Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Film

Mencari Si Badung Sejago MacGyver

Dalam diskusi pekan apresiasi film anak-anak indo- nesia 1991, anak-anak ingin menonton film yang action, ramai dan menyuguhkan teknologi canggih. film anak-anak indonesia kurang sensasi.

27 Juli 1991 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Bagaimana sebenarnya film anak-anak yang disukai anak-anak? Pekan Apresiasi dengan juri anak-anak lulusan SD. Dan, sampai Selasa pekan ini film anak-anak di TVRI. PARA sineas jangan meremehkan anak-anak. Mereka tak mau digurui. Tak mau cerita film yang cengeng. Mereka ingin menonton yang action, yang ramai, dan menyuguhkan teknologi canggih. Itulah keinginan anak-anak yang tercetus dalam diskusi Pekan Apresiasi Film Anak-anak Indonesia 1991, dua pekan lalu, di Jakarta. Ada 19 film dipilihkan oleh penyelenggaranya, Forum Komunikasi Pembinaan dan Pengembangan Anak Indonesia. Dari Harmonikaku, Ira Maya Si Anak Tiri, Nyoman, sampai November 1828. * Mereka, 28 anak lulusan sekolah dasar tahun ini, didatangkan dari beberapa kota di Jawa dan Lampung. Akhirnya, anak-anak itu sepakat memilih Si Badung sebagai film favorit. Si Badung, karya sutradara Tantowi, menceritakan anak yang badung, tapi dialah yang memelopori teman-temannya mengumpulkan dana untuk membeli sepeda buat pak guru. "Film ini menceritakan anak nakal, bandel, seperti saya," kata Handi Jaya. Atau kata Temmy Sunyoto dari Tangerang, "Si Badung menyadarkan anak-anak yang bandel dan tak suka belajar." Tapi dari diskusi anak-anak itu juga tersirat bahwa idola mereka sebenarnya ada di tempat lain. Dengarlah, mereka menyebut-nyebut MacCyver, Superboy, Wonder Woman, juga Knight Rider. Itulah film-film serial televisi. Dibandingkan dengan serial televisi itu, ada satu hal yang kurang dalam Si Badung, dan film anak-anak Indonesia umumnya. Yakni kurangnya teknologi canggih tercermin dalam film Indonesia, baik dalam pembuatannya maupun dalam ceritanya itu sendiri. Anak-anak itu, memang, bukanlah anak-anak yang hanya bermain gundu lagi. Mereka akrab dengan komputer dengan segala game- nya. Sensasi yang mereka nikmati bukan lagi Tarzan yang berayun-ayun di pohon, atau Gatutkaca yang memuntir kepala rak- sasa. Tapi mobil yang diprogram dan bisa bicara (Knight Rider), manusia yang bisa terbang dan tak mempan ditembak (Superboy dan Wonder Woman), atau jagoan yang bisa menggunakan segala macam peranti canggih untuk mengalahkan penjahat (MacGyver). "Saya senang MacGyver karena dia mengandalkan keterampilannya," kata Fitri Rizky Mulya dari Bogor. "Apa tak bisa dibuat film In- donesia dengan jagoan seperti MacGyver itu?" Dan itu tak hanya tercermin dalam Pekan Apresiasi tersebut. Tabloid Citra, edisi pertengahan Juli, yang mewawancarai sejum- lah anak tentang film favorit mereka mendapatkan hal yang sama. Tampaknya, film anak-anak hanya dengan tema yang dianggap cocok untuk anak-anak, tidak cukup. Betapapun relevannya tujuh film dalam Sepekan Film untuk Anak di TVRI mulai Rabu pekan lalu dengan pendidikan anak-anak, misalnya, akan terasa kuno tanpa dibungkus dengan kemasan masa kini. Padahal, tema-tema dalam film TVRI itu mungkin penting. Coba, ada contoh mulianya sifat tolong-menolong (Kacamata Ibu), kejahatan mesti dilawan (Mencari Jejak dan Rumah Kosong), atau anak-anak mesti tabah mengalami cobaan hidup (Hamid dan Halimah). Seorang pengamat film dan dosen di Institut Kesenian Jakarta, lewat survei yang dilakukan mahasiswanya, menyimpulkan bahwa film anak-anak Indonesia miskin dalam "sensasi dan daya fanta- si". Soemardjono, 64 tahun, dosen itu, mengatakan kini tak cukup dengan film anak-anak macam Jenderal Kancil, yang begitu laris di tahun 1950-an. Kini, bahkan hanya untuk sebuah film dongeng, diperlukan kemasan yang berbau teknologi. Coba lihat Never Ending Story, film dongeng yang diputar untuk pertunjukan siang di Jakarta beberapa waktu lalu. Di situ diceritakan, seorang anak membaca buku, lalu cerita dalam buku itulah yang dikisahkan film ter- sebut. Yakni cerita petualangan dalam dunia fantasi. Tapi in- ilah uniknya: menjelang cerita selesai, dalam film Never Ending Story ini, si anak yang membaca buku muncul dalam cerita yang dibacanya. Dan ikut bereaksi. Selain fantasi yang begitu kreatif itu, film ini pun menyajikan adegan-adegan fantastis. Terbang dengan sapu, memecahkan batu besar, naga terbang dan sebagainya. Jadi, apa yang bisa diperbuat oleh para sineas kita? Bila teknologi film Indonesia pun sudah bisa menyuguhkan tipuan- tipuan teknik untuk film silat, action, dan horor, tentu tak sulit lagi menerjemahkan cerita anak-anak ke seluloid, betapapun musykil adegannya. Bukankah sayang bila tak ada pilihan yang setanding menariknya dengan adegan MacGyver yang lebih cocok dengan anak- anak dan dunianya? Sri Indrayati dan Bambang Bujono

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus