Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Christine hakim

Seni akting christine hakim mencapai puncaknya pada film tjoet nyak dhien. ia sungguh-sungguh mencintai seni akting dengan segala ragam pesan. bermain film sejak usia 18 tahun. melewati beberapa pase.

19 November 1988 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

APA yang dipersembahkan Christine Hakim dalam film Tjoet Nya' Dhien adalah sebuah karya seni. Pencapaian kesenian Christine dalam film ini mengingatkan puncak seni-akting Rendra ketika memainkan Oidipus dalam tragedi Oidipus di Pembuangan tahun 1970-an. Juga sedalam kesan yang saya simpan atas permainan Rusman ketika memerankan tokoh Kumbokarno, juga di Taman Ismail Marzuki. Suatu peristiwa kesenian yang jarang sekali. Dan dalam film, setahu saya, puncak yang sama pernah dicapai Sukarno M. Noor dalam film Kemelut Hidup. Kalau saja skenario Eros Djarot lebih bagus lagi, maka tak akan terhindarkan kesempurnaan seni-akting Christine. Setidak-tidaknya, akan lebih banyak dimensi Tjoet Nya' Dhien yang dapat disajikannya. Namun, apa yang sudah terekam dalam film kolosal itu, lebih dari cukup untuk membuktikan bahwa Christine adalah seorang seniman sejati, seorang Aktor dengan A besar. Dengan menyebut Christine sebagai seorang seniman dan tidak seniwati, atau aktor dan tidak aktris, makin jelaslah keperkasaannya sebagai seseorang, dan terutama bukan hanya sebagai perempuan. TIDAK banyak orang yang sungguh-sungguh mencintai seniakting. Apalagi yang tulus mengabdi. Yang paling banyak adalah yang memerasnya. Akibatnya sungguh menyedihkan. Dibandingkan dengan bidang penyutradaraan atau bidang yang lain, seniakting dalam film Indonesia termasuk sendat pertumbuhan serta perkembangannya. Di luar faktor para pemain itu sendiri, sudah tentu banyak sebab yang membuat seni-akting kurang mendapat peluang untuk maju. Di antaranya adalah faktor skrip atau naskah dan penulisan kritik film. Bukan tidak ada skenario yang baik, tapi terlalu banyak yang buruk. Naskah-naskah yang dangkal (superfisial) dan mengada-ada (artifisial), serta bentuknya yang sering tidak proporsional, bukan saja akan membawa para pemain ke dalam tingkat kualitas permainan yang kurang lebih sama, tapi membentuk lingkungan yang tidak sehat. Sebenarnya, keadaan tidak akan terlalu parah sekiranya ada orang yang tulus mengabdi sebagai pengamat film dengan menyerahkan seluruh waktunya. Kajian serta telaah film sering terputus-putus karena pengamatan para penulisnya juga terputus-putus. Belum lagi alat dan cara pendekatan yang juga masih terbatas. Lebih celaka lagi, perhatian terhadap seni-akting juga sangat sedikit. Umumnya masih terbatas di sekitar kata 'bagus', 'buruk', dan lain-lain yang bersifat normatif semata-mata. Di tengah lingkungan yang kurang menguntungkan ini, hanya pribadi-pribadi perkasa yang mampu muncul. Dan Christine Hakim muncul. Sungguh menarik mengikuti perjalanan kesenimanan Christine. Bagaimana ia ditemukan Teguh Karya hampir lima belas tahun yang lalu. Bagaimana ia masuk ke dalam dunia yang sebelumnya tidak dikenalnya. Bagaimana kemudian ia betah di sana dan hidup. *** SUNGGUH beruntung Christine dengan segala macam ragam peran dan karakter yang pernah dimainkannya. Ia pernah memerankan seorang gadis remaja, pelacur, mahasiswa, dokter, pengemis, buruh, germo, dan banyak lagi sampai tokoh perempuan yang fantastis, Tjoet Nya' Dhien. Ia bukan saja dipilih oleh sutradara-sutradara yang baik, tapi juga ia memilih. Ia menetapkan dengan siapa bisa bekerja sama dan dalam peran apa serta bagaimana ia bisa bekerja. Salah satu sisi keindahan Christine adalah keberaniannya dalam memilih dan menetapkan di tengah masyarakat yang semakin membeo dan serakah ini. Karena ia terus mencoba setia, mencintai dan menghargai dirinya, masyarakatnya, keseniannya, dan hidupnya. Tidak banyak orang seperti dia. Tidak banyak orang mendapatkan Citra. Karena itu, Christine mendapatkan Citra. Banyak Citra. *** ADA seorang kawan yang lebih menyukai permainan Christine pada awal kariernya dibandingkan dalam film Di Balik Kelambu. Boleh jadi, karena kawan saya lebih berpihak kepada spontanitas serta kepolosan daripada permainan yang penuh pertimbangan atau analitis. Permainan Christine dalam film ini hanya salah satu corak dari sekian corak yang pernah diupayakannya. Bermain sejak usia delapan belas, dan sekarang dalam usianya yang tiga puluh dua, pengalaman Christine sungguh padat. Setidak-tidaknya ada tiga fase dalam perjalanan seni-aktingnya dengan segala corak permainan yang disajikan Christine. Tidak semua berhasil, memang. Tapi rata-rata mengesankan ikhtiar serta kerja keras. Tahun-tahun pertama Christine adalah tahun-tahun keluguan yang penuh spontanitas permainan. Ini adalah fase "naluri". Pendekatan peran yang dilakukannya terutama dipengaruhi nalurinya. Dan kalau para penonton kagum, itu terutama karena kesegarannya dan energinya. Saat menyadari usianya yang likuran dan ajang pengabdiannya, yaitu seni-akting, ia pun lalu membawa dirinya ke dalam tahap studi. Ia pun bertualang dengan pikirannya. Ia bergaul dengan lebih banyak orang dan banyak kalangan. Ia memenuhi waktunya dengan pergaulan pikiran. Setidak-tidaknya, sejak saat itu sering ia ditemukan di TIM dalam berbagai acara diskusi atau pertemuan seni. Inilah fase "analisa" Christine. Dalam fase ini corak permainannya tidak lagi spontan. Permainannya mulai dipertimbangkan. Malah terkadang terlalu dipertimbangkan, sehingga tidak jarang menghasilkan permainan yang terlalu pintar. Artinya, terlalu serebral. Kalau pada fase awal ia boleh dikatakan terlalu polos dan fase kedua terlalu sadar, maka pada saat sekarang Christine sedang memasuki fase di mana segala sesuatu berimbang, fase "seni". Karena itu, permainannya dalam Tjoet Nya' Dhien layak mendapat predikat sebuah karya seni. Seluruh alat-akting dengan segala jurus teknik-akting dan seluruh milik Christine berpadu dalam suatu proses daya cipta yang penuh keajaiban. Keajaiban Seni seperti yang dipersembahkan Christine dalam Tjoet dalam irama permainan yang rinci dan halus. Sedemikian rinci dan halus permainannya, sehingga Christine tahu secara tepat seberapa ia harus menampilkan Tjoet dalam adegan-adegan permulaan ketika Teuku Umar masih memimpin. Teknik pembinaan iramanya mengingatkan permainan Marlon Brando dalam Mutiny on the Bounty. Dan seterusnya, setahap demi setahap, bayang-bayang Tjoet dilengkapi dan disempurnakan oleh Christine, sampai akhirnya penonton menyaksikan keutuhan tokoh Tjoet. Keutuhan tidak hanya dalam pengertian karakter atau tokoh sejarah. Tapi terutama sebagai puisi yang dipersembahkan Christine dalam seni-aktingnya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus