sedangkan Sally Smart, seniman asal Australia Lulusan School of Art, Victorian College of the Art, University of Melbourne, cara kerjanya mirip anak-anak. Ia bekerja menggunakan bahan kertas. Dan membuat citra-citra yang tak selesai.

Sally dikenal sebagai seniman kolase. Ia memotong-motong kertas atau gambar-gambar, menempel-nempelkan, membuat kolase. Sebuah video mempertontonkan bagaimana ia menggunting sesuatu. Tangannya bergerak lincah. Karya Sally terasa lebih rileks. Ia membuat sosok-sosok boneka dengan wajah atau tubuh dibuat dengan kertas tingkap-meningkap.

Lihatlah karya berjudul The Choreography of Cutting. Sally memasang papan hitam panjang berukuran 3,75 x 7,5 meter. Di situ ia menampilkan berbagai coretan mengenai proses koreografi menggunakan kapur putih, dari catatan tata suara, catatan tubuh, hingga catatan gerak. Sally agaknya tertarik pada dunia koreografi. Di papan itu ada tempelan dan kolase gambar-gambar sebuah pertunjukan dari kliping koran. Juga kolase gambar kostum. Ada kutipan kata-kata dari pendiri Tanztheater Jerman: Pina Bausch.

Dikatakan kurator Suwarno Wisetrotomo bahwa yang mempertemukan antara Entang dan Sally adalah teknik memotong. Memang benar, terutama relief-relief aluminium Entang yang menggunakan teknik cut out. "Orang mungkin mengira karya saya dipotong dengan laser. Padahal saya potong manual dengan tangan, teknik cut out. Seperti mengedit, membuang yang tidak perlu," ujar Entang.

Tapi tetap secara keseluruhan yang hadir mencolok adalah instalasi Entang. Setelah karya serigala itu, di tengah ruangan Entang menaruh karya berbau mutilasi. Seseorang berkepala aneh duduk di kursi. Di depannya tampak ada kepala terputus menggelinding di lantai. Kepala itu bertopi koboi dengan rambut panjang. Di depannya lagi patung lelaki-perempuan tengah berhadap-hadapan membawa pedang. Tak jauh dari itu, ada karya instalasi lain berupa sosok-sosok manusia berkulit binatang yang menjulurkan lidahnya di antara celah pagar.

Sedari awal kemunculannya, Entang bertolak dari "estetika chaos". Ia seniman yang melihat adanya "primitivitas" dalam sosiologi masyarakat kita. Dalam hubungan sosial, masyarakat kita masih dipenuhi nafsu kebinatangan. Itulah sebabnya, dalam instalasinya, ia sering menampilkan sosok dengan lidah julur-menjulur, jilat-menjilat, tubuh yang tindih-menindih, tumpang-menumpang. Bagi Entang, masyarakat Indonesia masih dalam taraf homo homini lupus. Manusia adalah serigala bagi sesamanya. Mudah tergoda kekuasaan dan menghalalkan segala cara untuk meraihnya.

Baik Entang maupun Sally tak ingin melakukan kolaborasi. Dua kurator, Suwarno Wisetrotomo dan Natalie King, juga tak memaksa mereka membuat karya bersama yang bisa merekatkan. Sesungguhnya amat mungkin itu dilakukan. Sally, misalnya, terasa memiliki kertarikan pada deformasi anatomi. Dalam pameran ini, ia menampilkan boneka-boneka dengan rambut menjuntai digantung. Juga karya foto diri dengan potongan gambar organ yang ditempel-tempel berjudul Self Portrait with Organ. Jika ini yang ditekankan dalam ruangan, paralelitas dengan "instalasi " Entang bisa terjadi. Tapi itu tidak.

Walhasil, menyusuri ruang, kita kurang menemukan irama atau flow yang mampu membuat dua karya berkomunikasi, berdialektik, dan saling mengisi. Harus diakui, energi Entang dari tahun ke tahun tak surut. Ia semakin agresif mengolah relief dan patung bertema homo homini lupus. Ia kian memverbalkan watak "manusia-manusia serigala". Karena itulah karyanya terasa lebih "mendominasi" ruangan.

Seno Joko Suyono, Dian Yuliastuti

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus