Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Obituari

Mencoba Membumikan Langit

Gus Dur memiliki karisma besar. Ia sering menimbulkan kebingungan, tapi sangat disayangi kaum nahdliyin.

4 Januari 2010 | 00.00 WIB

Mencoba Membumikan Langit
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

GUS Dur, si heavy weight champion asal Jombang, Jawa Timur, ini memang tak mudah dipahami. Di kampung halamannya sendiri, ada kelompok orang yang menistanya dengan ungkapan bahasa Arab: ia bukan khittah (kembali ke dasar) tapi khintah, artinya perut. Dengan kata lain, ia tak menyeru kepada yang benar, tapi kepada yang duniawi semata.

Namun susah menemukan orang dengan kombinasi geneologis seperti Gus Dur di Jawa Timur. Dari ayahandanya ia mewarisi status istimewa sebagai cucu Hadratus Syekh Hasyim Asy'ari, pendiri Nahdlatul Ulama. Sedangkan dari ibunya, ia masih keturunan tokoh besar KH Bisri Syansuri. Bermodalkan ”darah biru” dari dua orang tuanya itu, ditambah penguasaan ilmu agama dan ”ilmu sekuler” yang luar biasa, Gus Dur memukau banyak orang.

Dan manakala kelompok yang mencintainya itu tak lagi mampu menangkap gagasannya yang meluncur dari mulut dan tulisannya, mereka pun memunculkan ”teori wali”. Artinya, ucapan atau kelakuannya bisa kelihatan salah, tapi seorang wali tidak bisa dinilai menurut standar orang banyak. Kalau sudah begini, harus ada logika atau perlakuan istimewa untuk mengukur gagasannya yang selalu mempertanyakan konsep negara Islam, ”mengganti assalamualaikum dengan selamat pagi,” ”pribumisasi Islam”, ”Islam kultural”, dan banyak lagi.

Sebenarnya, di kalangan nahdliyin, gagasan assalamualaikum itu juga menimbulkan reaksi keras. ”Bahkan KH As'ad Syamsul Arifin sampai mengambil keputusan untuk mufarraqah,” kata Ketua Nahdlatul Ulama, pengamat pesantren, Masdar Mas'udi. Mufarraqah artinya melepaskan diri dari tanggung jawab atas gagasan itu. Gus Dur tetap kukuh dengan pendiriannya, dan apa boleh buat keduanya menempuh jalan masing-masing.

Namun Gus Dur tetap mempesona banyak orang. Mereka tentu saja mudah mengaitkan kebiasaan Gus Dur yang suka tertidur di forum-forum diskusi, tapi pikirannya selalu mengikuti perkembangan diskusi itu dengan kewalian. Ya, Gus Dur selalu bisa menjawab pertanyaan dengan jitu, sekalipun matanya masih tertutup—bahkan dengkurnya lamat-lamat masih terdengar— ketika pertanyaan itu dilayangkan.

”Wali itu kan seorang yang mendapat ilmu tanpa belajar atau premonition (penglihatan), dari atas. Ilmu laduni ini langsung datang dari Allah. Sedangkan Gus Dur kan kuliah, cuma S-1 sastra Arab tapi bisa menguasai semua hal, bahkan bisa menjadi referensi. Dia itu jenius,” urai KH Said Agil Siradj.

Yang mempesona dari seorang Gus Dur: ia mampu membumikan langit, memanusiakan nilai-nilai Tuhan. ”Agama diturunkan bukan untuk membangun teologi horizontal yang bersifat metafisis. Tapi jadi ajaran, jadi nilai-nilai kehidupan di bumi, dari sini dia menjadi seorang pluralis. Maka dia mendorong semua warga NU supaya cerdas,” kata Ketua Pengurus Besar NU itu.

Ulama-budayawan, penasihat PBNU, KH Mustafa Bisri, mempunyai gambaran yang mirip dengan itu. ”Gus Dur merupakan anak manusia yang diciptakan Tuhan untuk mendidik bangsa Indonesia ini agar lebih memahami makna perbedaan,” katanya.

Gagasan Gus Dur banyak bertumpu pada penolakannya terhadap formalisasi dan ideologisasi agama, dua hal yang diyakininya mendorong pembentukan negara Islam. Islam di Indonesia, di mata Gus Dur, bukan Islam ideologi, melainkan Islam kultural yang hidup dalam keseharian masyarakat. Dan Islam sebagai jalan hidup (syariat) tak memiliki konsep yang jelas tentang negara.

Dia mengkritik paham ahlusunnah wal jamaah (aswaja) yang dipegang sebagai doktrin sempit teologi dan fikih semata. Bagi Gus Dur, aswaja tak berarti anti-peradaban dan perubahan masyarakat. ”Islam itu punya watak kosmopolit dan universal,” katanya.

Ia memakai pemikiran Islam pesantren sebagai pisau untuk membedah modernisme. Salah satu yang sering dia ungkapkan adalah teori dharûriyat al-khamsah (lima hal dasar yang dilindungi agama). Dalam salah satu dasarnya, yaitu hifz al-dîn, Gus Dur tak memaknainya sebagai sekadar memelihara agama, dalam arti orang Islam tak boleh keluar dari Islam dan memeluk agama lain. Di tangan Gus Dur, terma ini menjadi spirit untuk melakukan pembelaan kebebasan beragama dan berkeyakinan.

Dalam pengantar buku Islamku, Islam Anda, Islam Kita, Gus Dur bercerita tentang perjalanan intelektualnya yang panjang: dari keterpesonaannya pada gerakan Ikhwanul Muslimin sewaktu ia masih di kampung halamannya pada 1950-an, pada nasionalisme dan sosialisme Arab tatkala ia kuliah di Mesir dan Irak pada 1960-an, hingga kesimpulannya bahwa Islam bisa belajar dari ideologi non-agama, juga dari pandangan agama lain.

Rabu pekan lalu, Gus Dur pergi meninggalkan kontroversi yang mendorong kita untuk terus berpikir.

Idrus F. Shahab, Yophiandi Kurniawan, Sapto Pradityo, Taufik Muhammad (Jombang)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus